jatimnow.com – Perdagangan karbon telah menjadi sorotan utama, bahkan di panggung global seperti Konferensi Perubahan Iklim (COP30) di Belem, Brazil. Mekanisme ini digadang sebagai salah satu instrumen utama di bawah Paris Agreement untuk mitigasi iklim.
Namun, di balik narasi optimisnya, pertanyaan krusial terus mengemuka: seberapa efektif sistem jual-beli emisi ini menekan emisi global secara riil?
Di Indonesia, Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), Torry Kuswardono, menyoroti adanya ketidakseimbangan fundamental dalam fokus kebijakan iklim saat ini.
Baca juga: HUT Apkasi ke-24 di Trenggalek, Sepakati Pembangunan Ekonomi Hijau
Menurut Torry, narasi yang paling gencar saat ini adalah: "Jual karbon, selamatkan hutan, dan dapat duit." Padahal, ia mengingatkan, sektor energi, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, masih menjadi kontributor emisi terbesar di tanah air.
"Narasi yang paling terang-benderang hari ini adalah: jual karbon, selamatkan hutan, dan dapat duit. Padahal sektor energi, terutama PLTU batubara masih menjadi penyumbang emisi terbesar," ujar Torry.
Torry menilai, sektor energi sebagai penyumbang emisi masif belum tersentuh secara serius, sementara di sisi lain, hutan justru dijadikan komoditas investasi untuk menarik modal asing.
Kontroversi perdagangan karbon tidak hanya terletak pada fokus sektor, tetapi juga pada persoalan integritas data dan potensi moral hazard.
Torry Kuswardono menyinggung bahwa klaim penurunan emisi seringkali jauh dari kenyataan. "Studi internasional menunjukkan, over crediting bisa mencapai 30 hingga 100 persen. Artinya, klaim penurunan emisi dua kali lipat dari yang sebenarnya terjadi," jelasnya, menggarisbawahi risiko inflasi kredit karbon.
Baca juga: PLN Nusantara Power Gencarkan Pengurangan Emisi Lewat Carbon Trading
Kondisi ini diperparah oleh potensi moral hazard di kalangan perusahaan. Ketika harga kredit karbon jatuh murah, perusahaan cenderung memilih membeli kompensasi (kredit) daripada melakukan investasi mahal pada teknologi bersih dan efisiensi energi.
Riko Wahyudi, Peneliti dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa pencapaian target iklim 1,5 derajat Celcius dapat diusahakan melalui mekanisme pasar dan non-pasar.
Ia mencontohkan proyek Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) di Kalimantan Timur sebagai mekanisme non-pasar yang dianggap berhasil menekan emisi.
Namun, Riko mengingatkan konsekuensi penting dalam mekanisme pasar (perdagangan karbon): emisi yang dicegah melalui skema offset tidak akan dicatat sebagai pencapaian target iklim nasional. Hal ini terjadi karena emisi tersebut telah "ditukar" dengan emisi yang dijual.
"Sistem pengukuran dan verifikasi emisi (MRV) di Indonesia belum transparan. Selain itu, proyek offset sering bersinggungan dengan masyarakat adat dan petani lokal," terang Riko, menyoroti kerentanan sistem di tingkat implementasi.
Untuk itu, Torry Kuswardono memberikan peringatan keras mengenai dampak jangka panjang pasar karbon bagi kedaulatan bangsa.
"Kalau tidak diatur dengan baik, pasar karbon bisa jadi bentuk baru kolonialisme ekologis. Hutan kita dijaga bukan untuk rakyatnya, tapi untuk kompensasi polusi negara lain," pungkasnya.
Dengan demikian, efektivitas perdagangan karbon sangat bergantung pada regulasi yang ketat, transparansi data, dan fokus kebijakan yang tidak mengorbankan mitigasi pada sektor penghasil emisi utama.