Pixel Codejatimnow.com

3 Kasus Kekerasan Anak Terjadi di Surabaya dalam Sebulan, Layak Predikat KLA?

Editor : Endang Pergiwati  Reporter : Haryo Agus
Ilustrasi. (dok jatimnow.com)
Ilustrasi. (dok jatimnow.com)

jatimnow.com - Surabaya telah menerima predikat Kota Layak Anak (KLA) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) 6 kali berturut-turut dengan nilai tertinggi.

Namun, predikat KLA yang diperoleh Surabaya seakan tercoreng, setelah terungkapnya 3 kasus pencabulan dan kekerasan pada anak dalam kurun waktu 1 bulan terakhir.

Pada tanggal 22 Januari 2024 lalu, Satreskrim Polrestabes Surabaya berhasil mengungkap 3 kasus pencabulan dan kekerasan pada anak.

Kasus yang pertama adalah aksi bejat kakak kandung, ayah kandung, dan 2 paman yang tega mencabuli siswi SMP sejak korban masih duduk di bangku sekolah dasar.

Aksi bejat 1 keluarga itu dilakukan saat tinggal serumah bersama korban. Selama 4 tahun korban disetubuhi dengan kakak kandungnya. Sedangkan ayah kandung dan kedua pamannya melakukan pelecehan seksual.

Kejadian yang terakhir pada awal Januari, kakak korban yang sedang mabuk ingin menyetubuhi korban, namun saat itu korban sedang menstruasi.

"Yang menyetubuhi ini hanya kakak kandung korban. Sedangkan ayah dan kedua paman hanya melakukan tindak pelecehan. Jadi beda ya, menyetubuhi dan melakukan pelecehan," kata Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Hendro Sukmono saat memberikan keterangan resmi di Polrestabes Surabaya, Senin (22/1/2023).

Kasus yang kedua adalah seorang tukang bangunan yang tega mencabuli balita tetangga kosnya. Pelaku, yakni RM (21) melancarkan aksi kejinya itu saat orang tua korban sedang tidak ada di rumah. Pelaku memanggil korban dan masuk ke dalam rumahnya. Saat itulah, aksi keji itu dilakukan.

Kasus yang ketiga adalah seorang ibu berinisial ACA yang tega menganiaya anak kandungnya dengan menyuruhnya untuk meminum air mendidih, mengikatnya, menyiramnya dengan air mendidih, hingga mencabut giginya dengan tang.

Segala upaya dilakukan pemerintah kota (Pemkot) Surabaya untuk menjadikan Surabaya menjadi kota layak anak. Namun kekerasan dan pencabulan masih marak terjadi.

Baca juga:
Kuasa Hukum Anak DPRD Surabaya Bantah Ada Penganiayaan di Rumah Aspirasi

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), DP3A-PPKB Kota Surabaya, Thussy Apriliyandari mengatakan, ada beberapa faktor yang bisa memicu terjadinya kasus kekerasan dan pencabulan terhadap perempuan dan anak. Faktor pemicu tindakan tersebut adalah masalah individual, sosial, dan hukum.

"Jadi memang kekerasan terhadap perempuan dan anak ini masalah sosial yang kompleks dan multifaktor. Ada beberapa faktor, di antaranya individual, sosial dan hukum," kata Thussy Apriliyandari, Kamis (25/1/2024).

Thussy menjelaskan, pada faktor individual, kekerasan dan pencabulan itu terjadi karena pelaku maupun korban tinggal di keluarga atau lingkungan yang tidak sehat atau tidak harmonis. Termasuk juga permasalah ekonomi.

"Ketidaksadaran pelaku dengan apa yang dilakukan itu melanggar HAM. Meskipun, dia (korban) anak kandung sendiri, atau siapapun itu dalam lingkungan keluarga. Mereka itu merasa berhak melakukan kekerasan, karena misalnya (pelaku) orang yang memberi uang untuk korban," jelasnya.

Faktor yang kedua adalah berkaitan masalah sosial budaya patriarki. Thussy menjelaskan, bahwa dalam beberapa kasus, menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan inferior. Termasuk juga, budaya yang melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah hal yang wajar.

Baca juga:
Jadwal dan Lokasi SIM Keliling di Surabaya Tanggal 23-24 April

"Selain itu, pengaruh media massa, media sosial dan sebagainya. Gadget itu luar biasa pengaruhnya. Ini dapat berperan dalam memicu terjadinya kekerasan," jelasnya.

Faktor yang selanjutnya adalah kurangnya kesadaran terhadap hukum, yang memicu terjadinya kasus kekerasan. Padahal, kata Thussy, kekerasan terhadap perempuan dan anak telah diatur dalam Undang-undang (UU) di Indonesia.

"Hukum kita di Indonesia sudah ada undang-undang perlindungan dan sebagainya. Tapi yang tidak paham itu masyarakatnya atau pelaku. Jadi mereka tidak paham apa yang dilakukan itu ada konsekuensi hukum," tandasnya.