jatimnow.com - Langka. Jarang terjadi seorang wali kota diberi "panggung" bicara di salah satu forum PBB di New York. Kecuali Wali Kota Surabaya Bu Risma.
Ya, Wali Kota perempuan pertama di Surabaya itu pada Senin (24/9/2018) menjadi salah satu pembicara utama di Global Counter Terrorism Forum (GCTF).
Acara GCTF itu digelar masih rangkaian kegiatan HUT PBB ke-73. GCTF diikuti 29 negara dan Uni Eropa. Acara diadakan di Roosevelt Hotel, New York.
Baca juga: Intip Pertemuan Surabaya dengan Inggris: Ada Program Pelatihan ke Liverpoll Rek
Dalam forum itu Bu Risma didapuk menjadi pembicara pertama. Tentu Bu Risma berbicara setelah acara dibuka Mr. Ismail Chekkori, Direktur of Global Issues, Ministry of Foreign and International Cooperation, GCTF.
Setelah Bu Risma, berturut-turut tampil narasumber dari beberapa tokoh organisasi beberapa negara. Mulai Ms. Gulmina Bilal Ahmad, Pakistan, lalu Mr. Mohammad Al Zawahreh, Jordan, Mr. Malcolm Haddon, Australia, Mr. Dilwar Hussain, Inggris dan Jaksa Distrik New York, USA Mr. Richard M Tucker.
Penampilan Bu Risma di forum itu menarik perhatian peserta. Karena Bu Risma menceritakan pengalaman nyata kejadian teror di Surabaya. Bagaimana semua pihak di Surabaya bahu membahu menangani pasca serangan teror itu. Counter terrorism nyata.
Penanganan di Surabaya diakui dunia sangat cepat. Termasuk cara memulihkan rasa trauma dan penanganan terhadap korban. Disampaikan juga oleh Bu Risma tentang upaya deradikalisasi terhadap anak pelaku yang selamat.
Saya turut menyaksikan langsung peristiwa langka itu. Kebetulan saya ikut serta menjadi salah satu delegasi Pemerintah Kota Surabaya ke New York.
Saya sendiri kaget diundang menemani Bu Risma. Memang saat saya masih menjabat Kajari Surabaya, 2015-2017, dalam beberapa kegiatan Forpimda pernah bercerita kepada Bu Risma bila saya pernah menyidangkan perkara terorisme.
Saya mengatakan kepada Bu Risma menangani kasus terorisme itu bagi Jaksa merupakan tugas khusus. "Butuh tenaga dan pikiran serta perhatian khusus," kata saya bercerita pengalaman saya saat menangani kasus kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah 2005.
Saya masih ingat betul saat itu menjabat Kasi Pra Penuntutan Pidana Umum Kejati DKI Jakarta. Karena alasan keamanan semua kasus pidana yang berbau SARA dan teroris di Poso sidangnya dipindah ke Jakarta.
Salah satu perkara yang saya tangani adalah perkara atas nama terdakwa Basri dkk. Saat itu terdakwa dijerat UU teroris dan pasal pembunuhan berencana (KUHP).
Saat itu penyidik yang menangani langsung dibawah komando Pak Tito Karnavian dan Pak Idham Aziz (sekarang Kapolda Metro Jaya Jakarta). Saat itu sama-sama masih pangkat Kombes.
Pak Tito dan Pak Idham Aziz sejak dulu intens dan kompak turun langsung. Selalu berkoordinasi dengan Jaksa. Rancak datang ke Kejati DKI. Ke ruangan saya. Tentu untuk kelengkapan berkas perkara.
Baca juga: Pembangunan RS Surabaya Timur Capai 98 Persen
Koordinasi dengan penyidik itu tentu sangat membantu Jaksa "bertempur" di persidangan. Apalagi memang selama sidang perkara ini banyak kendala. Terutama sikap terdakwa yang terus berontak. Tidak mau tempat sidangnya dipindah.
Kendala lain susahnya mendatangkan para saksi dan barang bukti dari Poso. Sampai jaksa minta tolong penyidik mendatangkan angkot tua, tempat korban dieksekusi para terdakwa.
Setiap sidang, setelah ketua Majelis Hakim membuka persidangan semua terdakwa teriak-teriak tidak mau disidangkan. Bahkan beberapa kali berdiri naik kursi terdakwa. "Saya hanya mau disidang di Poso. Sidang di Jakarta ini tidak sah," teriak mereka.
Agar sidang tetap berjalan, Majelis Hakim karena tidak mampu menenangkan terdakwa, akhirnya membuat keputusan "mengusir" semua terdakwa dari ruang sidang. Praktis akhirnya sidang sering tanpa terdakwa.
Jadi setiap sidang terdakwa selalu dibawa ke ruang sidang. Bila berontak, lalu dibawa ke ruang tahanan di Pengadilan. Begitu terus berulang-ulang dihampir tahapan sidang.
Bahkan saat sesi pemeriksaan terdakwa pun tetap terdakwa berontak tidak mau di sidangkan di Jakarta. Meski berjalan alot, semua terdakwa terbukti melakukan pidana dan dihukum oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat.
Eh, kok saya terlalu panjang cerita pengalaman menangani kasus Poso tahun 2005. Ok deh, kita kembali cerita ke acara Bu Risma bicara di forum GCTF itu. Saat tampil sebagai narasumber itu Bu Risma pakai Batik. Sementara narasumber lainnya pakai jas resmi.
Baca juga: Pembangunan Surabaya Waterfront Land, Eri Cahyadi Janji Pertahankan Lingkungan
Saya tahu Bu Risma selalu konsisten pakai Batik. Terutama saat tampil di panggung dunia internasional. Saya pun menyesuaikan. Pakai Batik.
Tak lupa Bu Risma juga mengenalkan Batik kepada dunia. Dengan membawa souvenir batik, Bu Risma memberikan kepada para narasumber dan dua panitia setelah acara sesion 1 selesai.
Saya lihat setelah menerima batik mereka girang. Kelihatan dari ekspresi wajahnya. Bahkan Mr. Mohammad al Zawahreh dari Jordan minta yang warna kuning. "Yellow..Yellow,"katanya minta tukar sambil milih-milih sendiri ditas.
Tidak ada rasa sungkan memang Mr Zawahreh. Dia langsung milih-milih sendiri. Mencari yang warna kuning. Rewel juga ini orang, pikir saya.
Namun setelah lihat warna yang dia terima saya baru menyadari. Karena yang diterima warnanya ungu. Mungkin dia tidak sreg warna ungu. Mungkin dia percaya warna ungu warna janda he he he.
Penulis: Didik Farkhan, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim.