Pixel Code jatimnow.com

Palagan Perguruan Tinggi di Era AI

Opini 15 jam yang lalu
Wildan Krisnarwanto W. S. (Foto/dok. Pribadi)
Wildan Krisnarwanto W. S. (Foto/dok. Pribadi)
https://jatimnow.com/po-content/uploads/advetorial/dirgahayu-republik-indonesia-17-agustus-2025.jpg

Oleh: Wildan Krisnarwanto W. S.
Akademisi Universitas Dr. Soetomo (Unitomo

DI tengah gelombang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang makin tak terbendung, lanskap pendidikan tinggi di Indonesia tengah memasuki sebuah palagan: sebuah medan tempur.

Tapi bukan palagan fisik, melainkan palagan ide, relevansi, dan eksistensi. Bila dulu kampus menjadi mercusuar pengetahuan, hari ini banyak yang justru tampak seperti mercusuar mati: berdiri, tapi tak lagi menerangi.

Di palagan ini, perguruan tinggi swasta (PTS) menjadi front terdepan sekaligus yang paling rentan tumbang. Fenomena yang terjadi bukan semata disrupsi teknologi, tapi krisis struktural, eksistensial, dan epistemologis.

Pertarungan bukan lagi antar kampus, tapi antara kebermaknaan pendidikan tinggi versus otomatisasi dan ilusi akses instan ala Google dan ChatGPT.

Dunia Baru, Ketimpangan Lama

AI telah membuka pintu ke dunia baru: pekerjaan-pekerjaan berbasis rutinitas intelektual digantikan algoritma, akses ke informasi tidak lagi butuh ruang kelas.

Lantas, apa fungsi kuliah? Para calon mahasiswa kini mempertanyakan nilai dari menghabiskan waktu 4 tahun, dengan biaya yang kerap memberatkan, hanya untuk mendapatkan gelar yang belum tentu mengantar ke pekerjaan yang layak.

Namun di tengah transformasi ini, negara justru tampak abai pada struktur perguruan tinggi swasta yang nyaris “dibiarkan berenang sendiri”.

Pemerintah gencar mendorong pembukaan kampus-kampus baru, program studi baru, bahkan digitalisasi pendidikan, tapi lupa membenahi ketimpangan akses dan kualitas antar lembaga pendidikan.

Sementara perguruan tinggi negeri (PTN) besar makin meluas dengan skema kampus satelit dan pembukaan prodi di mana-mana, PTS justru terseok-seok merekrut mahasiswa di tengah kompetisi tidak sehat dan minim keberpihakan.

PTS: Antara Idealitas dan Realitas

Di sisi lain, PTS yang berada di bawah bayang-bayang regulasi dan minim subsidi menghadapi dilema berlapis. Untuk bertahan, mereka harus menarik mahasiswa sebanyak mungkin.

Namun, tanpa dukungan infrastruktur, SDM, dan pengakuan publik, mereka tak punya cukup "modal simbolik" untuk bersaing.

Akhirnya, sebagian memilih kompromi: menurunkan standar masuk, menyederhanakan kurikulum, bahkan ‘menjual ijazah’ dalam bungkus kelas online atau program akselerasi. Ini bukan salah mereka semata; sistem mendorong ke arah itu.

Dalam teori spiral keheningan (Noelle-Neumann), suara-suara kritis dari PTS kerap tenggelam karena dominasi wacana PTN dan narasi besar dari pemerintah. Akibatnya, masyarakat makin tersugesti bahwa hanya PTN yang layak dikejar, sedang PTS menjadi ‘pilihan terpaksa’.

Palagan Nusantara: Memori Perlawanan Intelektual

Namun sejarah Nusantara tidak pernah kekurangan contoh palagan intelektual. Di masa kolonial, pesantren menjadi benteng pendidikan alternatif.

KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari membangun sistem pendidikan dari bawah, bukan dari kekuasaan negara. Bahkan, Walisongo menyebarkan Islam bukan hanya lewat dakwah verbal, tapi lewat transformasi budaya dan ilmu pengetahuan lokal.

Palagan bukan soal menang, tapi soal bertahan dengan prinsip. Maka PTS hari ini pun seharusnya meniru spirit itu: membangun basis kebermaknaan pendidikan dari akar, bukan menunggu pengakuan dari pusat.

Mengapa tidak memosisikan diri sebagai pusat transformasi sosial lokal? Mengapa harus meniru model PTN yang elitis dan sering terjebak birokratis?

Komunikasi sebagai Pertaruhan Makna

Teori komunikasi transaksional menekankan bahwa proses komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, tapi menciptakan makna bersama.

Maka pendidikan tinggi seharusnya bukan hanya mengajar, tapi membangun ruang diskursif tempat mahasiswa, dosen, dan masyarakat berinteraksi.

Namun sayang, sistem pendidikan hari ini lebih mirip proses “broadcasting” daripada dialog. Dosen bicara, mahasiswa mendengar. Lalu AI mengambil alih peran itu, dan dosen pun tergeser.

Di sinilah ironi perguruan tinggi yang gagal membangun relevansi: mereka dikalahkan oleh mesin karena sejak awal pun mereka memperlakukan mahasiswa seperti mesin.

AI: Ancaman atau Pemersatu?

AI seharusnya menjadi pemantik reformulasi, bukan pembenaran efisiensi massal. Kampus harus menjawab: apakah mereka mampu menjadi curator of meaning di tengah banjir informasi? Atau justru menjadi repetitorium yang hanya menyebar konten tanpa narasi?

Bila jawaban pertama, maka AI adalah sekutu. Tapi jika jawaban kedua, maka AI akan menjadi ‘kuburan massal’ bagi ribuan kampus-kampus kecil yang tidak sempat berubah.

PTS harus mengambil palagan ini bukan sebagai perang, tapi sebagai laku perjuangan wacana. Masyarakat tidak butuh banyak kampus, tapi butuh kampus yang membela masa depan.

Kepada Calon Mahasiswa: Pilih dengan Mata Terbuka

Tulisan ini bukan untuk menakuti para calon mahasiswa. Tapi justru sebaliknya: sebagai ajakan untuk memilih jalur pendidikan dengan sadar.

Jangan terpesona pada nama besar PTN yang kadang lebih sibuk membangun branding daripada kualitas pembelajaran. Tapi juga jangan memilih PTS hanya karena jarak dekat atau murahnya biaya. Lihat kurikulumnya, nilai-nilainya, dan keterlibatannya dalam persoalan masyarakat.

Di era AI, ijazah bukan lagi paspor ke dunia kerja. Nilai kritis, kemampuan kolaborasi, dan keterhubungan dengan realitas sosial lebih menentukan.

Maka pilih kampus yang bisa membentuk Anda sebagai manusia merdeka berpikir, bukan sekadar calon tenaga kerja yang bisa digantikan mesin.

Saatnya Merumuskan Ulang Pendidikan Tinggi

Palagan ini belum selesai. Justru baru dimulai. PTS di Indonesia harus berani mengangkat suara, merumuskan ulang peranannya, dan menolak menjadi korban dari sistem yang disfungsional.

Negara harus turun tangan membenahi ekosistem pendidikan tinggi, bukan hanya lewat akreditasi dan insentif birokratis, tapi juga dengan keberpihakan anggaran, dukungan riset, dan pengakuan terhadap peran kampus kecil di daerah.

Sementara itu, masyarakat dan calon mahasiswa harus membuka mata: AI tidak akan membunuh pendidikan, tapi bisa membunuh kampus-kampus yang tidak mau berubah.

Di palagan ini, siapa yang berani bertahan dengan prinsip, dia yang akan dikenang sejarah.

 

https://jatimnow.com/po-content/uploads/advetorial/img-20250816-wa0022.jpg