Surabaya - Jawa Timur sedang getol nandur di berbagai titik. Mulai Gresik, Bangkalan, Banyuwangi, dan akan berlanjut pada daerah lain. Ikhtiar yang luar biasa. Namun Upaya tersebut akan menjadi sia-sia apabila tidak ditindaklanjuti dengan penguatan regulasi.
Menanam mangrove merupakan investasi yang sangat mahal. Mangrove mampu menahan abrasi air laut. Mangrove juga menghidupkan ekosistem pesisir pantai. Dan ekosistem itu merupakan warisan yang harus dijaga untuk anak cucu pada masa mendatang.
Saat ini, perubahan iklim dan pemanasan global merupakan hal yang tak terelakan. Pemanasan global mengakibatkan krisis iklim akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca dua kali lebih banyak dibanding tahun 1990. Dampaknya bukan hanya merusak tatanan kehidupan sosial, tapi pada perekonomian masyarakat dunia.
Menangani perubahan iklim merupakan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Yang di dalamnya berada pada poin ke-13 yaitu pilar lingkungan. Pelestarian mangrove diyakini mampu mencegah perubahan iklim dan pemanasan global.
Baca juga: Bangkai Paus Bungkuk Ditemukan Terdampar di Pantai Kejawan Putih Surabaya
Hutan mangrove memiliki manfaat yang besar untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pesisir. Hutan mangrove atau yang umum disebut juga hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Hutan ini tumbuh, di pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai. Ekosistem wilayah ini sangat strategis karena memiliki potensi kekayaan hayati, dari segi biologi, ekonomi, bahkan pariwisata. Wajar jika banyak pihak ingin memanfaatkan potensi tersebut secara maksimal.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Luas hutan mangrove di Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia, melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Namun, tidak semua terawat dengan baik. Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi. Yakni mengembalikan menanam kembali sehingga terwujud seperti kondisi semula atau mirip seperti aslinya.
Restorasi juga dipahami sebagai usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang diinginkan manusia.
Restorasi mangrove ini lebih memberikan peluang kepada alam untuk mengatur atau memulihkan dirinya sendiri. Manusia hanya sebatas memberikan jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan.
Secara umum, habitat mangrove mampu memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15–20 tahun, jika kondisi normal hidrologi tidak terganggu dan ketersediaan biji, bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi.
Untuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur terus mengejar target 34.000 hektare restorasi mangrove di seluruh wilayah pesisir Jatim. Percepatan pencapaian target tersebut dilakukan sebagai langkah mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global.
Bahkan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mencanangkan gerakan restorasi mangrove dengan tajuk “Nandur Mangrove” di kawasan Wana Wisata Pantai Sowan, Tuban dan Banyuurip Mangrove Center, Gresik. Selanjutnya Nandur Mangrove juga dilakukan di Kabupaten Banyuwangi bersama bupati/walikota se-Jatim dan Kabupaten Bangkalan.
Gerakan gerakan Nandur Mangrove ini bisa menjadi sebuah gerakan bersama dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim dan lingkungan. Mengingat ekosistem mangrove memiliki keterkaitan erat terhadap perubahan iklim.
Program Nandur Mangrove ini akan secara masif dilakukan kedepannya. Terutama, bagi wilayah-wilayah yang telah terkonfirmasi siap tanam. Seluruh elemen masyarakat untuk menyadari bahwa kerelawanan, kerja sama dan kolaborasi sangat dibutuhkan dalam proses revegetasi dan rehabilitasi mangrove.
Restorasi ini juga menjadi salah satu cara untuk merevitalisasi kembali kawasan mangrove Jatim sebagai salah satu destinasi unggulan ekowisata dan eduwisata Jatim.
Di Kabupaten Banyuwangi, sedikitnya 293.280 batang bibit mangrove jenis Rhizophora mucronata, Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrizha, dan Sonneratia alba secara bertahap ditanam di lahan seluas 101 hektar area di Kecamatan Muncar, Tegaldlimo, dan Pesanggrahan Kabupaten Banyuwangi.
Baca juga: Mengintip Kesiapan Trenggalek Jadi Tuan Rumah Festival Mangrove se Jawa
Sedangkan, sebanyak 1.000 bibit pohon mangrove atau bakau jenis Rhizopora sp dan Avicennia sp, akan ditanam sebagai simbolis dari total 254.749 bibit yang akan disebar di wilayah seluas 104,49 hektare di seluruh Kabupaten Bangkalan.
Pada tahun 2020 lalu, telah dilakukan penanaman mangrove baru di Pulau Madura sebanyak 1.237.500 batang dengan luas area penanaman seluas 375 hektar. Tahun 2021 ini, kembali dilaksanakan penanaman mangrive seluas 104,49 hektare dengan bibit sebanyak 254.479 batang. Sehingga, luas kawasan yang telah ditanami mangrove di Pulau Madura pada tahun 2020 dan 2021 yakni seluas 479,94 hektare.
Meskipun saat ini Pemprov Jatim tengah menunggu peta dari Kementerian Pertanian. Namun demikian, Pemprov Jatim telah mendahului proses penanaman mangrove dengan melibatkan sangat banyak stakeholder, relawan, dan pemerintah maupun forkopimda kabupaten/kota.
Sumber daya alam dari hutan mangrove seperti ikan, udang laut, dan kepiting bakau berkontribusi besar untuk kesejahteraan masyarakat nelayan di pesisir. Karenanya, Nandur Mangrove ini harus digetoktularkan menjadi gerakan restorasi di seluruh wilayah pesisir Jawa Timur.
Nandur Mangrove tidak lah cukup untuk merestorasi hutan mangrove. Perlu ada regulasi yang melindungi jika terdapat perusakan lingkungan dan mangrove. Apalagi banyak kawasan pesisir yang dibidik pengembang, mereka membeli lahan sedikit. Dimana perluasannya melalui reklamasi. View di tepi pantai sangat bisa dijual. Karena itu pengembang banyak yang mengincar.
Karenanya, Nandur Mangrove disertai dengan peraturan yang tegas menindak perusak alam akan semakin mempertegas restorasi mangrove.
Baca juga: Video: Menyusuri Amazonnya Surabaya
Langkah Gubernur Khofifah bisa disebut sebagai investasi restorasi mangrove. Namun, investasi ini tidak menjamin restorasi akan berlangsung secara berkelanjutan. Pada dunia usaha, investasi hanya sebuah modal awal untuk menggerakkan roda bisnis pada industri. Begitu pula nandur mangrove ala Gubernur. Semua itu hanya pancingan atau modal dalam jangka waktu panjang.
Bisa jadi, investasi tersebut merupakan pancingan atau pekerjaan rumah baru bagi daerah yang memiliki pesisir pantai. Pemerintah daerah mengemban amanah untuk menjaga agar investasi tersebut mampu bertahan dalam jangka panjang.
Restorasi Mangrove bisa menjadi sebuah ekosistem baru. Karena itu, pemerintah daerah dituntut mampu mewujudkan satu sistem yang menjaga kelanjutan ekosistem dan mangrove tersebut.
Sistem bisa diwujudkan melalui berbagai cara. Banyak daerah yang mengggawangi kelestarian mangrove dengan menerbitkan perda. Mereka melindugi Mangrove beserta ekosistemnya. Bahkan, tak sedikit yang menjadikan mangrove sebagai wanawisata dan eduwisata. Pola seperti ini, hendaknya menjadi prototype sistem pemeliharaan Mangrove pada pesisir pantai di Jawa Timur, maupun di Indonesia.
Penulis : I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M..I.Kom
Penulis adalah Pranata Humas Ahli Pertama Biro Administrasi Pimpinan Setdaprov Jatim
*jatimnow.com tidak bertanggung jawab atas isi opini. Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis yang seperti diatur dalam UU ITE