jatimnow.com - Program Kota Layak Anak (KLA) di Surabaya menjadi salah satu fokus utama Pemerintah Kota (Pemkot). Salah satu indikator pendorongnya adalah program imunisasi rutin untuk mendukung anak tumbuh dengan sehat.
Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki pencapaian imunisasi rutin yang cukup tinggi. Cakupan layanan imunisasi rutin mencapai 93 persen pada September 2022.
Kepala Koordinator Wilayah Surabaya UNICEF Indonesia, Tubagus Ari Rukmanatara menyebutkan faktor terpenting untuk mendukung kegiatan pelayanan imunisasi rutin berjalan dengan baik adalah persoalan anggaran.
Baca juga: Imigrasi Malang Komitmen Berperan Aktif dalam Evaluasi Kota Layak Anak
"Salah satu indikator atau partikel bagiannya adalah memastikan bahwa penggunaan anggaran untuk kegiatan imunisasi rutin itu harus kredibel. Kredibel itu artinya tidak lebih tidak kurang. Jadi kalau dikasih seratus harus dipakai seratus," jelas Ari usai acara diseminasi penilaian kredibilitas anggaran imunisasi rutin di Jatim, Selasa (19/09/2023).
Untuk memastikan keuangan publik menjadi faktor keberhasilan program imunisasi rutin, UNICEF bekerja sama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan melakukan serangkaian kegiatan penilaian kredibilitas anggaran untuk imunisasi rutin.
Country Manajer Internasional Budget Partnership (IBP) Indonesia, Yuna Farhan menjelaskan bahwa dari hasil kajian yang dilakukan IBP menemukan adanya korelasi antara penggunaan anggaran dengan cakupan imunisasi rutin.
"Kami menemukan adanya korelasi dimana daerah-daerah yang memang memiliki kredibilitas anggaran baik atau serapan anggaran baik itu layanan imunisasinya yang terbaik. Begitu juga sebaliknya," ucap Yuna Farhan.
Baca juga: 3 Kasus Kekerasan Anak Terjadi di Surabaya dalam Sebulan, Layak Predikat KLA?
Serapan anggaran yang baik menjadi faktor layanan imunisasi itu menjadi baik. Sebab, lanjut Farhan, dari kajian yang dilakukan IBP secara global di 22 negara, mengungkapkan bahwa anggaran yang dialokasikan itu hanya 80% terealisasi.
"Kita menemukan bahwa anggaran yang dialokasikan itu tidak secara otomatis bisa direalisasikan. Kami menemukan misalnya anggaran infrastruktur atau belanja modal itu biasanya hanya direalisasikan hanya 80%," jelasnya.
Farhan menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi rendahnya realisasi anggaran. Yang pertama, faktor menetapkan target pendapatan yang melebihi batas realistis, yang pada akhirnya itu berdampak pada realisasi serapan anggaran.
Baca juga: Hari Anak Sedunia, Gubernur Khofifah Pertanyakan Hak Perlindungan Anak-anak Palestina
Kedua, faktor tata kelola atau manajemen pelayanan publik itu sendiri, baik dari sistim dan manajemen.
"Saya kira ini banyak kasus di pemerintah daerah kita, realisasi anggaran itu sering terjadi pada akhir semester kedua APBD. Karena sistim manajemennya mereka harus menunggu pendapatan terkumpul terlebih dahulu," ujarnya.
Ketiga adalah mekanisme pengadaan atau tender yang tidak fleksibel, sehingga menyebabkan rendahnya eksekusi anggaran. Dan keempat terkait dengan politik, dimana ada dewan atau legislator yang biasanya mengusulkan anggaran itu tidak realistis dan pada akhirnya itu tidak bisa direalisasikan.