jatimnow.com - Belum lepas kita dari peristiwa membekas dari keprihatinan mendalam mulai masa pandemi, tragedi Kanjuruhan dan kini gempa Cianjur yang meninggalkan 321 nyawa. Catatan penting pada setiap peristiwa pascapandemi adalah ada situasi selama 3 tahun mengalami pembatasan. Yang artinya ketika dilepas, ada situasi pengelolaan energi yang selama 3 tahun menahan diri.
Pelepasan emosi atau energi ini perlu diatur atau dikelola dengan baik. Agar ketika merespons situasi seperti pascagempa, tidak menjadi pemicu menjadi negatif yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Bahwa ada situasi yang lebih sensitif dalam menghadapi para korban, yang perlu dimaknai positif, agar dapat dikelola dengan baik.
Bahwa ada situasi yang sama, diberbagai peristiwa pasca pandemic, ditinggalkan orang orang tersayang dengan sangat mendadak, begitu juga dalam gempa di Cianjur. Yang tentu bagi para anak ada situasi yang tidak siap, bukan hanya lolos dari ujian kesedihan, namun ada situasi ikutan dampak panjang, ketika yang meninggal adalah para pencari nafkah, orang yang dianggap paling berarti atau sangat dekat, situasi yang meninggal lebih dari satu dalam keluarga.
Baca juga: KPAI di Lamongan Desak Pemenuhan Rehabilitas Psikologis Korban Kekerasan Seksual
Begitupun anak-anak yang ditinggalkan, melihat situasi keluarga yang ditinggalkan, juga menjadi persoalan sendiri. Apalagi bila ada trauma fisik yang dialami anak, yang membekas atau menjadi disabilitas.
Ada situasi yang kompleks dari rasa kehilangan. Tentu situasi tersebut masih membutuhkan perhatian banyak pihak, agar tidak membawa situasi anak lebih buruk, seperti yang dialami ananda Lutfiati yang meninggal menyusul ayah dan kakaknya pada korban Kanjuruhan, setelah sebulan peristiwa dengan menulis dan menggambar situasi sebelum kematian.
Untuk itu segala pemicu situasi lebih kompleks akan kesedihan yang dapat membawa anak anak dalam multi kesedihan yang berdampak sangat kompleks harus di hindari, karena anak butuh pemahaman panjang soal konsep kematian dan anak butuh waktu belajar menerima sebuah peristiwa trauma.
Begitupun bila ada upaya hukum dari peristiwa. Seperti anak anak yang dalam perkara perceraian, anak anak dalam perebutan kuasa asuh, orang tua yang mencari keadilan, anak anak dalam situasi bencana alam dan non alam, sangat membutuhkan lingkungan yang kondusif. Mereka perlu dihindari dalam pemicu kesedihan. Sehingga pilihannya adalah melaksanakan segala upaya yang dapat mendukung pemulihan dari menghindari situasi yang lebih buruk untuk anak.
Seperti pascabencana gempa bumi di Cianjur, membawa reaksi beragam bagi usia anak dan remaja, hal ini disebabkan kondisi usia dan perkembangan mereka, sangat menentukan cara penerimaan anak-anak.
Umumnya kehidupan anak yang masih penuh ketergantungan dan belum mampu mandiri dalam melakukan banyak hal, akan sangat sensitif pasca peristiwa. Ini menjadi pertanda untuk para orang tua dan relawan untuk mendampingi secara intens. Seperti pengalaman di pascaperistiwa bencana anak-anak akan bereaksi ketika mendengar kabar, melihat situasi keramaian atau mendengar suara di sekitarnya.
Apalagi dengan korban 321 orang meninggal, menandakan ada anak-anak yang mengalami kehilangan, perpisahan, keprihatinan, yang bila rasa ini tidak diolah, menjadi makna positif, akan menjadi keprihatinan mendalam. Bahkan bila penanganannya telat akan membawa multi-kehilangan dan kesedihan.
Hal tersebut menyebabkan anak-anak sangat rentan kondisi psikologisnya, menjadi kecemasan, yang menyebabkan mengurangi jam istirahat dan kualitas hidup, yang sudah tentu membawa dampak kepada kesehatan.
Beberapa anak yang umur bayi, batita, dan balita akan mengalami penurunan kondisi fisik dan mudah menangis. Hal tersebut terjadi karena di umur mereka tidak mudah mengekspresikan kesedihan, atau orang di luar sana memahami ekspresi kesedihan mereka. Seperti kita diberitakan seorang balita yang selamat dari reruntuhan pascagempa, tentu tidak mudah baginya ketika mendapatkan figur baru atau pengganti dalam hidupnya, dalam kondisi trauma beberapa hari dalam reruntuhan.
Untuk itu sangat tidak disarankan bayi, balita, batita, anak anak usia sekolah tidak dipisahkan dari keluarganya dan berlama-lama dalam pengungsian.
Kehadiran relawan yang memiliki perspektif cara bekerja dengan anak-anak, baik anak dibawah umur ataupun usia sekolah menjadi sangat penting, dalam rangka mengalihkan ketakutan dan kecemasan berlebihan mereka. Yang juga bermanfaat, untuk membantu para orang tua mereka, yang membutuhkan waktu beradaptasi dengan kondisi, pascaperistiwa.
Untuk remaja, juga sangat penting diperhatikan, meski mereka bisa memaknai peristiwa dengan lebih baik. Namun kenyataannya reaksi kecemasan mereka tidak begitu kelihatan, namun ketika sudah menjadi gangguan kesehatan, tidak mau mengikuti kegiatan, menjauh dari keramaian, tidak mau diajak atau di suruh, keinginan motivasi yang menurun, menyatakan para remaja juga mengalami kondisi yang sama, namun dengan reaksi berbeda.
Hal tersebut akan mempengaruhi perilaku sosial remaja di tenda pengungsian, cara memahami sesuatu yang dibarengi emosi tidak stabil dan mengalami gangguan konsentrasi. Bahkan di beberapa remaja bisa sangat mendalam, ketika saat peristiwa mengalami kejadian langsung atau melihat korban, yang berujung pada ketidakpercayaan diri, keputusasaan dan kehilangan harapan. Yang menyebabkan respon dari setiap intervensi dari luar, membawa situasi lebih buruk untuk mereka.
Bila tidak teratasi dengan baik, bisa menempatkan remaja pada keterlibatan konflik yang tidak perlu. Baik dengan sesama mereka maupun dengan orang dewasa di sekitarnya, apalagi diperberat dengan mengkonsumsi industri efek candu, bisa bisa berujung pada keterlibatan hukum.
Untuk beberapa anak yang berdampak pada kondisi trauma fisik akibat tertimpa reruntuhan atau menjadi luka fisik yang membekas pascagempa, apalagi mengalami disabilitas. Ke depan bisa membawa stigma untuk anak, karena kondisi fisiknya sudah tidak seperti dulu, sehingga membawa sikap menjauh dari berbagai interaksi. Mereka perlu pendampingan lebih panjang. Di sinilah perlu para pendamping psikososial untuk melihat lebih jauh kondisi anak dan mendukung aktif dan mengembalikan fungsi sosial mereka.
Baca juga: Kasus Campak Kian Merebak, Orang Tua Wajib Waspada
Dari pengalaman aktifitas di tenda pengungsian, seringkali kegiatan anak-anak usia sekolah dan pra-usia sekolah lebih terpenuhi dibanding remaja. Sehingga remaja di pengungsian nampak jauh dari pengawasan. Mereka kemudian meninggalkan tenda pengungsian, karena kurang terperhatikan.
Pengalaman di tenda pengungsian, justru remaja menghadapi kasus kekerasan remaja dan kekerasan seksual. Untuk itu penting pendamping atau konselor remaja hadir di tenda pengungsian, yang benar-benar bekerja untuk mereka, agar situasi bencana tidak semakin lebih buruk untuk mereka.
Traume healing merupakan kegiatan pemulihan pascabencana. Karena tidak terhindarkan reaksi pascabencana membawa anak anak dan remaja dalam situasi cemas dan kekhawatiran. Yang bila tidak di tuntun untuk di kelola dengan baik akan membawa efek ketakutan, keputusasaan, hilang harapan, rasa bersalah dan stigma. Namun jika cemas dan kekahawatiran ini tidak dipandu, dituntun, dan dibekali dengan memberi makna positif, dapat membawa situasi yang lebih buruk untuk anak.
Di usia prasekolah, keberhasilan trauma healing, tentu sangat ditentukan dari keaktifan figur yang melekat, seperti ibu dan anggota keluarga lainnya. Sedangkan untuk usia remaja, anak anak lebih mementingkan teman-teman sebayanya (peer support). Hal inilah yang perlu di perhatikan dalam kegiatan trauma healing.
Karena keberhasilan trauma healing menuntut prasyarat kedekatan dan kepercayaan. Sehingga mereka yang sedang bekerja disana, dapat memanfaatkan kondisi, situasi psikologis, usia dan perkembangan, yang membawa kecenderungan aktifitas sosial anak anak di pengungsian.
Karena sesungguhnya ketika bencana terjadi, kita bicara setelah itu, apa yang harus dilakukan, dan tidak melulu soal kondisi psikologis. Mereka yang bekerja di trauma healing juga memerlukan dukungan. Karena ada kebutuhan melanjutkan kehidupan, yang perlu penopang kemandirian, sesuai kebutuhan para pengungsi, ada masa transisi yang perlu di respon lintas sektor, dalam menggantikan harapan yang lebih baik untuk orang tua, anak dan remaja. Terutama untuk anak-anak mengembali aktifitas mereka seperti sedia kala.
Saya kira sangat baik, dengan banyaknya elemen masyarakat yang peduli dengan ikut bergerak di Cianjur. Karena pekerjaan ini tidak bisa di tangani sendiri, butuh keterlibatan lintas sector dan profesi. Pengalaman dari penanganan pascagempa, ada tuntutan pendampingan jangka panjang. Yang sejak awal tidak meninggalkan jejak karitatif atau ketergantungan. Untuk itu upaya stabilitas penanganan dan memiliki kualitas assessment berkelanjutan, menjadi prasyarat keberhasilan penanganan pascabencana terutama untuk anak-anak.
Dalam kegiatan trauma healing, kita menghindari pengulangan-pengulangan dalam menceritakan peristiwa trauma, karena dapat membawa multiple loss grieving dari cerita berulang ulang. Sehingga progres penanganan yang berorientasi ke depan untuk para korban menjadi yang utama.
Pengalaman buruk juga ada di area bencana, seperti pihak-pihak yang membantu, justru membawa anak-anak keluar area bencana tanpa perlindungan hukum, yang berdampak panjang ketika mereka sudah dewasa. Kemudian relawan yang melakukan kekerasan dan kekerasan seksual. Ada juga pengumpulan bantuan yang tidak bisa dipertangungjawabkan.
Baca juga: KPAI Sebut Ciki Ngebul Berbahaya, Ini Efeknya Setelah Mengkonsumsi
Salah satu hal paling penting dalam mencegah itu semua, adalah kelengkapan data dan pertanggungjawaban kondisi setiap anak. Karena peristiwa anak berpindah di area bencana atau mendapatkan kekerasan, seringkali terjadi karena tidak jelasnya pendataan situasi dan kondisi anak pascabencana.
Lalu siapa yang diserahkan menjadi pelindung atau figur penggantinya. Apabila anak ditemukan dalam kondisi rentan, karena kehilangan orang tua, atau sebelum bencana memang sudah ada konflik di pusaran anak, anak anak bisa diselamatkan atau dicegah dari situasi yang lebih buruk lagi.
Tentunya dari pengalaman dari peristiwa ini, kita harus banyak belajar. Untuk itu koordinasi tingkat kewilayahan menjadi penting, dengan pelibatan lintas sektor dan profesi, agar mencegah peristiwa berulang.
Kegiatan trauma healing harus mempunyai poros koordinasi bersama. Yang mampu menjawab tantangan tersebut, dan juga menjadi kegiatan terprogram dan berkelanjutan. Setiap relawan yang bekerja harus memiliki kode etik bekerja dengan anak, terkoordinasi dan didukung, agar dapat bekerja maksimal di area bencana.
Meski kita tahu para relawan penting dan sibuk merespons segera situasi di lapangan, namun tetap harus ada tempat koordinasi bersama, agar penanganan dari setiap fase dan respons, supaya penanganan semakin berkualitas dan berkelanjutan.
Selain itu para relawan yang datang dari berbagai penjuru, penting sebelum meninggalkan lokasi untuk melatih relawan relawan lokal, agar memiliki kecakapan dan profesionalitas penanganan yang sama. Sehingga ketika ditinggal, tidak seperti ayam kehilangan induk. Ada program yang terus dititipkan untuk relawan lokal yang dapat meneruskan dan meninggalkan kemandirian untuk relawan lokal.
Untuk itu penting pemerintah daerah Cianjur menyediakan pos koordinasi relawan trauma healing, hotline, menyediakan tempat manajemen kasus, dan manajemen rujukan, yang bisa langsung direspon bersama dengan supervisi penanganan lintas sector. Agar membantu kerja kerja kerelawanan dan filantrophy.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak, dimana Pemerintah berkewajiban memberikan layanan yang dibutuhkan anak yang memerlukan perlindungan khusus dan mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak anak untuk anak-anak dalam situasi bencana dan mendapatkan tindakan kekerasan. Agar mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
Perlindungan ini diberikan kepada anak yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih di dalam kandungan ibunya, melalui penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya. Selain itu ada pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan. Lalu pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, serta pemberian perlindungan dan pendampingan.
Penulis: Jasra Putra (Kadivwasmonev KPAI)