Bukan Penyakit, Ini Cara Bijak Dampingi Anak Autis
Peristiwa 13 jam yang lalujatimnow.com - Penggiat autisme Chusnur Ismiati Hendro menegaskan bahwa autisme bukanlah penyakit yang harus disembuhkan, melainkan kondisi yang perlu dipahami dan dikelola secara berkelanjutan. Menurutnya, paradigma medis yang menganggap autisme harus diobati justru sering menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.
“Mendampingi anak autisme itu tergantung pada pemahaman orang tua, masyarakat, dan guru tentang apa sebenarnya autisme itu. Menurut paradigma medis, autisme harus diobati, padahal itu bukan penyakit,” tuturnya usai menjadi narasumber dalam acara Malang Autism Colors 2025 yang digelar Malang Autis Center, di Malang Creative Center (MCC), pada Sabtu (25/10/2025).
Ia menjelaskan, autisme merupakan gangguan pemrosesan informasi di otak, bukan gangguan fisik yang dapat disembuhkan dengan obat. Karena itu, penanganannya tidak bisa disamakan dengan pengobatan penyakit medis pada umumnya.
“Jika anak hiperaktif, maka yang diobati adalah hiperaktifnya, bukan autismenya. Begitu juga bila anak kekurangan vitamin, diberikan vitamin untuk mendukung fungsi saraf, bukan untuk menyembuhkan autisme,” jelasnya.
Ismiati Hendro menambahkan, pemahaman yang keliru tentang autisme sering membuat orang tua salah langkah. Banyak yang berharap anak mereka akan “sembuh” setelah menjalani terapi medis, padahal autisme merupakan kondisi jangka panjang yang memerlukan terapi perilaku dan dukungan lingkungan.
“Ini bukan soal sembuh atau tidak. Autisme perlu diterapi, dimanajemen, dan dibantu oleh semua pihak: dokter, pendidik, terapis, serta masyarakat yang peduli,” ungkapnya.

Menurut Ismiati Hendro, dukungan masyarakat sangat menentukan keberhasilan anak autis dalam beradaptasi di lingkungan sosial dan pendidikan. Ia mencatat masih banyaknya sekolah yang belum ramah terhadap anak dengan kebutuhan khusus.
“Kalau ada guru atau orang tua murid yang merasa tidak bisa menangani anak autis di sekolah, itu sama saja melanggar hak asasi manusia. Semua anak berhak belajar dan tumbuh sesuai potensinya,” tegasnya.
Ia juga menegaskan pentingnya pendekatan individual berdasarkan modalitas anak. Tidak semua anak autis bisa belajar dengan metode yang sama. Ada yang responsif terhadap suara, ada pula yang lebih mudah belajar melalui visual.
“Dalam terapi, kita harus melihat modalitas anak. Kalau dia tidak suka bunyi-bunyian, jangan dipaksakan. Tapi kalau dia tipe auditori, bisa diarahkan lewat suara. Setiap anak unik,” tuturnya.
Lantas bagaimana dengan kegemaran bermain gadget? Ismiati Hendro menilai, penggunaan gadget dalam mendampingi anak autis ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, cahaya layar bisa berisiko, tetapi di sisi lain, teknologi dapat berfungsi sebagai alat bantu belajar (assistive technology).
“Ada aplikasi yang membantu anak belajar menulis huruf, mengenali gambar, atau memahami emosi lewat emotikon. Anak autis lebih mudah memahami simbol dibandingkan bahasa verbal,” terangnya.
Namun, ia mengingatkan agar penggunaan gadget tetap diawasi dan diarahkan untuk tujuan edukatif, bukan hiburan semata.
Untuk itu Ismiati Hendro mengajak masyarakat untuk mengubah cara pandang terhadap autisme. Bukan lagi sebagai sesuatu yang harus “disembuhkan”, melainkan kondisi yang membutuhkan pemahaman, dukungan, dan kasih sayang.
“Autisme bukan aib dan bukan penyakit. Setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensinya. Kita semua punya peran untuk membuat lingkungan yang lebih ramah bagi mereka,” pungkasnya.