Generasi Muda Harus Jadi Pengelola Teknologi yang Cerdas dan Kritis
Wiyata 10 jam yang lalujatimnow.com – Di tengah derasnya arus transformasi digital, Indonesia tengah mengalami pergeseran paradigma dalam kehidupan publik, pekerjaan, dan ekonomi.
Era yang didorong oleh kecerdasan buatan, big data, dan konektivitas global ini menuntut setiap individu, terutama generasi muda, untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pengelola yang cerdas dan kritis.
Dalam acara “Jagongan Bareng” Rumah Literasi Digital (RLD), Dr. Harliantara, Drs., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya, menegaskan pentingnya digital skill dan literasi digital sebagai modal utama bagi kemajuan nasional menuju Indonesia Maju 2045.
“Digital skill adalah emas abad ke-21. Kita harus mulai menggali dan menempa emas ini, sebelum negeri ini tertinggal,” ujarnya.
Digital skill menjadi fondasi penting bagi Indonesia untuk mewujudkan visinya sebagai negara maju. Data menunjukkan bahwa sekitar 73% nilai keterampilan digital berasal dari pekerja di sektor non-teknologi, seperti manufaktur, jasa profesional, dan pemerintahan.
Itu berarti bahwa tenaga pabrik, karyawan kantor, atau bahkan guru pun harus menguasai keterampilan digital dasar.
Untuk itu, ada beberapa digital skill yang kini menjadi kunci kompetisi di berbagai sektor. Misalnya, coding dan app development membuka wawasan untuk inovasi dan solusi teknologi.
Kemudian, UI/UX design sangat menentukan kualitas pengalaman pengguna, yang pada akhirnya memengaruhi keberhasilan produk digital.
Tak kalah penting, SEO dan social media marketing menjadi krusial bagi bisnis, UMKM, bahkan untuk personal branding. Dan yang paling menonjol, data literacy dan analytical thinking menjadi keterampilan yang paling dicari, seperti yang tercantum dalam World Economic Forum Future of Jobs Report 2025, sebagai salah satu dari lima keterampilan paling dibutuhkan di masa depan
Literasi digital lebih dari sekadar mengetahui cara menggunakan smartphone. Ia merujuk pada pemahaman mendalam tentang dampak, risiko, dan manfaat teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut data dari Kominfo, indeks literasi digital Indonesia mencapai 3,78 dari skala 5 pada tahun 2024, menunjukkan tren peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya (3,49).
Namun, angka ini masih jauh dari ideal. Banyak masyarakat—khususnya di wilayah pedesaan maupun kalangan usia lanjut—masih rentan terhadap hoaks, penipuan daring, dan eksploitasi data pribadi.
Oleh karena itu, literasi digital juga mencakup serangkaian kemampuan penting, seperti kemampuan untuk memverifikasi sumber informasi agar tidak mudah termakan hoaks, kesadaran akan pentingnya privasi dan keamanan digital untuk melindungi data pribadi, serta sikap kritis terhadap isi konten, terutama yang beredar di media sosial, agar tidak mudah terprovokasi atau termanipulasi.
Indonesia kini memiliki lebih dari 200 juta pengguna media sosial, dengan rata-rata penggunaan 3 jam 8 menit per hari. Ini membentuk masyarakat digital yang dinamis, interaktif, dan sangat terkoneksi. Namun, tanpa literasi yang baik, masyarakat rentan menjadi pengguna pasif atau bahkan korban dari manipulasi informasi.
Karena itu, digital citizenship, penggunaan digital secara bertanggung jawab dalam pelayanan publik dan kontribusi sosial—harus menjadi bagian dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Harliantara, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil oleh berbagai pihak.
Pertama, pemerintah dan kampus harus bekerja sama memperkuat kurikulum digital, terutama dalam hal data literacy dan keamanan siber. Program Digitalent Kemenkominfo perlu diperluas jangkauannya hingga ke wilayah-wilayah terpencil.
Kedua, sekolah dan perguruan tinggi perlu melibatkan digital skill dalam pembelajaran lintas disiplin, tidak hanya terbatas pada jurusan teknologi saja.
Ketiga, peran komunitas dan influencer sangat penting dalam menggalakkan kampanye edukasi digital yang menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Terakhir, setiap individu juga memiliki tanggung jawab untuk mengasah literasi digital secara mandiri, belajar membedakan informasi yang benar dan salah, melindungi data pribadi, serta menggunakan teknologi untuk kesejahteraan pribadi dan sosial.
Perlu dicatat, kecakapan digital bukan lagi nice to have, tapi must have. "Di tahun 2025, kita tidak lagi berhadapan dengan pilihan antara "digital" atau "tidak", melainkan antara digital yang bijak atau digital yang membahayakan," tuturnya.
Melalui transformasi yang dipimpin oleh generasi milenial dan Gen Z—yang secara alamiah terbiasa dengan teknologi—Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pionir masyarakat digital yang berwawasan, aman, dan produktif.
"Mari kita bersama membangun Indonesia yang bukan hanya melek digital, tetapi juga bijak digital. Karena di era digital, yang menang bukan yang paling beradab, tetapi yang paling cerdas dalam menggunakan teknologi dengan bijak," pungkasnya.