jatimnow.com – Ada satu desa di Sidoarjo yang unik dan menarik untuk disimak kisahnya. Di desa tersebut seluruh penduduknya tidak boleh menjual nasi dan rujak. Desa itu bernama Randegan di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo.
Di Desa Randegan, menjual nasi dan rujak adalah suatu pantangan. Hal ini sudah dipercaya masyarakat sekitar sejak dulu kala. Mereka meyakini jika ada yang melanggar pantangan akan mendapatkan musibah bagi keluarga.
Tokoh masyarakat setempat Gufron mengatakan, pantangan menjual nasi dan rujak sudah turun-menurun sejak kakek-nenek mereka menempati wilayah Desa Randegan. Ia lantas mengisahkan seorang temannya yang nekat membuka usaha jualan nasi ayam goreng dan bebek goreng. Saat awal, tetangga sekitar kabarnya sudah mengingatkannya untuk tidak berjualan nasi. Namun temannya tersebut tak menggubris.
Baca juga: Perubahan Operasional Bandara Juanda September-Oktober 2024, Cek Jadwalnya
"Ya tidak tahu, kemudian takdirnya tidak lama dipanggil yang Maha Kuasa alias meninggal dunia. Setelahnya, keluarga warga pendatang itu tidak ada yang meneruskan usaha jualan nasi tersebut," papar Gufron yang juga sebagai modin atau Kaur Kesra Desa Randegan.
Masyarakat sekitar juga tidak menampik bahwa segala sesuatu terjadi memang dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Namun, mereka hanya mewarisi apa yang diturunkan kepada sanak keluarga yang ada di Desa Randegan.
Baca juga: Ratusan Pelajar Meriahkan Festival Toleransi Sidoarjo, Ini Pesan Plt Bupati
Sementara itu, Ferry Adhi Dharma salah satu Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang konsen dalam Komunikasi Antar-Budaya menyebutkan bahwa semua kebudayaan yang ada memang dibentuk dan konstruktif. Beberapa budaya diciptakan sebagai ketakutan pada hal-hal yang secara nalar tidak masuk akal, mistis, dan minim pembuktian secara ilmiah, namun selalu memiliki makna.
Lebih lanjut, ia menerangkan di dalam budaya selalu ada pesan atau simbol yang disampaikan atau dikomunikasikan pendahulu untuk masyarakat sekitar khususnya. Pesan tersebut bisa berupa larangan, pantangan, atau keharusan untuk melakukan sesuatu. Pesan yang disampaikan secara terus-menerus secara turun-menurun dari lintas generasi maka akan menjadi sebuah kebudayaan.
Baca juga: 81 Petugas Panwaslu Kecamatan di Lamongan Resmi Dilantik
“Karena saya meyakini bahwa semua kebudayaan itu kan memang dibentuk. Ada nggak kira-kira yang bisa menceritakan secara rinci bagaimana awal mulanya dan rentetan korbannya. Jangan-jangan dahulu karena ada paceklik, sehingga tidak dijual nasi di situ. Atau karena mungkin hasil panen harus disebar ke penjuru masyarakat. Kan kami juga belum mengetahuinya. Hal ini sama seperti budaya Nyadran, yang memang masyarakat mempercayai bahwa ketika tidak melakukan upacara Nyadran, maka hasil tangkap nelayan akan menyusut dan sebagainya. Kebudayaan itu kan teks, jadi kami harus tahu konteks masa lalu apa yang melahirkan teks itu” terangnya.
Dalam waktu dekat, pihaknya akan meneliti terkait awal mula budaya pantangan tidak boleh berjualan nasi dan rujak di Desa Randegan, Tanggulangin, Sidoarjo.