jatimnow.com - Kekerasan di kalangan pelajar merupakan isu serius yang memerlukan perhatian mendesak. Sepanjang 2023 dilaporkan kasus kekerasan terhadap anak meningkat hingga 30% dibandingkan 2022. Menurut laporan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), terdapat 958 insiden kekerasan fisik pada anak (sekitar 27% dari total kasus), 674 kasus kekerasan psikis (sekitar 19%), dan 1.915 insiden kekerasan seksual (sekitar 54%).
Sementara itu, data juga menunjukkan bahwa sejak 5 bulan di tahun 2023 sudah terjadi 22 kasus Kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 anak atau peserta didik. Masalah ini tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental dan kesejahteraan sosial anak-anak pelajar.
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 16, yang berfokus pada perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat, merupakan elemen krusial dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan aman. Salah satu aspek penting dari tujuan ini adalah memastikan bahwa anak-anak dapat belajar di lingkungan yang bebas dari kekerasan dan perundungan.
Baca juga: Angka Kekerasan Anak Meningkat, DPRD Bangkalan Godok Perda Khusus
Sekolah dasar, sebagai tempat pertama dimana anak-anak berinteraksi secara intensif di luar rumah, memainkan peran kunci dalam membentuk karakter dan perilaku sosial mereka. Oleh karena itu, mengimplementasikan program anti kekerasan dan perundungan di sekolah dasar adalah langkah penting dalam mendukung SDG 16.
Kekerasan dan perundungan di sekolah dasar tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar tetapi juga berdampak serius pada kesehatan mental dan emosional anak.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban kekerasan atau perundungan cenderung mengalami masalah seperti rendahnya kepercayaan diri, kecemasan, depresi, dan penurunan prestasi akademis. Mereka juga berisiko tinggi untuk mengalami masalah perilaku dan kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat di kemudian hari. Oleh karena itu, menangani isu ini sejak dini adalah investasi penting untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
SDG 16 menekankan pentingnya institusi yang kuat dan inklusif untuk mencapai perdamaian dan keadilan. Dalam konteks sekolah dasar, ini berarti menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua siswa tanpa kecuali. Sekolah harus menjadi tempat di mana setiap anak merasa aman, dihargai, dan didorong untuk berkembang. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup edukasi anti kekerasan dan kampanye sosial yang melibatkan seluruh komunitas sekolah, termasuk siswa, guru, staf, dan orang tua.
Implementasi program edukasi anti kekerasan di sekolah dasar yang dilakukan oleh mahasiswa pertukaran dari UPN Veteran Jawa Timur di SDN Medokan Ayu beberapa waktu lalu merupakan langkah strategis untuk menanamkan nilai-nilai positif sejak dini sebagai bagian dari aksi kontribusi sosial yang mereka lakukan.
Program ini melibatkan pengenalan materi tentang bentuk-bentuk kekerasan dan perundungan, dampaknya, serta cara-cara efektif untuk menghadapinya. Selain itu, pendidikan ini juga menekankan pentingnya empati, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan. Dengan memahami dan menginternalisasi nilai-nilai ini, siswa diharapkan dapat menjadi individu yang lebih peduli dan bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan sesama.
Kampanye sosial anti kekerasan di sekolah dasar juga memainkan peran penting dalam mendukung SDG 16. Kampanye yang dilakukan mahasiswa PMM 3 Inbound UPN Veteran Jawa Timur didampingi dosen Modul Nusantara, mempromosikan anti kekerasan melalui aksi pemasangan poster dan papan deklarasi yang ditandatangani oleh Kepala Sekolah, Dosen Modul Nusantara, mahasiswa, dan pelajar SDN Medokan Ayu II.
Tujuan utama dari kampanye ini adalah untuk meningkatkan kesadaran seluruh komunitas sekolah tentang bahaya kekerasan dan perundungan serta mendorong mereka untuk berperan aktif dalam mencegahnya. Dengan melibatkan siswa dan mahasiswa dalam pelaksanaan kampanye, mereka tidak hanya menjadi penerima manfaat tetapi juga agen perubahan yang aktif.
Pelatihan guru dan staf sekolah adalah komponen penting lainnya dalam upaya ini. Guru dan staf perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk mengenali tanda-tanda kekerasan dan perundungan serta menangani situasi tersebut secara efektif. Pelatihan ini juga harus mencakup strategi untuk menciptakan lingkungan kelas yang inklusif dan mendukung, di mana setiap siswa merasa aman untuk mengekspresikan diri dan belajar tanpa rasa takut.
Baca juga: Tingkatkan Nilai Persahabatan Anak, Kak Seto Beri Penghargaan Forkopimda Jember
Selain itu, kolaborasi dengan orang tua dan komunitas lokal juga sangat penting. Orang tua perlu diberdayakan dengan informasi dan sumber daya untuk membantu anak-anak mereka menghadapi kekerasan dan perundungan. Sekolah dapat mengadakan workshop dan seminar untuk orang tua, serta membangun kemitraan dengan organisasi lokal dan LSM yang memiliki kepedulian terhadap isu ini. Dengan demikian, upaya menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan damai dapat diperkuat dan diperluas jangkauannya.
Secara keseluruhan, implementasi SDG 16 di sekolah dasar melalui edukasi dan kampanye sosial anti kekerasan adalah langkah strategis untuk menciptakan institusi pendidikan yang kuat dan inklusif. Dengan mengadopsi pendekatan holistik yang melibatkan seluruh komunitas sekolah, kita dapat membangun lingkungan belajar yang mendukung perkembangan anak secara optimal. Melalui upaya bersama ini, kita tidak hanya melindungi anak-anak dari kekerasan dan perundungan, tetapi juga membekali mereka dengan nilai-nilai positif yang akan membentuk mereka menjadi warga masyarakat yang lebih baik di masa depan.
Salah satu metode yang efektif dalam mengajarkan nilai-nilai anti kekerasan adalah melalui role play atau permainan peran. Dalam kegiatan role play, mahasiswa PMM 3 Inbound UPN Veteran Jawa Timur memainkan skenario yang melibatkan situasi kekerasan atau perundungan.
Melalui kegiatan ini, siswa sekolah dasar tidak hanya belajar mengenali bentuk-bentuk kekerasan tetapi juga mengembangkan empati dengan melihat situasi dari perspektif korban. Pengalaman langsung ini membantu siswa memahami dampak negatif dari kekerasan dan pentingnya bertindak secara bijaksana dan penuh empati.
Selain role play, diskusi kelompok juga merupakan alat yang efektif dalam mengajarkan nilai-nilai anti kekerasan. Dalam diskusi kelompok, siswa diajak untuk berbagi pengalaman pribadi dan pandangan mereka tentang kekerasan dan perundungan. Melalui diskusi ini, siswa dapat belajar dari pengalaman satu sama lain, meningkatkan keterampilan komunikasi, dan membangun rasa solidaritas.
Diskusi kelompok juga memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan solusi bersama dalam menghadapi kekerasan, sehingga mereka merasa lebih siap dan percaya diri untuk menangani situasi yang serupa di masa depan.
Baca juga: Pemuda Sidoarjo Gelar Dongeng Boneka Anak di Alun-Alun, Ini Tujuannya
Pelajaran tentang empati merupakan elemen penting dalam edukasi anti kekerasan. Siswa diajarkan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, terutama mereka yang menjadi korban kekerasan atau perundungan. Pembelajaran ini dilakukan oleh mahasiswa PMM 3 Inbound UPN Veteran Jawa Timur melalui cerita, video, atau kegiatan interaktif lainnya yang menekankan pentingnya empati dalam hubungan sosial. Dengan menginternalisasi nilai-nilai empati, siswa diharapkan dapat mengembangkan sikap saling menghargai dan membantu, yang merupakan dasar dari lingkungan yang aman dan inklusif.
Untuk memperkuat edukasi di dalam kelas, Dosen Modul Nusantara dan Mahasiswa PMM 3 Inbound UPN Veteran Jawa Timur aktif dalam menjalankan kampanye sosial. Salah satu bentuk kampanye yang efektif yang dilakukan adalah pembuatan poster yang ditempatkan di berbagai sudut sekolah. Poster-poster ini berisi pesan-pesan positif yang menentang kekerasan dan perundungan, serta mengajak siswa untuk bertindak sebagai teman yang baik dan peduli. Visual yang menarik dan pesan yang kuat pada poster dapat membantu menanamkan nilai-nilai anti kekerasan secara lebih mendalam di benak siswa.
Selain poster, mahasiswa PMM 3 Inbound UPN Veteran Jawa Timur mengajak pihak sekolah dasar menggunakan papan deklarasi anti perundungan sebagai komitmen menolak setiap tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah.
Komitmen ini dilakukan oleh mahasiswa PMM 3, dan seluruh elemen SDN Medokan Ayu II yang selanjutnya ditandatangani oleh mereka sendiri. Tindakan ini tidak hanya simbolis tetapi juga memberikan rasa tanggung jawab dan keterlibatan langsung siswa dalam menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman. Dengan menggabungkan metode edukasi dalam kelas dan kampanye sosial, SDN Medokan Ayu II dapat mengambil langkah signifikan dalam mengurangi kekerasan dan perundungan, serta menciptakan komunitas belajar yang lebih harmonis dan mendukung.
Secara keseluruhan, upaya kolaboratif ini mendukung pencapaian SDG 16 dengan memastikan bahwa sekolah dasar menjadi tempat yang aman, damai, dan mendukung bagi semua siswa. Dengan mengintegrasikan edukasi anti kekerasan dan kampanye sosial, kita tidak hanya melindungi anak-anak dari dampak buruk kekerasan dan perundungan, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan dan nilai-nilai positif yang akan bermanfaat sepanjang hidup mereka. Melalui langkah-langkah ini, kita berkontribusi pada pembentukan generasi yang lebih empatik, toleran, dan berkomitmen terhadap perdamaian dan keadilan yang lebih berkelanjutan.
Penulis : Dewi Deniaty Sholihah, SE, MM Dosen Prodi Manajemen UPN Veteran Jawa Timur