jatimnow.com - Banyuwangi ternyata juga memiliki warisan budaya tenun tradisional. Salah satu perajin yang setia menjaga kelestarian tenun Banyuwangi adalah Siami (74), warga Desa Jambesari, Kecamatan Giri.
Siami membuat kain tenun secara turun temurun. Ia belajar dari ibunya yang juga seorang penenun tradisionl. Desa Jambesari merupakan sentra penenun sejak puluhan dekade silam.
"Namun yang melanjutkan hingga saat ini tinggal saya. Saya mulai menenun sejak sekitar tahun 1960-an," kata Mbah Siami saat dijumpai Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani di sela Bupati Ngantor di Desa (Bunga Desa) di Jambesari, Senin (9/9/2024).
Baca juga: Bupati Ipuk Tinjau Persiapan Destinasi Wisata Banyuwangi Jelang Nataru
Saat dikunjungi Ipuk, Siami tengah menenun kain pesanan dari seorang warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah. Desa Kemiren merupakan salah satu tempat tinggal warga Using, suku asli Banyuwangi.
Kebanyakan kain tenun tua yang dimiliki warga Desa Kemiren adalah buatan warga Desa Jambewangi.
Tradisi menyediakan kain tenun berkualitas itu tetap dilestarikan oleh Siami hingga saat ini. Kain tenun buatan Siami ukurannya tak terlalu besar.
"Ini untuk gendongan. Atau biasa juga dipakai seserahan di acara pernikahan," tambah dia.
Kain gendongan yang dibuat Siami terdiri dari lima motif, yakni Keluwung, Solok, Boto, Lumut, dan Gedokan. Harga tiap lembar kain tenun buatan Siami dibanderol Rp4 juta.
"Bisa juga kalau mau bawa benang sendiri. Kalau benangnya dari pemesan, harganya Rp2 juta. Yang lama dari memuat kain tenun itu menata tiap benang di alat tenun ini. Butuh beberapa hari. Memang harus telaten," ucapnya.
Siami menenun dengan alat serta cara tradisional dan sederhana. Ia memakai alat penenun pangku yang terbuat dari kayu.
Baca juga: Peluang Banyuwangi Tarik Wisatawan saat Libur Nataru, Ini Kata Wamen Pariwisata
"Semua alat yang saya pakai adalah peninggalan ibu saya dulu. Masih saya rawat sampai saat ini," lanjutnya.
Kain tenun yang dibuatnya berukuran 300 cm x 60 cm. Kain tersebut terbuat sepenuhnya dari benang sutera. Karena proses pengerjaannya sepenuhnya manual, butuh waktu sekitar sebulan untuk membuat satu lembar kain tenun.
Setiap pagi, Siami mulai menenun sekitar pukul 08.00 WIB. Ia ulet memainkan tangan dengan alat tenun dan benang-benang sutera hingga sore hari.
"Biasanya istirahat saat dhuhur. Lalu lanjut lagi sampai sore. Malamnya memintal benang sampai larut," kata Siami menjelaskan kesehariannya.
Bupati Ipuk mengapresiasi upaya Siami dalam melestarikan kain tenun buatan Banyuwangi.
Baca juga: Peserta Seleksi PPPK Banyuwangi Jalani Ujian dalam Ambulans, Ini Penyebabnya
"Beliau ini luar biasa. Seorang pelestari tenun yang tetap konsisten hingga saat ini," kata Ipuk.
Agar kerajinan tenun tak hilang, Ipuk berencana untuk memunculkan penenun-penenun baru yang bisa belajar pada Siami, agar ada regenerasi penenun di Banyuwangi.
"Alhamdulillah, putri Mbah Siami juga mulai rajin menekuni menenun. Ini memggembirakan, semoga ada kerabat lain mengikuti," kata Ipuk.
Sejumlah desainer Banyuwangi juga banyak menggunakan kain tenun buatan Mbah Siami. "Kami minta ada kolaborasi antara dinas dengan para desainer ke depannya untuk memanfaatkan produk ini, sebagai bagian dari warisan wastra di Banyuwangi," tuturnya.