jatimnow.com - Masyarakat Surabaya tentunya tidak asing dengan patung Joko Dolog. Ini merupakan patung bersejarah yang berlokasi di Jalan Taman Apsari, dan menjadi peninggalan Kerajaan Singhasari.
Patung ini sudah bersemayam di kompleks taman Apsari sejak tahun 1817. Tapi, tidak banyak yang mengetahui, bahwa sebutan Joko Dolog sebenarnya bukan nama asli dari patung tersebut.
Sebutan Joko Dolog adalah sebatas nama kultural, yang dibahasakan masyarakat setempat tempo dulu.
Baca juga: Menteri ATR/BPN - PWNU Jatim Teken Kerja Sama Sertifikat Tanah Wakaf
Nama asli patung Joko Dolog adalah Godoldock, dan jika ditilik dari sejarahnya. Jogo Dolog atau Godoldock ini memiliki pertalian sejarah panjang, dihitung sejak pertama kali patung ini ditemukan.
Dalam buku 'Tafsir Sejarah Negara Krtagama', patung yang menyerupai Buddha duduk bersila di Taman Apsari ini merupakan prasasti Wurare.
Di mana prasasti Wurare ini dibuat pada tahun 1289 dan dijadikan pendarmaan kepada Raja Kertanegara (raja keempat Singhasari) sebagai bentuk perwujudan Buddha dengan tingkatan tertinggi (Maha Aksobhya Jinaraya).
Juru kunci area patung Joko Dolok Sugianto (67) mengatakan bahwa Raja Kartanegara merupakan raja terakhir dari Kerajaan Singhasari dan sekaligus mertua Raden Wijaya, pendiri di kerajaan Majapahit.
"Pada sekitar tahun 1812 awal mulanya patung ditemukan di daerah Kandang Gajak, di wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Kemudian tahun 1817 dipindahkan ke Surabaya, seperti saat ini di Taman Apsari," kata Sugianto kepada jatimnow.com, Senin (30/1/23).
Sedangkan, keberadaan patung hingga berada di Surabaya itu dikarenakan ulah tentara Belanda, yang ingin memboyong pulang patung Buddha ke negaranya. Sayang itu gagal di tengah perjalanan, tepatnya di kota Surabaya.
Baca juga: Arus Peti Kemas TPS Naik 9,77 Persen Hingga Oktober 2024, Ekspor-Impor Tetap Stabil
Dikutip dari buku 'Live in Java with Sketches of the Javanese karya William Barringto d'Almeida menyebut, prasasti buddha bernama Godoldock direncanakan Belanda dibawa pergi dan akhirnya gagal karena peristiwa janggal terjadi.
"Ketika akan dibawa ke belanda gagal, dan akhirnya tetap berada di Surabaya. Gagalnya ada cerita mistis, bahwa team pengangkut Joko Dolog menderita diare (mencret) semuanya termasuk awak kapalnya," dikutip dari Live in Java with Sketches of the Javanese karya William Barringto d'Almeida, dan diterjemahkan Begandring
Pegiat sejarah Surabaya, Yatim Subhakti mengungkapkan bahwa Belanda mengangkut patung ukuran besar dengan jalur darat menggunakan kereta sapi (cikar). Selanjutnya menempuh jalur laut untuk membawa patung tersebut ke Belanda. Celakanya penumpang di kapal dan serdadu Belanda dilanda diare.
"Penunggang cikar, penumpang di kapal, hingga awak kapal semua sakit diare dalam satu kali waktu bersamaan. Sampai muncul perasaan tidak enak dan lalu bingung muncul menyelimuti Belanda," ungkap Yatim saat ditemui jatimnow.com.
Baca juga: BBJT Gelar Festival Teater Berbahasa Daerah, 20 SMA/SMA dan Sanggar Adu Akting
Dari situ, semua kawanan belanda ketakutan dan memutuskan untuk mengaggalkan rencana. Hingga akhirnya patung digeletakkan di tengah lahan Taman Apsari.
Sampai sekarang, lanjut Yatim, keberadaannya (patung) tidak berpindah tempat di Taman Apsari. Patung yang dulunya dikenal Godoldock itu melewati bahasa tutur masyarakat Surabaya terkenal disebut Joko Dolog.
"Lewat tutur tinular, masyarakat menyebutnya Jogo Dolog karena bentuknya laki-laki berpawakan glewok-glewok (sintel). Sampai saat ini terkenalnya begitu, walapun dulunya (versi Belanda) bernama Godoldock," pungkasnya.
Saat ini, patung Joko Dolog dijadikan sebagai tempat ibadah bagi umat Buddha di Surabaya. Adapun Pemerintah Kota Surabaya telah menetapkan patung Joko Dolog sebagai cagar budaya, selain dijadikan spot wisata atau city tour.