jatimnow.com - Sebuah bangunan bercat biru putih di Jalan Muncul Keboansikep, Gedangan, Sidoarjo masih tampak berdiri kokoh. Tidak ada lalu lalang kendaraan yang keluar masuk pabrik kaleng yang konon berdiri di era Presiden Soekarno tersebut.
"Hampir satu bulan, buruh pabrik di sini mogok kerja mas," jawab perempuan penjaga warung seberang pabrik tersebut kepada jatimnow.com, Selasa (30/4/2019).
Berawal dari cerita itu, jatimnow.com mencoba menggali informasi, apa yang sebenarnya terjadi di pabrik tersebut. Sekitar pukul 11.00 Wib, sejumlah buruh pabrik berseragam biru dan merah tampak bergerombol di area parkir motor pabrik. Setidaknya ada 50an orang terdiri, baik buruh pria maupun wanita.
Baca juga: Ponorogo Peringati Hari Buruh Tanpa Unjuk Rasa
Dari informasi yang didapat jatimnow.com di lokasi, pabrik ini memiliki sekitar 130 buruh dengan sistem upah dua minggu sekali. Namun, sudah tiga kali dua minggu, para buruh di sana terlambat menerima upahnya.
"Tiga periode para buruh di sana terlambat menerima upah," ungkap Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK SP LEM SPSI), Eko Adrianto kepada jatimnow.com.
Mendengar cerita itu, jatimnow.com mencoba menemui para buruh pabrik yang disebut sudah mogok kerja karena terlambat menerima upah tersebut. Hingga jatimnow.com bertemu wanita 57 tahun bernama Karti.
Karti bercerita bahwa ia sudah menjadi buruh di pabrik itu selama 40 tahun lebih. Dia mulai menjadi buruh di pabrik itu dengan gaji Rp 600,- hingga di tahun 2019, ia mendapat upah minimum kabupaten sebesar Rp 3,3 juta.
"Di pabrik ini saya sudah bekerja 40 tahun lebih. Untuk tahun berapanya saya lupa. Kan yang penting itu dulunya bisa menghasilkan uang dan membiayai hidup sendiri," sebut Karti, warga asal Surabaya ini memulai ceritanya.
Karti mencoba mengulik kembali ingatannya saat awal ia menjadi buruh serabutan di pabrik pembuat kaleng itu hanya dibayar tidak sampai Rp 1.000. Meski demikian, Karti mensyukuri dan merasa cukup untuk menghidupi dirinya sendiri.
"Kalau tidak salah dulu itu saya menerima gaji Rp 600,-. Saat itu saya belum nikah, jadi Alhamdulillah cukuplah buat keperluan pribadi," ulasnya.
"Tugas saya serabutan kadang di komponen, ngeplong dan angkat-angkat plat seberat 5kg sendiri," tambah wanita yang rambutnya mulai beruban ini.
Baca juga: Pj Gubernur Adhy Janji Akomodir Tuntutan Buruh saat Aksi May Day di Surabaya
Tidak terasa, masa kerja Karti di pabrik itu sudah 40 tahun dan sudah tiba masa pensiun. Namun, di saat semua buruh di dunia merayakan Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, Karti dan seluruh buruh di pabrik itu justru harus mogok kerja karena kesepakatan bersama akibat upah mereka terlambat dicairkan.
"Ini menunggu, belum ada sangunya (pensiun). Saya sudah minta ke personalia dan minta tolong ke SPSI, tapi nggak ada uang disuruh kerja lagi," terangnya.
"Gimana ini, saya ini pinginnya pensiun karena saya habis sakit komplikasi selama 13 bulan kemarin. Tenaga sudah tidak kuat, pinginnya keluar tapi belum dapat pensiun," keluh Karti.
Sejak menjalani masa tambahan kerja selama dua tahun itu, Karti bersama 5 buruh lain seangkatannya juga tidak mendapatkan upah atau gaji secara utuh selama dua bulan berturut-turut.
Hal itu juga yang dirasakan 130 buruh lainnya yang masih aktif sehingga timbul perselisihan antara para buruh dan manajemen pabrik dan berujung mogoknya para buruh yang dilakukan di lingkungan pabrik.
Cerita Karti kembali dibenarkan oleh Eko Adrianto. Ia mengatakan kesepakatan mogok kerja itu akibat adanya keterlambatan pembayaran upah para buruh pabrik sejak periode pengupahan tanggal 27 Januari 2019-09 Februari 2019 dan periode pengupahan tanggal 10 Februari 2019-23 Februari 2019 serta periode Maret 2019.
Baca juga: Peringati May Day, Buruh di Candi Sidoarjo Belajar Melukis
"Belum terbayar karena alasan dengan situasi keuangan tidak memungkinkan sedang munting (kolaps), tapi tidak mau tutup. Selain itu, permasalahan tentang adanya indikasi tunggakan pembayaran iuran BPJS Katenagakerjaan pakerja kontrak yang belum dibayarkan oleh pihak PT. Sinar Djaja Can," urainya.
Selain itu, lanjut Eko, sebab-sebab lain mogok kerja dikarenakan permasalahan tentang indikasi indikasi pembayaran upah pekerja PT. Sinar Djaja Can tahun 2019 tidak sesuai dengan besaran Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 1881786/KPTS/01312018 Tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Nomor: 188/666/KPTS/013/2018 tentang UMSK di Jawa Timur Tahun 2019, yaitu sebesar Rp. 4.212.618,85, dan atau Keputusan Gubemur Jawa Timur Nomor: 188/665/KPTS/O13/2018 Tentang UMSK di Jawa Timur Tahun 2019, yaitu sebesar Rp. 3.864.969,.
Permasalahan tentang adanya indikasi Kekurangan Upah Pekerja PT. Sinar Djaja Can Tahun 2018, yang mana tidak sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2018 Tentang UMSK di Jawa Timur Tahun 2018, yaitu sebesar Rp. 3.899.397, dan atau Peraturan Gubenur Jawa Timur Nomor 75 Tahun 2018 Tentang UMSK di Jawa Timur Tahun 2018, yaitu sebesar Rp. 3.577.428.
"Selain itu, belum adanya pembuatan SK karyawan tetap maupun kontrak itu tidak ada," jelasnya.
Sementara nomor telepon HRD PT Sinar Djaja Can yang didapat jatimnow.com dari salah satu buruh, hingga Rabu (1/5/2019) pukul 12.41, tidak bisa dihubungi.