jatimnow.com - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur mengajak seluruh masyarakat khususnya warga nahdliyin untuk merajut kembali persatuan dan kesatuan setelah Pemilu 2019.
Pesan tersebut disampaikan Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Agoes Ali Masyhuri. Disampaikan, masyarakat harus ikut menciptakan suasana damai meski beda pilihan saat pilpres.
"Yang asalnya beda pilihan, mari kita merapat jadi satu lagi. InsyaAllah, Indonesia pada 2045 menjadi kiblat peradaban dunia. Syaratnya, seluruh anak bangsa tidak gampang di adu domba," kata KH Agoes Ali Masyhuri, dikantor PWNU Jatim, Kamis (18/4/2019).
Baca juga: Hari Santri Nasional di Jember, Dibarengi Pelantikan MWC dan NU Bangsalsari
Ia juga mengimbau, agar seluruh masyarakat tetap menunggu hasil hitung manual dari KPU hasil dari pemilu 2019 yang rencananya akan diumumkan pada 22 Mei mendatang.
"Kami memohon semua warga, pihak 01 maupun 02, dan partai manapun agar sabar menunggu. Kita serahkan kepada KPU. Jadi nantinya yang menang jangan sampai ngasorake (merendahkan yang lain), yang kalah jangan sampai minder," imbau Gus Ali.
Baca juga: PBNU Instruksikan Jajaran NU Cooling Down terhadap Penyerangan di Karawang
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, KH Marzuqi Mustamar mengapresiasi keikutsertaan masyarakat dalam pemilu 2019. Menurutnya partisipasi masyarakat yang memilih mencapai kisaran 80 persen.
"Ini menunjukkan, bahwa masyarakat semakin peduli dan sadar terkait pentingnya Pemilu," jelasnya.
KH Marzuqi mengajak masyarakat Jatim tetap rukun dan menghindari segala perdebatan yang memicu terjadinya konflik. Agar situasi yang memanas tidak dimanfaatkan oleh orang-orang asing yang menginginkan Indonesia menjadi terpecah belah.
Baca juga: NU - Unilever Berkolaborasi Perkuat Sinergi Kemanusiaan
"Mari tetap rukun, sama-sama bangsa Indonesia. Jangan sampai ada konflik, karena yang paling diuntungkan adalah orang-orang asing yang memang punya kepentingan untuk membidik agar Indonesia bisa pecah," jelasnya.
Ia pun mengimbau kepada seluruh komponen pemegang kuasa sosial maupun politik, melalui tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh politik untuk memperkuat edukasi kepada masyarakat untuk tidak menebar ujaran kebencian dan praktik yang berujung disharmoni bangsa.