Denny JA: Media Sosial Ubah Aksi Protes, Demokrasi Digital Butuh Arsitektur Baru
Nasional 7 jam yang lalujatimnow.com - Era media sosial telah mengubah lanskap aksi protes dan politik secara fundamental. Pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI), Denny JA, mengungkap bagaimana kecepatan informasi, suara rakyat kecil, dan emosi kolektif kini membentuk dinamika politik yang baru. Namun, ia juga mengingatkan tentang bahaya hoaks dan disinformasi yang mengintai.
Denny JA mengulik kisah tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang menjadi korban dalam aksi massa.
"Kita menyaksikan bagaimana satu video bisa melampaui pagar negara, melahirkan gelombang protes serentak," kata Denny JA.
"Inilah wajah baru politik kita: bukan lagi semata di ruang parlemen, bukan lagi hanya dalam rapat kabinet, melainkan dalam linimasa Handphone yang berdenyut cepat dan tak terduga," lanjutnya.
Denny JA mengidentifikasi lima perubahan utama yang disebabkan oleh media sosial dalam aksi protes dan politik.
Pertama, adalah kecepatan. Media sosial telah mempercepat jalannya sejarah, memungkinkan penggalangan massa dalam hitungan menit saja.
Kedua, media sosial memberikan panggung bagi suara rakyat kecil. Ruang untuk bersuara semakin terbuka lebar, bahkan mampu menjungkirbalikkan wacana yang sebelumnya dianggap resmi.
Ketiga, media sosial berfungsi sebagai pengeras emosi. Ia memperkuat emosi individu, mengubahnya menjadi emosi kolektif yang pada akhirnya memicu aksi nyata.
Keempat, protes yang awalnya bersifat lokal kini menjadi tontonan global. Hal ini memicu solidaritas lintas bangsa, di mana orang dari berbagai negara dapat merasakan dan mendukung perjuangan yang sama.
Namun, di balik semua manfaat itu, kelima, ada bahaya disinformasi yang mengintai. Media sosial sangat rentan terhadap penyebaran hoaks dan disinformasi, yang berpotensi memicu kekacauan dan merusak tatanan sosial.
Menyadari bahaya yang mengintai, Denny JA menyerukan perlunya arsitektur baru dalam demokrasi digital.
"Demokrasi digital adalah medan baru pertempuran nasib manusia. Ia bisa melahirkan cahaya solidaritas, atau kabut kekacauan," tegasnya.
Untuk membangun demokrasi digital yang lebih sehat, Denny JA mengusulkan tiga pilar utama yang perlu diperhatikan.
Pilar pertama adalah regulasi algoritma yang transparan. Cara kerja mesin di balik platform media sosial harus dibuat jelas dan dapat diawasi oleh publik.
Pilar kedua adalah kemitraan yang kuat dengan fact-checker independen. Perlu ada pihak netral yang bertugas memeriksa kebenaran informasi dan bekerja sama dengan platform untuk memberi label atau menghapus hoaks yang beredar.
Pilar ketiga yang tak kalah penting adalah literasi digital sejak dini. Anak-anak perlu diajarkan sejak usia muda tentang cara membedakan fakta dari fitnah, serta bagaimana berpikir kritis sebelum menyebarkan informasi apapun.
"Namun akhirnya, mari kita ingat: bukan media sosial yang menentukan. Kitalah para pemakai, yang mengarahkan ke mana api dibawa," pungkasnya.