Perkara KDRT di Surabaya yang Dilaporkan WN Australia Disebut Cacat Hukum
Peristiwa Jumat, 08 Jul 2022 10:01 WIBSurabaya - The Irsan Pribadi Santoso menyebut perkara yang membelitnya hingga ke meja hijau terlalu dipaksakan oleh jaksa. Terdakwa dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) itu, menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengesampingkan asas equality before the law atau asas persamaan di hadapan hukum.
Penasihat hukum Irsan, Filipus Goenawan menjelaskan, pihaknya menyoroti hal tersebut sejak perkara ini memasuki persidangan. Hal ini ditegaskannya pula saat agenda pembacaan duplik di PN Surabaya, Kamis (7/7/2022).
"Penegak hukum memang harus melindungi korban, namun terhadap terdakwa pun wajib merasakan keadilan yang sesungguhnya," ujar Filipus, Jumat (8/7/2022).
Baca juga: Dugaan Kewarganegaraan Ganda, WN Australia Dilaporkan ke Imigrasi
JPU, lanjut Filipus, tidak mempertimbangkan kondisi terdakwa yang mengalami kekerasan psikis sejak 2015 oleh korban melalui ucapan-ucapan kasar.
Artinya, kata Filipus, ketika ini diungkapkan di dalam turunan berita acara pemeriksaan (BAP), maka yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan secara terpadu dan preventif sesuai yang diamanatkan oleh Undang-undang sehingga tercipta proses adil bagi kedua belah pihak, bukan untuk menjalankan prinsip penghukuman terhadap pelaku.
"Yang artinya JPU harus membaca pasal 2, pasal 3, pasal 4 dan pasal 15 UU RI nomor 23 tahun 2004 secara komprehensif dan kolektif tentang PKDRT secara pengertian luas, bukan secara pengertian sempit," jelasnya.
Dalam dupliknya, Filipus menyatakan bahwa JPU telah lalai melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam mengungkapkan fakta, terutama dalam hal tidak meneliti perkara ini dengan melihat asas teori hukum pidana yang diambil dari ilmu filsafat, yakni prinsip kausalitas tentang suatu sebab dan akibat dari kejadian sebelumnya.
Ia juga menyinggung analisa yuridis pendapat ahli tentang dua alat bukti yang diajukan oleh JPU, yakni CCTV dan visum yang keduanya adalah cacat hukum. Maka dalam perkara ini hanya terdapat satu alat bukti yaitu keterangan dari saksi Chrisney Yuan Wang.
"Dengan demikian dalam perkara tindak pidana kekerasan fisik dan psikis dalam rumah tangga yang diduga dilakukan oleh terdakwa adalah tidak cukup bukti. Dan oleh sebab itu terdakwa haruslah dibebaskan dari segala tuduhan dan direhabilitasi nama baiknya," ungkapnya.
Berdasarkan fakta hukum di persidangan, diketahui saksi korban Chrisney selaku pelapor mempunyai dua kewarganegaraan yaitu KTP dan paspor.
Atas dwi kewarganegaraan atau berkewarganegaraan ganda, pakar hukum pidana internasional, dr Wisnu Aria Dewanto pun menyatakan bahwa Undang-Undang No 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mengakui adanya kewarganegaraan ganda bagi WNI kecuali anak-anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4, 5 dan 6.
Jika WNI memiliki dua paspor yang masih berlaku sebagai contoh Indonesia dan Australia, maka WNI tersebut akan kehilangan statusnya sebagai WNI, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.
Dengan demikian, tambah Filipus, Chrisney Yuan Wang sebagai pelapor dalam perkara ini telah menyembunyikan kewarganegaraannya yang asli yakni sebagai warga negara Australia.
Akibat hukum atas perbuatan tersebut, maka KTP identitas yang dipakai oleh Chrisney Yuan untuk melaporkan terdakwa Irsan adalah cacat hukum.
"Untuk itu kami kuasa hukum terdakwa meminta pada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan tuntuan JPU," pungkas Filipus.
The Irsan Pribadi Susanto melaporkan Chrisney Yuan Wang ke Imigrasi atas dugaan kasus dwi Kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda. Atas laporan itu, Chrisney kabarnya telah menjalani pemeriksaan, begitupun Irsan.