Banyuwangi - Warga Desa Wringinrejo, Kecamatan Gambiran sejak zaman dulu meyakini pesan leluhur, yang melarang menggantung atau membunyikan alat musik tradisional berupa gong.
Jika dilanggar akan mendatangkan petaka bagi yang menggantung dan membunyikan. Tidak hanya pelaku, tapi semua penabuh alat musik lain dalam pertujukan kesenian itu. Bagi pemilik hajat semua keluarganya akan mendapat petaka.
Sanksi itu bermacam-macam. Ada yang berupa penyakit, ada juga yang keluarganya hancur hingga berujung perceraian. Ada juga yang usahanya tiba-tiba mengalami kemerosotan hingga harta dan aset yang dia punya habis.
Baca juga: Misteri Penyebab Lubang di Dasar Sungai Kaliasat Blitar Terungkap
Petaka itu ada yang berdampak langsung, atau juga mundur di lain hari. Konon cerita mistis suara gong yang disakralkan di daerah itu dulunya bermula dari perjanjian antara sesepuh desa dengan danyang di daerah itu.
Isi perjanjian itu, jika masih sering berpesta dan berfoya-foya danyang di wilayah itu tidak terima, dan akan mengganggu kehidupan warga yang melanggar.
Batas waktu bagi yang melangar konon hingga sewindu yaitu 8 tahun lamanya. Sepanjang waktu itu petaka selalu menghatuinya kepada orang yang melanggar perjanjian.
Cerita masyarakat setempat, di zaman dahulu daerah tersebut masyarakatnya serba berkecukupan. Dengan adanya harta yang cukup warga di situ suka berpesta, bersenang-senang, juga berhura-hura.
Dalam berpesta warga setempat selalu menggelar pertunjukan kesenian daerah seperti teledek, tayub, gandrung, jaranan juga wayang kulit. Semua alat kesenian itu memakai gong.
Seorang tokoh masyarakat di desa itu, Farid menyatakan janji yang diperbuat oleh tokoh masyarakat dengan danyang, itu masih belum cukup bukti kebenarannya.
Baca juga: Mitos Gunung Pegat Ponorogo, Calon Pengantin Ada yang Berani Melanggar?
"Cerita soal tokoh masyarakat di sini, dulunya pernah berjanji dengan danyang itu masih belum bisa dibuktikan. Tapi kalau dilarang menggantung dan membunyikan gong itu benar adanya. Larangan itu tidak tertulis hanya keyakinan masyarakat saja yang sampai saat ini dilaksanakan oleh orang desa sini," terang Farid.
Di desa Wringinrejo ada dua wilayah, kata tokoh tersebut. "Dua wilayah itu di dusun Mulyorejo dan Toyamas. Tapi tidak semua dilarang menggantung dan membunyikan gong. Ada garis wilayah berupa jalan yang membentuk lingkaran. Nah yang rumahnya di dalam lingkaran garis jalan itu yang masyarakat meyakini tetua itu,” ungkapnya.
Pernah terjadi saat itu, salah satu warga melaksanakan hajatan pernikahan dan warga itu menggelar pertunjukan wayang kulit. Aneh, petaka itu terjadi, semua penabuh dan dalangnya tertidur. Kejadian itu baru saja saat pertunjukan wayang dimainkan. Lokasinya di perempatan jalan dekat Pasar Dusun Mulyorejo.
Di Dusun Toyamas pernah juga terjadi hal yang sama. Di daerah itu pertunjukan kesenian jaranan. warga yang mengundang mengalami konflik keluarga dan berujung perceraian. Sampai saat ini jika mereka melakukan pawai kesenian jika lewat batas wilayah itu menurunkan gong dari gantungannya.
Keyakinan itu sampai sekarang masih dijalani, jika sampai melanggar orang yang membunyikan bakal celaka. Bahkan tidak hanya yang membunyikan tapi juga seluruh yang membunyikan alat musik lain dan yang membuat acara akan terdampak petaka juga.
Baca juga: Spoiler One Piece Episode 1092: Teka-teki Pulau Egghead dan Dr Vega Punk
Warga Toyamas, Ahmad Heriyanto (48), mengaku sejak kecil tidak pernah melihat ada pertunjukan kesenian yang memakai alat musik gong. Jika terpaksa, musik tradisional dihidupkan dengan suara pengganti melalui aplikasi elektronik atau kaset kala itu.
"Saya tidak pernah melihat ada kegiatan pertunjukan yang memakai gong di sini, padahal di Banyuwangi gudangnya kesenian,” terangnya.
Kalau pun berani melanggar, kata Ahmad, seluruh keluarga orang yang mengadakan kegiatan itu akan mendapat petaka.
Hingga kini seluruh warga tetap menjaga petuah itu agar tidak celaka. Tidak ada ritual khusus di wilayah dusun itu. Tapi pesan moral leluhur sampai sekarang tetap dijaga dan dilaksanakan oleh warga Toyamas.