Pixel Code jatimnow.com

Membaca Franz Kafka Tetap Relevan usai 100 Tahun Wafatnya Sang Pengarang

Time Out 6 jam yang lalu
Yusri Fajar saat menyerahkan buku tentang karya Franz Kafka pada  Direktur Wisma Jerman di Surabaya, Mike Neuber . (Foto: Endang Pergiwati/jatimnow.com)
Yusri Fajar saat menyerahkan buku tentang karya Franz Kafka pada Direktur Wisma Jerman di Surabaya, Mike Neuber . (Foto: Endang Pergiwati/jatimnow.com)

jatimnow.com - Tak ada yang menyangka sebelumnya, bahwa keterasingan yang diungkap sastrawan Jerman, Franz Kafka, dialami oleh masyarakat masa kini, 100 tahun setelah sang sastrawan wafat.

Inilah salah satu alasan mengapa sosok dan karyanya masih relevan untuk dibahas di masa sekarang. Hal ini dipaparkan Direktur Wisma Jerman di Surabaya, Mike Neuber saat membuka kegiatan membaca Kafka yang bertema Membumikan Kafka di Tanah Nusantara di C2O Libraby and Collabtive di Surabaya.

"Dari kegiatan membaca kembali karya-karya Kafka di masa kini, kami berharap ada perspektif baru yang bisa kita peroleh. Absurditas dan keterasingan adalah beberapa tema yang dibawa Kafka yang masih relevan hingga kini, tidak terbatasi olek waktu dan lokasi. Bahkan menjadi inspirasi," ujar pria asli Jerman ini dengan Bahasa Indonesia yang fasih, Sabtu (23/2/2025).

Pembacaan Kafka ini juga digelar untuk memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Karena itu, selain membahas bagaimana gagasan Kafka dibaca, juga diulas perspektif baru yang diperoleh penterjemah karya Kafka ke berbagai bahasa daerah, di antaranya Bahasa Jawa dan Bahasa Madura.

Sementara dosen Sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang, Yusri Fajar, menyebutkan bahwa karya yang ditulis Kafka adalah karya berpengaruh, karena mampu memberikan inspirasi sehingga tetap dibaca hingga di 100 tahun sesudah ia wafat.

"Kafka telah menempatkan tokoh dalam cerpennya sebagai simbol dehumanisasi. Misalnya dalam cerpen Di Depan Hukum, seseorang yang harus menjalani persidangan tanpa kesalahan yang jelas, dengan proses peradilan yang tidak jelas pula. Muatan universal ini masih relevan hingga saat ini di Indonesia," ucap Yusri Fajar.

Di sisi lain, Yusri juga mengungkapkan upaya memahami karya-karya Kafka, ia lakukan dengan melakukan napak tilas kehidupan Kafka.

"Kafka lahir di Kota Praha, Cekoslovakia. Saya melakukan perjalanan ke kota itu untuk merasakan bagaimana kehidupan masyarakat di sana. Saya juga dapat merasakan semangat proses kreatif, bagaimana ia mengalami konflik dan merespons masyarakat di sekitarnya. Seorang pengarang tidak mungkin menulis hanya dengan berdiam diri di kamar sepanjang waktu, namun ia melakukan perjalanan dan berinteraksi dengan orang lain. Itulah wisata sastra dan sastra wisata," papar Yusri Fajar.

Yusri juga mengapresiasi kerja penterjemah berbagai bahasa, termasuk dalam bahasa lokal di Indonesia seperti bahasa Jawa dan Madura. Karya penterjemahan ini memungkinkan karya Kafka bisa dinikmati secara lebih luas.

Seperti yang diungkapkan Rizaldi AP, yang menerjemahkan cerpen Kafka dalam bahasa Madura dan Sugito Sostrosasmito yang menerjemahkan dalam bahasa Jawa. Masing-masing penerjemah memiliki tantangan berbeda, namun menemukan benang merah yang sama bahwa karya Kafka sangat relevan untuk dinikmati dalam keindahan sastra daerah, baik Jawa maupun Madura.

"Masalah hukum yang dialami tokoh dalam cerpen berjudul Di Depan Hukum, tak berbeda dengan yang dialami masyarakat di Madura," ucap Rizaldi mencontohkan.

Bahkan Sugito memandang Kafka sebagai orang yang sangat njawani (berkarakter orang Jawa) ketika ia menghadirkan sosok miskin di tengah musim dingin, tak mampu membeli arang sebagai penghangat di rumahnya, meski ia bertetangga dengan orang kaya penjual arang.

"Si tokoh akhirnya memilih ingin mati di atas gunung bersalju, menjauh dari rumahnya yang bersebelahan dengan penjual arang yang kaya raya, tetapi tidak mau memberikan sedikit sisa arang untuk si tokoh. Karakter yang sangat njawani ada pada si tokoh yang tidak ingin menimbulkan fitnah, bila ia mati kedinginan di rumah, sementara ia bertetangga dengan penjual arang yang kaya raya," ucap Sugito.

Pembacaan kafka ini selanjutnya ditutup dengan dramatic reading oleh Sugito, Rizaldi, dan Ita Surajaya, pegiat aksara.