Akademisi Lintas Kampus Bahas Perundang-undangan RKUHAP di UTM Bangkalan
Wiyata 10 jam yang lalujatimnow.com - Sejumlah akademisi lintas kampus berkumpul di gedung Rektorat Universitas Trunojoyo Madura (UTM) untuk membahas urgensi perundang-undangan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Diskusi dihadiri para akademisi, di antaranya Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan, Rektor UTM Prof Dr Safi, SH, MH serta Dekan FH UTM, Dr Erma Rusdiana, SH, MH.
Selain itu juga hadir, ahli hukum pidana Dr. Sholehuddin sekaligus Dosen Pidana FH Universitas Bhayangkara Surabaya, serta Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya Dr. Prija Jatmika, Prof I Gede Widhiana Suarda, SH, M Hum, Phd, selaku Dosen Hukum Pidana FH Universitas Jember, Dr Rusmilawati Windari, SH, MH, selaku Dosen Kriminologi FH UTM.
Dalam paparannya, Prof Deni mengatakan perlunya kesinambungan dalam pelaksanaan kewenangan hukum pada tahap pra-ajudikasi. Menurutnya, sebelum perkara masuk ke pengadilan, pra-ajudikasi harus dilaksanakan secara tepat.
"Jadi tahap pra-ajudikasi harus dilakukan secara tepat terlebih dahulu karena hal itu merupakan fondasi awal dari keseluruhan proses peradilan pidana," ucapnya, Sabtu (26/4/2025).
Menurutnya, sistem peradilan pidana Indonesia terdiri dari tiga tahap, yakni Pra-Ajudikasi (Pre-Adjudication) meliputi penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian, serta penuntutan oleh Kejaksaan.
Kedua, yakni Ajudikasi atau proses pembuktian, hakim memiliki kewenangan untuk menentukan terdakwa bersalah atau tidak. Tahap ketiga, yakni pasca-ajudikasi atau terdakwa mendapatkan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
"Jadi di tahap awal atau pra-ajudikasi itu, pihak kepolisian memiliki tugas untuk melakukan pengumpulan bukti dan pengujian dasar hukum atas dugaan tindak pidana sesuai kasus yang ditangani," imbuhnya.
Tahapan itu sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang tertuang pada Pasal 1 angka (10), (13), Pasal 13, dan Pasal 14 ayat (1) huruf G menyebutkan bahwa Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. KUHAP pada Pasal 1 angka (1) dan (2), serta Pasal 6 ayat (1) menegaskan kewenangan Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana.
"Untuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tertuang Pasal 26 menyebutkan, kewenangan Polri dalam penyidikan, sedangkan Pasal 43 ayat (1) dan (2) memberi wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," ungkapnya.
Prof Deni menegaskan, Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap seluruh tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi. Sedangkan Kejaksaan bertanggung jawab dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan eksekusi atas putusan pengadilan.
"Tiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangannya masing-masing dalam setiap tahapan proses pidana," pungkasnya.