jatimnow.com - Sebuah foto menjadi viral setelah beredar di Grup Whatsapp karena tertulis pemilik rumah siap menerima 'serangan fajar'.
Foto itu entah benar atau hanya guyonan. Tapi kemungkinan, foto itu merupakan sindiran yang sengaja dilakukan oleh seseorang terkait kondisi politik jelang pesta demokrasi atau Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019 serentak di Indonesia saat ini.
Dalam foto itu tertulis:
Baca juga: Hasto Tegaskan PDI Perjuangan Bukan Partai Kemarin Sore, Sindir Demokrat?
Menerima 'Serangan Fajar'.
1. Caleg DPRD II Rp 300.000,-
2. Caleg DPRD I Rp 100.000,-
3. Caleg DPRD Pusat Rp 50.000,-
Anggota keluarga 9 orang.
"Keras Kehidupan Boss"
TTD, saya yang punya rumah.
Serangan fajar merupakan salah satu bentuk dari money politic atau politik uang yang dilakukan pada sebuah pesta demokrasi atau pemilu, mulai dari pemilihan kepala dusun hingga pemilihan presiden.
Menanggapi foto yang beredar itu, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Timur, Purnomo Satriyo Pringgodigdo menyebut, bisa jadi itu sesungguhnya ujian bagi para peserta pemilu.
Karena menurutnya, jika menilik dari survei yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga survei, sesungguhnya hanya ada 13 persen pemilih di Kota Surabaya yang dapat dipengaruhi oleh politik uang.
Baca juga: Video: Pesan Mahfud MD untuk Jokowi-Prabowo
"Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas justru tidak dapat dipengaruhi atau bahkan mereka (pemilih) memang akan tetap menerima uangnya tetapi di hari pencoblosan akan tetap memliih sesuai pilihannya sendiri," ungkapnya kepada jatimnow.com, Kamis (4/4/2019) malam.
Bawaslu berharap, baik masyarakat maupun peserta sama-sama menghitung kembali jika hendak melakukan money politic.
"Bagi pemilih, hitung-hitungan yang selama ini digunakan adalah seberapa signifikan sesungguhnya kita menilai hak pilih yang kita miliki. Dalam pemilu ini, bisa jadi pemilih mendapatkan angka Rp 300 ribu, sebagaimana yang ditampilkan dalam stiker tersebut. Namun apakah itu sepandan dengan pendidikan tingkat dasar yang diinginkan oleh pemilih di Surabaya?" ungkapnya.
Sebab, lanjut Purnomo, angka Rp 300 ribu itu sendiri sesunguhnya hanya menyumbang Rp 5 ribu dari biaya pendidikan yang harus dikeluarkan sebulan jika dibandingkan dengan memilih calon anggota legislatif yang benar-benar dikenal. Sebab menjanjikan program pendidikan berkualitas yang terjangkau, dapat ditagih janjinya.
Baca juga: Mahfud MD Minta Jokowi-Prabowo Segera Rekonsiliasi
Sedangkan bagi oknum, bisa jadi yang harus diingat adalah berbedanya rezim yang berlaku saat ini, dengan pilkada lalu. Jika pilkada lalu, baik pemberi maupun penerima sama-sama diancam sanksi pidana, maka untuk pemilu, ancaman sanksi hanya ditujukan kepada pemberi saja.
"Jadi mari dibayangkan, di mana belum ada jaminan bahwa pemilih tersebut akan memilih, justru bisa jadi ketika melakukan politik uang. Pihak yang menerima justru mendokumentasikan aktivitas tersebut dan dilaporkan," bebernya.
Purnomo juga menyampaikan bahwa untuk masa kampanye dan masa tenang, yang diatur oleh undang-undang adalah aktivitas pelaksana, peserta dan tim kampanye yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya, secara langsung ataupun tidak langsung, diancam sanksi pidana 2-4 tahun dan denda paling banyak Rp 24-48 juta.
"Belum lagi sanksi pembatalan sebagai calon terpilih," tegasnya.