jatimnow.com - Hidup ini memang dipenuhi ketidakpastian. Sebentar cuaca panas, kemudian hujan. Saat memakai jas hujan, ternyata hujan berhenti. Ini dituturkan Ahmad Faisal Amir, warga Surabaya, dalam pembukaan pameran seni bertajuk Ekspresi Ketidakpastian di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) Balai Pemuda Surabaya.
Dalam pameran yang digelar selama 2 hari Sabtu (2/3/2024) hingga Minggu (3/3/2024), tampak sejumlah lukisan (2 dimensi) dan beberapa karya bentuk 3 dimensi. Pada bentuk lukisan (2 dimensi) Amir menampilkan beberapa gambar tengkorak dengan teknik pointilis, yaitu teknik gambar dari titik-titik yang digabungkan.
“Titik itu adalah awal dan juga akhir, bagi saya. Sebelum membentuk sesuatu benda, misalnya daun atau pohon berawal dari sebuah titik, dan titik juga adalah bentuk akhir sebelum menghilang,” ungkap pria muda berusia 27 tahun ini.
Baca juga: Pameran di Rumah Seni Pecantingan Sidoarjo: Kritik Korupsi lewat Karya Lukisan
Amir lantas menceritakan saat memulai teknik pointilis ini sejak tahun 2018. Interaksi terhadap sejumlah seniman saat dirinya menjadi ”penunggu” Akademi Seni Rupa (Aksera ) memberinya bekal tentang teknik seni rupa ini. Dirinya mengaku memang tidak menempuh pendidikan seni secara formal.
Namun tak disangka, ia malah keranjingan dengan teknik pointilis ini, hingga melahirkan puluhan bahkan ratusan karya di atas kertas dengan beragam ukuran. Beberapa gambar yang ditampilkan dalam pameran ini, di antaranya adalah tengkorak, jantung, dan bentuk-bentuk lainnya.
“Tengkorak adalah bentuk diri kita sebelum menjadi tiada,” ucap pria yang dilahirkan di Kota Surabaya, namun menghabiskan masa remaja di Kota Magetan ini.
Menengok ke bagian tengah ruang galeri, tampak beberapa bentuk kayu yang disusun sedemikian rupa. Potongan-potongan kayu itu, dikatakan Amir, didapatkan dari sisa pepohonan yang dibuang saat pemangkasan, dari ranting yang semrawut, yang tak beraturan dan tak pasti.
“Seperti hidup saya sendiri juga yang tidak ada jadwal pasti harus melakukan apa,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Dari ranting yang semrawut dan tak beraturan itu, beraneka bentuk muncul dalam imajinasi Amir.
“Untuk bentuk yang ini, saya sebenarnya ingin membuat bentuk seseorang. Seseorang yang mungkin salah kakinya agak miring ke sini, lalu itu tangannya,“ ucapnya sambil menunjukkan pada bentuk orang-orangan yang tergantung di dinding.
Dari bentuk 2 dimensi berpindah ke karya 3 dimensi bukan tanpa alasan. Amir mengatakan. bentuk 3 dimensi yang diciptakan adalah untuk meneruskan garis imajinasi.
Baca juga: Isabell Roses Gelar Karya Lukisan di Surabaya: Realita Gen Z Jelajahi Lawasan
“Saat saya memvisualkan dalam bentuk 2 dimensi, imaginasi itu rasanya tidak selesai. Karena itu, saya melanjutkan dengan bentuk 3 dimensi,” paparnya.
Karya pointilis 2 dimensi dan bentuk 3 dimensi kayu-kayu ini mendapat apresiasi istimewa dari dosen Seni Rupa Sekolah Tinggi kesenian Wilwatikta (STKW) Hari Prayitno.
“Karya Amir memang istimewa. Dia berhasil membuat bentuk yang selama ini tidak direken (dianggap penting) menjadi sesuatu yang akhirnya perlu direken. Misalnya, bentuk orang-orangan ini, dibentuk dari sobekan triplek yang rapuh, lalu diikat oleh kawat bendrat yang juga rapuh,” ucap Hari.
Kerapuhan inilah, menurut Hari, yang menjadi bahan pembicaraan. Kerapuhan atau ketidaksempurnaan atau juga ketidakpastian ini di tangan Amir menjadi sebuah bentuk, menjadi pasti. Meski demikian, bentuk itu tidak kemudian menjadi gagah (kuat), karena kerapuhan tetap melekat pada benda tersebut.
“Orang mungkin tidak sadar, bahwa manusia pun akan rapuh, di usia tertentu, sebelum pada akhirnya akan mati. Karya ini mengingatkan manusia tentang hal itu,” ucapnya.
Baca juga: Pameran Lukisan Sanggar Sawunggaling, Ruang Warga Akrab dengan Seni
Lebih jauh Hari memaparkan bahwa penggunaan sobekan triplek dan kawat bendrat memang bisa dikatakan tidak ada gunanya atau tidak fungsional. Namun Hari menekankan, bahwa memang Amir menciptakan bentuk ini untuk tujuan diluar fungsional. Di sinilah letak estetikanya.
“Karena rapuh, bisa dikatakan benda-benda ini tak ada fungsinya. Tetapi justru disitulah letak estetikanya. Karena estetika bukan benda yang memiliki fungsi secara pragmatis. Dan Amir berhasil memvisualkan kayu-kayu rapuh ini menjadi bentuk yang bernilai estetika dan menginspirasi di kehidupan,” sambung Hari.
Karya ini juga mengingatkan Hari pada keniscayaan hidup. Artinya, manusia bisa hidup dan berkarya dengan materi atau bahan seadanya. Bahan atau materi yang dibeli tidak harus yang terbaik atau yang paling bagus. Ini korelasi dengan konsep seni di Itali, yakni artpovera, yang berkembang tahun 1960an, dan memiliki makna seni berbahan miskin.
Terhadap keseluruhan karya yang ditampilkan, Hari menilai, pencapaian Amir yang otodidak, sudah melebih para seniman jebolan sekolah seni. Selain itu, karya 3 dimensi Amir pun dinilai Hari cukup cerdas.
“Amir sudah sampai pada pandangan bahwa nilai itu tidak selalu lahir dari yang bagus-bagus, yang kinclong. Karyanya mengingatkan pada kematian, kerapuhan. Ini menginpirasi!” tegas Hari.