Pixel Code jatimnow.com

DPRD Jatim Sebut Banyak Pihak Terlibat HGB 656 Hektare di Sedati Sidoarjo

Peristiwa 5 jam yang lalu
Anggota Komisi A DPRD Jatim, M. Naufal Alghifary. (Foto: Dok. Humas DPRD Jatim)
Anggota Komisi A DPRD Jatim, M. Naufal Alghifary. (Foto: Dok. Humas DPRD Jatim)

jatimnow.com - Anggota Komisi A DPRD Jatim, M. Naufal Alghifary, menegaskan bahwa penerbitan surat hak guna bangunan (HGB) di kawasan pesisir Desa Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Sidoarjo melanggar regulasi.

Naufal mengatakan HGB itu bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Aturan itu secara jelas mengatur bahwa wilayah perairan Desa Segoro Tambak hanya diperuntukkan kegiatan perikanan, bukan zona komersial atau permukiman.

"Kalau benar sertifikat ini dikeluarkan, jelas melanggar aturan tata ruang dan putusan MK. Ini bukan hanya masalah administratif, tapi juga menyangkut kepentingan masyarakat," tegas Naufal, Rabu (22/1/2025).

Politisi muda Fraksi Demokrat ini juga menyoroti proses penerbitan HGB yang melibatkan banyak pihak, mulai dari penjual, pembeli, hingga kelurahan dan warga sekitar.

“Prosedur ini tidak mungkin berjalan tanpa keterlibatan banyak pihak. Mulai dari penandatanganan akta pelepasan hak, pembayaran pajak, hingga persetujuan di level kelurahan. Ini yang perlu kita telusuri,” tambahnya.

Penerbitan HGB itu berada di bawah kewenangan Kementerian ATR/BPN. Sementara itu, pemerintah provinsi hanya memiliki kewenangan atas lahan maksimal 25 hektare dan pemerintah kabupaten 5 hektare.

"Kami menunggu hasil investigasi yang masih dilakukan oleh Kementerian ATR. Kita tunggu hasilnya," jelasnya.

Sedangkan, Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Jatim, Lampri, mengungkapkan bahwa sertifikat HGB tersebut telah berlaku sejak 1996 dan akan berakhir pada 2026.

HGB tersebut terbagi menjadi tiga izin. Dua di antaranya dimiliki PT Surya Inti Permata dengan luas masing-masing 285,16 hektare dan 219,31 hektare, serta satu izin milik PT Semeru Cemerlang seluas 152,36 hektare.

“Dari sisi administrasi, HGB ini sah. Tapi kami tetap menunggu klarifikasi dari Kementerian ATR/BPN untuk memastikan tidak ada pelanggaran,” kata Lampri.