Pixel Code jatimnow.com

Opini

Koperasi Merah Putih: Jalan Tengah Membangun UMKM dan Kedaulatan Ekonomi Desa

Opini Kamis, 17 Apr 2025 11:12 WIB
Dr. Abid Muhtarom. (Foto: dok. pribadi)
Dr. Abid Muhtarom. (Foto: dok. pribadi)

jatimnow.com - Gagasan besar tentang Koperasi Merah Putih yang diusung Presiden Prabowo Subianto membuka ruang refleksi tentang arah pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam konteks pemberdayaan desa.

Dengan target pembentukan 80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia dan dukungan anggaran sebesar Rp400 triliun, ini bukan hanya program ekonomi biasa, tetapi proyek rekonstruksi sistem ekonomi rakyat dari akar rumput.

Sebagai akademisi dan pegiat ekonomi kerakyatan, saya melihat bahwa semangat dasar dari Koperasi Merah Putih sangat relevan dengan prinsip ekonomi Pancasila. Namun, seperti banyak program berskala besar lainnya, keberhasilan tidak ditentukan oleh seberapa besar anggaran disediakan, melainkan seberapa kuat partisipasi rakyat dibangun, seberapa kokoh sistem pengelolaan disusun, dan seberapa jujur semua pihak menjaga niat awalnya: memakmurkan rakyat.

Harapan Besar dari Desa

Koperasi Merah Putih membawa angin segar bagi desa-desa yang selama ini menjadi penonton dalam pesta pembangunan nasional. Ketika kota tumbuh sebagai pusat pertumbuhan, desa kerap tertinggal sebagai penyuplai tenaga kerja, bahan pangan, dan bahan mentah. Dengan koperasi sebagai instrumen pengelolaan ekonomi lokal, maka desa diberi peran sebagai produsen sekaligus pemilik nilai tambah.

Koperasi juga menjawab problem klasik masyarakat desa: ketergantungan pada tengkulak, tekanan harga pasar, hingga jeratan pinjaman online ilegal. Koperasi memberi ruang bagi masyarakat untuk bersatu, menabung bersama, berproduksi bersama, dan menikmati hasilnya bersama. Di sinilah nilai gotong royong menjadi bukan sekadar slogan, tetapi praktik nyata yang menghasilkan kesejahteraan.

Namun, untuk mewujudkan koperasi sebagai kekuatan ekonomi yang berkelanjutan, tidak cukup hanya membentuk lembaga dan menyuntikkan modal. Yang paling penting adalah membangun jiwa koperasi di tengah masyarakat. Tanpa semangat kolektivitas, koperasi hanyalah gedung kosong yang perlahan akan runtuh oleh kepentingan pribadi dan konflik internal.

Tantangan dari Pendekatan Instruktif

Salah satu kritik utama terhadap program ini adalah pendekatannya yang top-down. Pemerintah pusat memulai gagasan, merancang struktur, menetapkan target, dan menyalurkan anggaran. Sementara masyarakat desa sering kali hanya menjadi pelaksana atau bahkan sekadar penerima manfaat. Ini bertentangan dengan filosofi koperasi yang semestinya tumbuh dari kebutuhan dan kesadaran warga.

Sebagai perbandingan, koperasi-koperasi sukses di Indonesia seperti Koperasi Setia Kawan (KOSKA) di Nganjuk atau Koperasi Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan, semua berangkat dari inisiatif warga atau komunitas. Mereka tumbuh perlahan, belajar dari kegagalan, dan akhirnya menemukan model yang sesuai dengan karakter sosial dan ekonomi lokal.

Program Koperasi Merah Putih harus mampu belajar dari keberhasilan model semacam ini. Pemerintah bukan menjadi pengendali utama, tetapi fasilitator yang menyediakan ruang belajar, infrastruktur pendukung, serta perlindungan regulatif. Masyarakat harus diberi otoritas penuh untuk menentukan bentuk, skala, dan arah koperasinya sendiri.

Risiko Kebocoran dan Korupsi

Dengan alokasi dana Rp400 triliun, risiko korupsi dan penyalahgunaan anggaran tentu tak bisa dihindarkan. Dalam banyak kasus sebelumnya, program pemberdayaan rakyat kerap menjadi proyek elite lokal, di mana dana rakyat dikelola oleh segelintir pihak tanpa akuntabilitas yang jelas.

Untuk itu, saya mendorong agar program Koperasi Merah Putih dibangun di atas fondasi transparansi dan pengawasan publik. Setiap koperasi harus memiliki sistem pelaporan keuangan digital yang bisa diakses oleh anggota maupun pemerintah. Audit internal dan eksternal perlu dilakukan secara berkala, dan pelanggaran harus ditindak tegas.

Selain itu, lembaga pendidikan tinggi, terutama fakultas ekonomi dan bisnis, bisa mengambil peran strategis dalam mendampingi koperasi. Mahasiswa dapat ditugaskan sebagai pendamping lapangan, dosen berperan sebagai pelatih manajemen, dan universitas menjadi pusat riset dan inovasi koperasi berbasis digital. Ini adalah momentum untuk memperkuat sinergi antara dunia akademik dan dunia usaha rakyat.

Kemandirian atau Ketergantungan?

Koperasi yang sehat adalah koperasi yang mandiri. Ia tidak bergantung pada dana hibah, tetapi tumbuh dari iuran anggota dan hasil usaha sendiri. Jika koperasi hanya dibentuk untuk menyerap anggaran pemerintah, maka saat bantuan berhenti, koperasi pun berhenti beroperasi. Ini harus dihindari sejak awal.

Kemandirian koperasi juga menuntut adanya kapasitas pengelolaan yang kuat. Dibutuhkan pelatihan intensif untuk membentuk SDM koperasi yang memahami manajemen keuangan, pemasaran, digitalisasi usaha, dan prinsip tata kelola yang baik. Tanpa itu, koperasi mudah terjebak pada praktik usaha konvensional yang tidak efisien dan tidak tahan guncangan pasar.

Peranan UMKM dalam Koperasi Merah Putih

UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) juga memegang peranan penting dalam mendukung keberhasilan Koperasi Merah Putih. UMKM, yang sering kali menjadi tulang punggung ekonomi desa, memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari ekosistem koperasi. Sinergi antara koperasi dan UMKM dapat menciptakan nilai tambah yang lebih besar, baik dalam bentuk produk, pasar, maupun pembiayaan.

Koperasi Merah Putih harus mampu menjadi jembatan antara UMKM dengan pasar yang lebih luas, termasuk akses pembiayaan, pemasaran digital, dan pendampingan dalam proses produksi. Ini adalah kesempatan untuk mengintegrasikan koperasi dengan dunia digital yang kini menjadi kunci utama dalam transformasi ekonomi.

Melalui pelatihan dan pendampingan UMKM, koperasi dapat menciptakan lingkungan usaha yang inklusif, di mana semua anggota memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan menikmati hasil usaha bersama. Model bisnis koperasi yang berbasis pada kemitraan dengan UMKM ini akan menghasilkan ekosistem ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Jalan Tengah: Membangun dari Dalam

Saya percaya bahwa Koperasi Merah Putih bukanlah proyek utopis. Ia bisa menjadi kenyataan jika dibangun dengan pendekatan yang humanistik dan partisipatif. Pemerintah pusat seharusnya memberikan ruang inisiatif kepada desa untuk merancang koperasinya sendiri. Tidak semua desa harus punya koperasi yang sama. Ada desa yang cocok membangun koperasi pertanian, ada yang lebih sesuai dengan koperasi simpan pinjam, dan ada pula yang bisa fokus pada koperasi digital berbasis marketplace lokal.

Pendekatan ini menuntut kepekaan, bukan sekadar ketegasan instruksi. Pendamping desa, tokoh masyarakat, dan pemuda desa harus diajak duduk bersama. Mereka bukan objek pembangunan, tetapi subjek utama dalam transformasi ekonomi ini.

Koperasi Merah Putih juga dapat dikembangkan sebagai ruang edukasi kewirausahaan kolektif. Di tengah arus individualisme ekonomi yang semakin kuat, koperasi bisa menjadi benteng moral yang mengajarkan tanggung jawab sosial, keadilan ekonomi, dan solidaritas antaranggota.

Program Koperasi Merah Putih adalah peluang besar untuk membangun kedaulatan ekonomi dari desa. Namun peluang ini hanya akan berhasil jika dikawal dengan semangat kolaborasi, partisipasi, dan pengawasan yang ketat. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Akademisi, organisasi masyarakat, tokoh agama, dan komunitas lokal harus bersatu dalam satu barisan: membangun koperasi yang benar-benar milik rakyat.

Sebagaimana kita belajar dari sejarah gerakan koperasi, keberhasilannya bukan ditentukan oleh besarnya modal, tetapi oleh kepercayaan dan komitmen bersama. Maka mari kita jaga semangat Merah Putih ini agar benar-benar menjadi nyala harapan bagi ekonomi rakyat Indonesia.

Dengan melibatkan UMKM dalam proses ini, kita menciptakan sebuah ekosistem ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi.

Penulis: Dr. Abid Muhtarom (Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Lamongan)