Pixel Code jatimnow.com

Memahami Istilah Sanksi Nonaktif untuk DPR RI Menurut Pakar

Politik 5 jam yang lalu
Surokim Abdussalam (dok.jatimnow.com)
Surokim Abdussalam (dok.jatimnow.com)

jatimnow.com - Belakangan, tiga partai secara serentak menonaktifkan lima anggota DPR RI. Dua terdiri dari Partai NasDem, dua dari PAN, dan satu lagi kader dari Golkar.

Mereka yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach dari Partai NasDem. Lalu Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN, dan Adies Kadir dari Golkar.

Kelimanya diduga menjadi orang yang paling bertanggungjawab dari memanasnya situasi dinamika politik dalam negeri. 

Akibatnya, demonstrasi berjalan secara masif ditengah tekanan kebijakan pemerintah yang dianggap satu arah.

Namun, apakah penonaktifan sudah bisa dianggap sebagai punishment bagi mereka?

Menurut Pakar Politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam, istilah nonaktif yang digunakan partai dalam bahasa punishment adalah jalan tengah yang hanya bersifat sementara.

Artinya, partai secara simbolik memberikan keputusan yang menggantung. Atau bisa dinilai sebagai punishment yang bersifat tumpul.

Mengapa demikian, sebab, hak-hak dasar mereka sebagai DPR RI tetap bisa diterima secara utuh. Selama, status Pergantian Antar Waktu (PAW) belum ditetapkan.

Sebab, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 19 Ayat 4, menyebut anggota diberhentikan sementara, tetap berhak atas hak keuangan hingga ada keputusan resmi.

"Nonaktif menurut pemahan saya bersifat sementara saja dan bukan permanen berarti sewaktu waktu bisa aktif kembali," ucap Surokim, kepada jatimnow.com, Senin (1/9/2025).

Bagi Surokim, publik hanya dikecoh secara bahasa. Undang-undang dan Tatib DPR tak pernah memiliki istilah nonaktif. Yang ada hanya Pergantian Antar Waktu (PAW)

Ini hanya sebuah strategi politik untuk meredam kemarahan, meredam suasana, dan mendinginkan emosi. Seolah, partai telah memberikan sanksi tegas.

"Ya langkah setengah hati, dan parpol masih mungkin memberi pengampunan dan mengembalikan jabatan itu," jelas Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISIB) itu.

Disisi lain, keputusan nonaktif ini bisa jadi adalah langkah awal partai. Selama, publik terus mengawal langkah tegas selanjutnya. Sampai, sosok PAW diumumkan.

Publik pun perlu menekan, agar sanksi tegas ini cepat dikeluarkan. Sekaligus menutup karir politik mereka.

"Nonaktif bisa jadi adalah langkah awal, jika publik terus bisa mengawal, bisa meminta tindak lanjut atas nonaktif tersebut menjadi permanen atau lanjutannya, dan itu sekali lagi tidak mudah, kalau tidak ada tekanan dan pantauan publik yang kuat," pungkas Direktur Surabaya Survei Center (SSC) tersebut.

Diketahui, ketagangan politik di tanah air dalam sepekan ini, mulai mereda setelah 5 politisi tersebut dinonaktifkan dari DPR RI.

Sikap tegas ini diawali oleh NasDem pada Sabtu (30/8/2025). NasDem mengumumkan secara resmi memberhentikan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach.

"Dengan ini DPP Partai NasDem menyatakan terhitung sejak Senin, 1 September 2025, menonaktifkan Saudara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem," ucap Ketua Umum NasDem Surya Paloh.

Statement keduanya secara terbuka dinilai menjadi pemicu gejolak dinamika sosial politik di tanah air. Salah satunya istilah umpatan "Tolol" yang diucapkan Ahmad Sahroni.

Di hari yang sama, warga juga melampiaskan amarah pada kediaman Sahroni di Priok, Jakarta Utara. Aksi penjarahan terjadi, sejumlah dokumen penting, hingga barang branded milik Crazy Rich priok itu ludes dan dirusak.

Kedua, sikap tegas juga dikeluarkan oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Eko Patrio alias Eko Hendro Purnomo, dan Uya Kuya, alias Surya Utama dari kursi DPR RI. 

Pernyataan tersebut keluar pada Minggu (31/8/2025). Pengumuman resmi ini disampaikan Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi

"Mencermati dinamika dan perkembangan saat ini, DPP PAN memutuskan untuk menonaktifkan Saudaraku Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Saudaraku Surya Utama (Uya Kuya) sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi PAN DPR RI, terhitung sejak hari Senin, 1 September 2025," ucap Viva Yoga.

Keduanya juga diduga kuat sebagai bagian dari penyebab memanasnya suhu dinamika politik yang terjadi di tanah air. 

Namun, publik paling tersinggung saat Eko Patrio berjoget ria sesaat setelah gaji dan tunjangan DPR diumumkan naik, ditengah situasi warga di tanah air tertekan dengan naiknya pajak PBB, dan efisiensi.

Terakhir, Adies Kadir, sosok politisi senior asal Surabaya. Kabar pemberhentiannya tersiar di waktu yang sama, Minggu kemarin. 

Adies diduga melakukan kesalahan dan memantik cemoohan publik. Apalagi saat bicara tentang tunjangan sebesar Rp50 juta untuk perumahan anggota dewan sebagai hal yang wajar.

"DPP Golkar resmi menonaktifkan saudara Adies Kadir sebagai anggota DPR dari Fraksi Golkar, terhitung sejak Senin, 1 September 2025,” bunyi surat keputusan yang ditandatangani Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, Minggu (31/8/2025)

Ketegangan ini juga merembet ke Jawa Timur. Gedung Grahadi yang menjadi simbol pemerintahan di Jatim dijarah dan dibakar oleh massa, kericuhan di Polrestabes Surabaya, Polda Jatim, dan sejumlah pos polisi hingga Polsek Tegalsari dijarah dan dibakar.

Kericuhan juga menjalar ke beberapa wilayah di Jatim, diantaranya Kantor Pemkab Kediri dan Gedung DPRD yang dibakar hingga hangus, kericuhan di depan Polres Jember, Madiun, Ponorogo dan Madura.

Di sisi lain, dampak dari keputusan tegas tiga partai yang menonaktifkan kadernya tersebut, suhu dinamika politik dalam negeri mulai mereda. Sejak Minggu hingga berita ini terbit Senin (1/9/2025) terhitung gelombang aksi demonstran berhenti.