jatimnow.com - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Warga Kota Surabaya, hingga relawan datang bersamaan untuk melaporkan Wali Kota Tri Rismaharini ke Bawaslu Surabaya di Jalan Tenggilis Mejoyo, Rabu (21/10/2020).
Ketiga elemen itu terdiri dari LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat), perorangan yang diwakili pengacara M Sholeh dan relawan KIP Progo 5. Mereka saling bergantian melaporkan dugaan ketidaknetralan Risma sebagai pejabat negara terhadap Pilwali 2020.
Dari pengamatan jatimnow.com, mereka bergantian menyerahkan surat laporan dan menyertakan satu bendel yang berisikan bukti atau temuan dilapangan atas dugaan ketidaknetralan kepada petugas Bawaslu.
Baca juga: Machfud Arifin Ikhlas dan Doakan Eri Cahyadi-Armudji
Contohnya, foto-foto kegiatan dan video kegiatan 'Roadshow Online, SURABAYA BERENERJI' serta foto pengiriman tandon air menggunakan truk berplat merah yang diduga dikirimkan sehari setelah dilaksanakan video converence tersebut.
"Laporan saya masukkan hari ini kepada Bawaslu, Gakkumdu dan juga ada tembusan kepada Gubernur Jawa Timurserta Mendagri sebagai pejabat yang ada di dalam pemerintahan yang memberikan SK kepada Risma," kata Ketua Relawan KIP Progo 5, Rahman.
Menurutnya, bukti-bukti yang diserahkan itu merupakan fakta dugaan pelanggaran yang diduga dilakukan Wali Kota Risma.
"Bukti yang saya lampirkan, merupakan fakta dugaan pelanggaran yang dilakukan Risma, wali kota aktif Surabaya yang seharusnya memegang teguh netralitasnya sebagai pimpinan di jajaran Pemkot," tegasnya.
Diceritakannya, peristiwa itu terjadi pada Minggu (18/10) sekitar pukul 16.15 Wib hingga pukul 16.49 Wib. Wali Kota Risma muncul dalam kegiatan yang bertajuk 'Roadshow Online, SURABAYA BERENERJI' menggunakan aplikasi zoom.
Risma menggiring opini bahkan menyebut paslon Eri-Armudji agar dipilih menjadi wali kota Surabaya pada Pilwali 9 Desember mendatang. Bahkan Risma dengan tegas melontarkan kalimat yang menegaskan Eri adalah orang pilihannya.
"Saya tidak ingin yang saya bangun hancur, Eri orang pilihan yang tepat dan terbaik," kata Rahman saat menirukan percakapan Wali Kota Risma dalam video zoom itu.
"Peristiwa ini tentu menciderai demokrasi dan pemilu yang jujur dan adil atau jurdil, karena Risma sebagai wali kota aktif keberadaannya terkait dengan perundang-undangan yang berlaku," imbuhnya.
Menurutnya, sebagai wali kota seharusnya Risma menciptakan demokrasi yang bersih dan mengedepankan netralitas agar jajaran ASN di bawahnya pun memegang teguh netralitas.
Bukan malah memanfaatkan posisinya sebagai wali kota untuk kepentingan Paslon tertentu, apalagi sampai memanfaatkan infrastruktur dibawahnya seperti UMKM binaan pemkot dan banyak lagi.
"Risma pada perjumpaan virtual itu diduga kampanye karena melakukan penggiringan opini dan mengajak bahkan menyebut nama Eri-Armudji agar dipilih," tegasnya.
Rahman mengatakan, Risma sebagai kepala daerah terikat dengan undang-undang Pilkada nomor 71 ayat 1, 2, dan 3. Dimana dijelaskan bahwa kepala daerah dilarang melakukan atau membuat kebijakan yang dianggap menguntungkan atau merugikan salah satu paslon.
Baca juga: Kuasa Hukum MAJU Sayangkan Dana Kampanye Erji Nol Rupiah Tak Ditindak
"Maka kejadian kemarin hari Minggu, ada paslon yang diuntungkan yaitu paslon nomor 1, dan yang dirugikan paslon nomor 2. Karena di situ Risma dengan jelas mengajak kepada audiens untuk memilih paslon nomor 1," terangnya.
Sementara itu, M Sholeh mendorong Komisioner Bawaslu Surabaya berlaku adil dan profesional dalam menindaklanjuti temuan atau laporan masyarakat. Sehingga, laporan dugaan pelanggaran Risma segera dilakukan investigasi dan penyidikan sesuai mekanisme dan tahapan pelanggaran.
"Gakkumdu kami berharap bisa melakukan penyidikan, kami menduga ada tindak pidana yang dilakukan Risma. Sebagai gambaran pernah terjadi beberapa waktu lalu, kepala desa di Mojokerto mengacungkan dua jari telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman pidana, apalagi ini kepala daerah yang memiliki dampak besar, baik untuk internal ASN dan masyarakat luas," ucapnya.
Ia juga berharap Gubernur Khofifah dan Mendagri Tito bisa memberi teguran, peringatan, atau tindakan tegas sesuai mekanisme yang berlaku jika tindakan Risma tidak memenuhi prosedur.
"Kami sebagai masyarakat ingin Pilwali berlangsung jurdil, semua mematuhi aturan yang berlaku, menjaga demokrasi sehingga menghasilkan yang terbaik dan memberi pendidikan politik yang baik, bukan malah menciderai demokrasi, dan tidak memegang teguh aturan,” tandasnya.
Ia berharap Bawaslu menjadi suatu lembaga yang saat ini (pemilu) tugasnya sama dengan jaksa dan polisi sebagai penegakan hukum yang tegas.
Jika terhadap pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh pejabat publik maka segera diputuskan. Jangan dibiarkan tanpa adanya penindakan hukum yang tegas. Sangat dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk kedepannya dalam pelaksanaan dan kelangsungan berdemokrasi .
Baca juga: Kuasa Hukum MAJU Sebut Keterlibatan Risma Telah Terungkap dalam Sidang
"Karena pejabat publik seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang seharusnya memberikan contoh bagaimana menaati dan menjunjung tinggi hukum dalam berdemokrasi bukan sebaliknya," ujarnya.
"Jika dianggap melanggar ya sejatinya dikatakan begitu supaya tidak kemarin saat di panggil oleh Bawaslu tapi dia malah mengasihkan kuasa pada bagian hukum itu tidak boleh karena ini bukan hukum perdata. Jika dia dipanggil tidak mau hadir berarti dia melecehkan lembaga penegak hukum, mestinya Bawaslu tersinggung," imbuhnya.
Sementara itu, Wali Kota DPD LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) Surabaya, Bambang Assraf HS mencontohkan seperti yang dilakukan oleh salah satu wali kota di Riau yang sekarang berstatus tersangka karena melakukan tindakan yang dapat merugikan salah satu paslon.
Assraf juga memaparkan hal ini akan berimplikasi pada pemberian ruang dan potensi terjadinya pelanggaran-pelanggaran pemilihan selanjutnya.
Yang pertama, berpotensi mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan calon tertentu atau merugikan bagi calon tertentu. Kedua, penggunaan fasilitas pemerintah publik/pemerintah untuk calon tertentu, dan menggiring atau mempengaruhi ASN untuk memilih calon yang didukungnya dan lain-lain.
"Hal tersebut tentunya sangat mengancam dan mereduksi pelaksanaan pemilihan yang demokratis sebagaimana diamanahkan dalam pasal 2 UU No. 1 Tahun 2015," tandasnya.