jatimnow.com - Vonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor di Surabaya terhadap Bupati Nonaktif Tulungagung, Sahri Mulyo sudah dinyatakan inkrah atau berketatapan hukum pada akhir Februari 2019 lalu. Namun, surat pemberhentian masih belum dikeluarkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Atas dasar itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tulungagung masih akan menunggu surat pemberhentian tersebut untuk mengusulkan plt Bupati Tulungagung Maryoto Birowo sebagai Bupati.
Ketua DPRD Tulungagung Supriyono menjelaskan, dirinya baru menerima salinan hasil keputusan inkrah tersebut pada 16 Maret 2019 lalu. Meskipun sudah menerima salinan, tapi DPRD tidak bisa langsung mengusulkan plt Bupati Tulungagung, Maryoto Birowo sebagai Bupati. Sebab proses itu harus menunggu terbitnya surat pemberhentian dari Mendagri terlebih dahulu.
Baca juga: Tak Bayar Uang Pengganti dan Denda, Mantan Bupati Tulungagung Batal Bebas
"Jadi mekanismenya Gubernur akan mengusulkan surat pemberhentian ke Mendagri, bukan kita yang mengusulkan," ujar Supriyono, Sabtu (6/4/2019).
Setelah surat pemberhentian terbit, Gubernur akan mengirimkan ke DPRD dan ditindaklanjuti dengan pembentukan panitian khusus (pansus) yang akan mempersiapkan pelaksanaan rapat paripurna dengan agenda pengusulan plt Bupati menjadi Bupati. Selanjutnya, Gubernur akan meneruskan usulan tersebut ke Mendagri.
Baca juga: Bupati Tulungagung Maryoto Birowo Belum Tahu Sosok Pj Penggantinya
"Kita harus menunggu surat pemberhentian terlebih dahulu dari Mendagri," jelasnya.
Politisi PDIP ini mengaku belum mengetahui kapan surat pemberhentian tersebut turun. Ia berharap Gubernur bisa segera mengusulkan ke Mendagri untuk ditindaklanjuti.
Baca juga: Turun Peringkat ke-27, Atlet Kontingen Tulungagung Dapat Bonus Ratusan Juta
"Kita hanya bisa menunggu, setelah surat pemberhentian turun baru kita bisa menyiapkan yang lain," pungkasnya.
Oleh Pengadilan Tipikor di Surabaya, Bupati Nonaktif Tulungagung, Sahri Mulyo divonis hukuman 10 tahun penjara dengan denda Rp 700 juta dan harus mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 28 miliar. Vonis itu dijatuhkan atas kasus penerimaan suap pembangunan infrastruktur. Dan putusan itu dinyatakan inkrah sejak 22 Februari 2019 lalu.