jatimnow.com - Masyarakat diminta tidak mengendorkan kewaspadaan atas kemungkinan adanya aksi radikalisme dan terorisme di tengah wabah Virus Corona (Covid-19) di Indonesia.
Sejumlah pihak yang menyampaika hal tersebut adalah Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Timur Dr. Hesti Armiwulan, mantan narapidana teroris (napiter) dan pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan, Peneliti Senior Badan Litbang Kementerian Agama, Dr. Abdul Jamil Wahab serta Pengamat Terorisme Universitas Indonesia (UI) Aisha Kusumasomantri.
"Saat ini semua upaya mesti difokuskan untuk penanganan dan pencegahan Covid-19. Meski demikian masyarakat tidak boleh lengah dan selalu waspada terkait kemungkinan adanya aksi radikalisme dan terorisme," kata Hesti melalui rilis yang diterima jatimnow.com, Rabu (22/4/2020).
Baca juga: Muncul Lagi Subvarian Omicron Baru BA.2.75
Hesti yang juga staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) ini menambahkan, hasil pantauan Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) menyebutkan Provinsi Jatim merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerawanan potensi aksi radikalisme dan terorisme tertinggi di Indonesia.
Baca juga:
- Densus 88 Ringkus Dua Terduga Teroris di Sukodono Sidoarjo
- Rumah di Surabaya Digeledah, Terkait Dua Terduga Teroris Sidoarjo?
- Densus 88 Kembali Amankan Satu Terduga Teroris di Sukodono Sidoarjo
"Masyarakat mesti semakin bijaksana dan fokus atas penanganan Covid-19 dan jangan terjebak pada isu yang memantik sikap intoleransi. Karena sikap intoleransi ini adalah awal munculnya radikalisme. Biasanya sikap intoleransi ini akan diarahkan pada sikap anti pemerintah," ujarnya.
Sementara itu, Ken Setiawan dan Abdul Jamil Wahab serta Aisha Kusumasomantri didapuk menjadi narasumber dalam talkshow interaktif dengan tema 'Mencegah Radikalisme Berkembang di Tengah Wabah Pandemi Covid-19' yang disiarkan Stasiun Radio Pikiran Rakyat (PRFM) 107,5 FM Bandung pada pukul 12.00-13.00 Wib, Rabu (22/04/2020).
Abdul Jamil Wahab menyatakan, motif gerakan terorisme kebanyakan bermotif keagamaan dan balas dendam.
"Mereka akan terus berjuang sampai sistem khilafah islamiyah berhasil mereka berlakukan di Indonesia. Ada hal yang dilematis dalam melawan gerakan ini. Karena radikalisme dan terorisme bergerak dengan memperbanyak kelompoknya, untuk regenerasi dengan memperbanyak komunitas," ungkap Abdul Jamil dalam talkshow itu.
Abdul Jamil menambahkan, gerakan radikalisme ini juga mengikuti perkembangan zaman termasuk dalam kontek komunikasi, meski juga ada yang tetap memilih jalur komunikasi tradisional.
"Era modern jangan dikira para pelaku tidak mengikuti perkembangan zaman termasuk era medsos guna melakukan transformasi faham radikalisme. Kewaspadaan harus dilanjutkan dalam masa pandemi ini. Narasi-narasi yang sifatnya mencerahkan dan membantu masyarakat, harus terus dilakukan," tegasnya.
Di sisi lain, Ken Setiawan mengatakan keyakinannya bahwa para pelaku radikalisme tetap melakukan aksi dan aktivitasnya di tengah pandemi Covid-19.
Baca juga: Kasus Positif Covid-19 di Indonesia Naik Hingga 620 Persen
"Jangankan dengan agama lain, dengan satu agama saja mereka ada pada tahap mengkafirkan. Mereka berbanding terbalik dengan slogan Islam rahmatan lil alamin. Dalam hal pandemi ini, mereka memojokkan pemerintah bahwa pemerintah mereka sebut gagal dalam memberikan rasa aman," ungkapnya.
Langkah itu, lanjut Ken Setiawan, bertujuan agar warga tidak percaya lagi kepada pemerintah dengan dalih penanganan Covid-19 ini salah karena negara tidak menganut sistem khilafah.
"Banyak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak Islam, seperti tidak boleh jumatan dan tarawih. Padahal ini maksudnya baik. Sudah lihat beberapa saudara kita yang terkena positif Covid-19 karena Salat Jumat," sambung Ken.
Ken Setiawan mengatakan bahwa ada data yang menyebutkan saat ini hampir 80 persen kelompok radikal menguasai penggunaan media sosial (medsos).
"Sehingga sejumlah kebijakan pemerintah positif sengaja diplintir agar menimbulkan rasa ketidaknamyanan pada publik yang pada sisi akhir menurunkan kepercayaan publik pada pemerintah. Hal ini juga termasuk pada kebijakan pemerintah dalam penangananan Covid-19," ujarnya.
Sementara itu, Aisha Kusumasomantri mengatakan Pemerintah Indonesia mengalokasikan segala sumber daya untuk menangani Covid-19. Namun kelompok radikal terus memantau untuk mengkitisi kinerja pemerintah dengan sentimen negatif.
Baca juga: Ini Penjelasan Pakar Virologi Mengenai Virus Corona Varian Lambda
"Kebijakan PSBB dibenturkan dengan kewajiban beribadah dan sistem khilafah. Ini berpotensi menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan warganegara kepada pemerintah. Meskipun ada pandemi ini, bahaya radikalisme tidak hilang, karena walaupun tidak melalui pertemuan-pertemuan tradisional, komunikasi tetap berlanjut melalui chatting di media sosial," ungkapnya.
Aisha menyebut bahwa kelompok radikal memunculkan isu bahwa peniadaan bentuk-bentuk kegiatan ibadah merupakan bentuk represi kepada umat Islam. Padahal pemerintah memberlakukan pembatasan dalam rangka memutus mata rantai sekaligus pencegahan penyebaran wabah Covid-19.
Dia mengunkapkan, pandemi Covid-19 cenderung mempengaruhi pertahanan negara, seperti alutsista yang dipakai untuk penyemprotan disinfektan.
"Kita tidak bisa mengontrol media. Perkembangan TI yang sedang terjadi berdampak pada masyarakat dalam menggunakan sosmed. Kita masuk dalam paradox of the plenty. Di mana semakin banyak informasi yang kita terima, semakin kita bingung mana informasi yang bisa dipercaya," tegasnya.
Aisha menambahkan, hal tersebut yang dimanfaatkan kelompok ini.
"Mereka bisa menyebarkan ketakutan di masyarakat dalam bentuk lain. Itu adalah peralihan dari penyebaran ketakutan yang sebelumnya mereka melakukan dengan fear bombing," tutupnya.