jatimnow.com - Di tengah gempuran fesyen luar negeri yang terus berkembang di Tanah Air, kain tradisional Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri menolak punah. Salah satu perajin tertua di sana, Ruqoyah mulai aktif melakukan regenerasi. Dia juga terus menciptakan motif-motif baru.
Ruqoyah merupakan generasi ketiga dari keluarga suaminya, yang menjalankan industri berlabel ‘Medali Mas’ sejak 1980an. Dia menjadi salah satu yang tertua di Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri.
“Suami itu sekitar 1989-an, saya nikah 1991. Itu mulai,” kata Ruqoyah mengawali ceritanya tentang Tenun Ikat Bandar Kidul yang terus mengalami pasang surut, pada Selasa (20/12/2022).
Baca juga: Serahkan Sertifikat PTSL di 2 Desa, Pemkab Kediri Beri 3 Pesan Penting
Saat ini, menurut Ruqoyah, wastra khas Kota Kediri tersebut dalam tren positif. Permintaan terus berkembang seiring pemanfaatan kain oleh desainer-desainer ternama di Indonesia. Sebut saja Didiet Maulana dan Priyo Oktaviano.
Baru-baru ini Kain Tenun Ikat Bandar Kidul Kota Kediri juga dipakai oleh Presiden Joko Widodo hingga aktor tampan asal Korea Selatan, Song Kang.
Ruqoyah memastikan usahanya bersama 20-an perajin di Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul Kota Kediri tak terganggu oleh pandemi Covid-19.
“Permintaan besar wilayah Jawa Timur. Malang, Madiun, Magetan, Jombang. Paling banyak instansi,” terangnya.
Namun Ruqoyah sadar bahwa regenerasi penting untuk menjaga kelestarian ini. Saat ini ia mulai aktif melakukan transfer pengetahuan ke sekolah-sekolah, pondok pesantren hingga Lembaga Pemasyarakat Klas IIA Kediri. Dia bahkan meletakkan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di sana.
“Di sekolah-sekolah itu ada ekstrakulikuler menenun sekarang. Ini penting untuk regenerasi,” tegasnya.
Ada beberapa SMK di Kota Kediri yang sudah bekerja sama, termasuk Pondok Pesantren Ploso.
Ruqoyah juga berencana mengembangkan kain tenun ini di desanya di Nganjuk.
Proses Kreatif Tiada Henti
Baca juga: Pemotor Arogan Penantang Duel Perwira Polisi di Kediri Dievakuasi Satpol PP, Ternyata…
Kreatif juga sangat dibutuhkan untuk menjaga bisnis ini. Selain tetap memproduksi motif khas Kota Kediri seperti ceplok, tirtotirjo, loong, salur, gunungan, dan kuncup, Ruqoyah juga terus menciptakan motif-motif baru.
“Buat saya, yang sudah dipesan instansi tertentu gitu ya, sudah tidak diproduksi lagi. Saya menghargai. Dan ketika kita mengulang desain yang sama itu jadinya nggak kreatif. Saya suka motif baru,” tegas Ruqoyah.
Ruqoyah sudah tak menghitung berapa motif yang ia ciptakan. Dia mengaku tak ingin ada dokumen yang justru membatasi proses berfikirnya dalam menciptakan motif baru.
“Ada kadang kita menerjemahkan keinginan pemesan. Atau nanti saya lihat apa gitu, digambar dikembangkan,” terangnya.
Saat ini total Ruqoyah punya 150 karyawan dengan 70 ATBM. Dengan kisaran produksi satu pekerja menghasilkan tiga potong kain dalam dua hari dengan masa kerja enam hari.
Khusus desain Ruqoyah yang langsung mengerjakannya.
Dia punya tiga bahan kain, katun Rp225.000, sutra Rp750.000, semi-sutra Rp450.000. Ada juga sarung kelas A Rp300.000, B Rp250.000, C Rp225.000.
Baca juga: Pemotor Arogan Tantang Duel Perwira Polisi di Kediri, Ngaku Anak Letkol
Sejarah Kain Tenun di Kediri
Sama halnya Tahu, Kain Tenun Ikat Bandar Kidul dikenalkan oleh etnis Tionghoa pada 1950 melalui perdagangan. Saat itu, sebagian masyarakat Bandar Kidul menjadi pekerjanya.
Barulah pada 1966, masyarakat di sana mulai memproduksi sendiri kain tenun, utamanya untuk sarung.
Dalam perkembangannya, produksi tenun ikat Kediri mengalami pasang surut. Periode 1984 – 1985, produksi tenun ikat Kediri sempat mengalami kemunduran akibat produk tekstil dari mesin.
Kondisi ini perlahan berubah ketika pemerintah memberikan pembinaan kepada para pemilik industri kecil. Sejak saat itu kain tenun ikat Bandar Kidul Kediri mengalami perkembangan sehingga mampu bersaing di tengah modernisasi industri.