Pixel Code jatimnow.com

Dari Bara Kayu ke Api Biru, Transisi Energi yang Membuat Kampung Tenun Ikat Kediri Semakin Hidup

Editor : Tim Jatimnow   Reporter : Yanuar Dedy
Suasana perajin di gerai produksi Medali Mas, salah satu produsen kain tenun ikat di Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri. (Foto-foto: Yanuar Dedy/jatimnow.com)
Suasana perajin di gerai produksi Medali Mas, salah satu produsen kain tenun ikat di Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri. (Foto-foto: Yanuar Dedy/jatimnow.com)

jatimnow.com - Transisi energi membuat Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri semakin hidup. Dari bara kayu ke api biru, ekonomi tumbuh. Warna-warni wastra Nusantara itu kini menyala lebih terang, menegaskan semangat dan eksistensi yang terjaga sejak 1910.

Dulu, asap kayu bakar menjadi aroma khas di setiap rumah perajin tenun ikat di Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Di antara rumah-rumah sederhana, tungku tradisional menyala setiap hari, menandai kesibukan para penjaga warisan leluhur tersebut. Kini, bau asap itu hilang, digantikan suara desis lembut api biru dari tabung Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang berpadu dengan denting ritmis Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Perubahan sederhana yang membawa dampak begitu besar.

Di salah satu gerai tertua saat ini, Medali Mas milik Siti Ruqoyah (56), Syaifudin Zuhri (37) tengah melakukan proses pencelupan atau pewarnaan benang. Ini tahap pertama dalam pembuatan lungsi atau benang yang membujur membentuk garis vertikal dan diam di alat tenun, sekaligus bagian yang sangat penting dari 10 rangkaian pembuatan umpan atau benang yang melintang dan disisipkan di antara lungsi yang membentuk kain.

Zuhri menghadap lima ember besar berwarna hitam di sudut paling belakang rumah produksi, sekaligus tempat tinggal Siti Ruqoyah dan keluarganya. Satu ember berisi beberapa ikat benang putih, direndam begitu saja menunggu giliran pewarnaan. Satu ember lainnya berada di bawah pancuran air keran yang ia gunakan untuk menampung bilasan. Air tampungan lalu ia tuang ke ember lainnya yang hitamnya mulai memudar untuk membilas benang yang sedang ia warnai menggunakan ember keempat. Benang yang telah berubah warna merah itu ia celup sambil diputar berulang, tangannya terlihat sangat cekatan. Lalu diperas dan dibilas di ember ketiga.

Ember kelima ia biarkan kosong sambil menunggu air mendidih dari panci tanggung di atas kompor LPG 3 kilogram. Belum sempat habis satu batang rokok dihisapnya, ia lanjut ke benang berikutnya setelah air matang sempurna. Ia tuang ke ember yang kini telah berisi zat pewarna.

Zuhri ingat betul saat masih menggunakan kayu bakar. Sebelum 2017, tiga hingga empat tahun awal dia bekerja, proses pencelupan berlangsung cukup lama karena bara yang tidak stabil. Belum lagi proses menyalakan api yang tidak bisa dilakukan dengan sekali putar seperti tuas kompor gas.

Zuhri sedang merebus air dengan LPG 3 kilogram. Air dengan panas sempurna ini digunakan untuk pencelupan warna yang maksimal.Zuhri sedang merebus air dengan LPG 3 kilogram. Air dengan panas sempurna ini digunakan untuk pencelupan warna yang maksimal.

“Selisihnya ya setengah jam. Padahal sehari membutuhkan 10 lebih perebusan. Seperti hari ini, rencana ada 14 hingga 16 kali perebusan. Belum lagi proses menyalakan api yang lama, kayu bakar itu tidak bisa langsung menyala. Kadang kayunya basah, itu lebih sulit lagi. Jadi, dulu produksinya memang terbatas,” keluh Zuhri, Selasa 7 Oktober 2025.

Salah satu jenis zat pewarna yang mereka gunakan, menurut Zuhri, memang memerlukan air dengan panas yang stabil. Sementara air hasil rebusan kayu bakar dirasanya lebih cepat dingin usai dituang ke ember karena proses pembakarannya yang tidak sempurna. Ditambah asap yang mengepul, sering kali mengganggu pekerja lain yang juga melakukan aktivitas di sana.

Sebelum memiliki tiga tempat produksi, hampir seluruh proses pengerjaan dilakukan di bagian belakang rumah yang berada di Jalan KH Agus Salim Gang 8 Nomor 54C, Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, kecuali desain yang hingga saat ini masih dikerjakan oleh Siti Ruqoyah di dalam rumah. Seperti skeer atau menggulung benang di boom, grayen atau menyambung benang, hingga proses tenun.

“Dulu asapnya ke mana-mana. Polusi. Padahal semua pekerja ya kumpulnya di sini, mengganggu banget pasti,” kenang Zuhri tertawa.

Di sisi lain, istrinya, Nuraini, tengah menyiapkan pewarna untuk proses colet atau pemberian warna kombinasi. Menghadap rumus rahasia pada kertas yang ditempel di tembok, campuran zat pewarna itu ia panaskan di atas kompor gas satu tungku, dalam kaleng berwarna cokelat dari jajanan Nabati yang mereka yakini lebih kuat. Colet merupakan tahap keenam dalam pembuatan umpan atau pakan. Proses ini juga memerlukan pengapian. Pengerjaan yang sering kali bersamaan membuat asap makin memenuhi ruangan.

“Ini juga dulu pakai kayu bakar. Sekarang pakai gas lebih cepat,” katanya. Masa kerja Nuraini lebih lama dari Zuhri, 14 tahun. Dia mengalami transisi dari kayu bakar ke minyak tanah hingga saat ini LPG. Ia mengakui memang dampaknya sangat luar biasa.

Dampak Nyata Energi Bersih

Selain lebih cepat dan sehat, pemakaian LPG juga membawa perubahan secara ekonomi. Perajin tak perlu repot membeli kayu setiap minggu. Dengan satu tabung gas, mereka bisa mewarnai beberapa batch kain. Efisiensi waktu membuat mereka bisa menambah produksi dan memenuhi permintaan lebih cepat.

“Kayu bakar dulu ya mahal. Ada murah kalau mau cari di wilayah gunung sana, tapi kan ya jauh, waktu terbuang. Belum lagi kalau basah. Kemudian akhir-akhir itu kan langka. Sempat beralih ke minyak, lalu berubah ke LPG melon itu di zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), 2007 kalau enggak salah ya,” terang Siti, sambil tangan ajaibnya mengerjakan desain pesanan seragam untuk siswa SD dan SMP di Kota Kediri tahun 2026 nanti. Tangannya terampil membentuk ornamen wajik dan tirto sebagai motif khas kota yang kini berusia 1.146 tahun itu.

“Menggunakan kayu bakar dan LPG selisihnya 50 persen. Ya, misal kayu bakar Rp10 ribu, LPG cuma Rp5 ribu. Kita sebulan habis 12 tabung melon. Kita juga pakai yang pink itu (Bright Gas),” tambahnya.

Ruqoyah paham, meski secara aturan UMKM berhak menggunakan subsidi ini, perlahan beralih ke LPG nonsubsidi adalah keniscayaan. Usahanya terus tumbuh, dan ada banyak yang lebih berhak menggunakan tabung LPG yang disalurkan oleh Pertamina tersebut.

Lebih lanjut, tak hanya efektif, panas yang stabil dari api biru LPG itu juga semakin menghidupkan warna wastra yang pernah dikenakan Jokowi saat menjabat sebagai Presiden Indonesia dalam pembukaan Trade Expo Indonesia (TEI) ke-37 pada Oktober 2022. Jokowi tampak berkarisma dengan balutan kemeja berwarna cokelat, hasil kolaborasi perajin tenun ikat Bandar Kidul dengan desainer nasional Wignyo Rahadi.

“Ya kayak kita membuat kue itu kan pengembangannya harus sempurna, kain juga begitu. Dengan panas yang stabil, warna itu jadi lebih kuat,” terang Siti.

Siti juga masih ingat, saat itu dia hanya memiliki sekitar 4–5 ATBM dengan produksi yang sangat terbatas. Lalu bertambah seiring transisi energi yang memangkas biaya produksi dan waktu pengerjaannya. Kini, dia memiliki 50 alat yang aktif dioperasikan.

Dampak lingkungan pun terasa. Tidak ada lagi tumpukan abu kayu atau sisa pembakaran. Saat ini ada sekitar 15 perajin yang masih bertahan. Dulu, kata Siti, jumlahnya lebih banyak. Bayangkan, ketika seluruh perajin menggunakan kayu bakar, polusi asap tentu sangat mengganggu warga di kampung padat penduduk tersebut. Limbah juga menumpuk.

“Ya, sekarang kampung jadi lebih bersih. Semua sudah beralih ke LPG sekarang,” kata Siti yang masih sangat bersemangat. Kini, pasca pandemi Covid-19, Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri, kembali pulih. Beruntung, anak pertamanya, Yusna Qurrota A’yun (32), bersedia mengikuti jejaknya. Pesanan yang mulai ramai mereka tanggung berdua.

"Alhamdulillah, ini mulai ramai lagi setelah Covid-19. Teman-teman juga ramai. Ini lagi ada pesanan 12.000 potong seragam SD dan SMP di Kota Kediri, kita kerjakan sama-sama semua perajin di sini,” terangnya lega.

Dalam skala kecil, apa yang dilakukan perajin menjadi cermin nyata transisi energi di tingkat masyarakat. Mereka mungkin tak bicara soal decarbonization atau target emisi nasional, tapi langkah kecil mereka adalah bagian dari perjalanan menuju energi bersih yang berkelanjutan.

Pemberdayaan Ekonomi

Siti Ruqoyah dan belasan teman-teman perajin juga turut dalam pemberdayaan ekonomi warga sekitar. Siti saja kini memiliki sekitar 50 pekerja yang mayoritas adalah ibu-ibu di Bandar Kidul, Kota Kediri. Di antaranya bahkan telah bekerja untuk dirinya selama bertahun-tahun.

Seperti Mira, yang telah bekerja selama 11 tahun di sana. Fokus menghadap ATBM di gerai kedua Medali Mas yang dikelola Yusna, tangannya sudah cukup terampil menenun.

Mira sedang melakukan pemintalan benang di gerai kedua Medali Mas. Dia telah bekerja di sana selama 11 tahun.Mira sedang melakukan pemintalan benang di gerai kedua Medali Mas. Dia telah bekerja di sana selama 11 tahun.

Baca juga:
Polres dan Pemkab Ponorogo Sidak SPBU, Pastikan Pertalite Aman Tanpa Campuran Air

Sehari, dalam delapan jam kerja, dia mampu menyelesaikan satu setengah potong kain berukuran panjang 2,5 meter dan lebar 90 sentimeter. Tangannya mendorong sekuat tenaga, bergerak selaras dengan kakinya yang menghentak bergantian. Sementara matanya terus memandang tajam umpan dan memastikannya tetap berbaris rapat.

Dengan satu hari libur, seminggu dia mampu menyelesaikan 6–7 potong dan mendapatkan upah hingga Rp350 ribu. Nilai yang relatif cukup untuk hidup di Kediri. Dia sangat bersyukur bisa membantu ekonomi keluarganya. Suaminya bekerja sebagai kuli bangunan.

“Sudah 11 tahun,” kata Mira saat sedang beristirahat sambil menyantap bekal nasi lodeh, bersama lima wanita tangguh lainnya. Di antaranya ada Zuhrotul Azizah (22) yang baru bergabung tiga tahun lalu. Dia mengaku jatuh cinta dengan proses kreatif pembuatan kain tenun yang juga pernah dipakai oleh aktor asal Korea, Song Kang.

Ada juga Umaha Tikum (53), yang mengabdi di Medali Mas lebih lama lagi. Namun, ia tidak bekerja bersama Mira, Azizah, dan teman-teman lainnya. Ibu tiga anak itu membawa pekerjaannya mengikat benang pulang ke rumah yang hanya berjeda dua rumah dari Medali Mas 1. Semua ia kerjakan sembari tetap mengurus anak bungsunya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Bagi dia, penghasilan ini sangat besar. Sempat hanya menjadikannya pekerjaan sampingan, kini seiring pertumbuhan Medali Mas, ia merelakan waktunya sepenuhnya untuk turut menjaga tradisi ini.

“Dulu hanya sampingan. Sekarang ini saja, karena sekarang satu ini, istilahnya satu bak ya, itu Rp40–60 ribu, tergantung desain. Kalau rapat begitu ya Rp60 ribu. Sangat cukup. Nanti selesai satu bak dikumpulin langsung diberi (bak) lagi sama Bu Siti,” ujar Umaha.

Pernyataan Umaha kembali menegaskan hidupnya Kampung Tenun Ikat ini. Para pekerja mendapatkan upah yang semakin layak, imbas ongkos produksi yang berhasil ditekan dan permintaan pasar yang semakin meningkat seiring kain tenun ikat yang semakin memesona karena warnanya. Umaha sukses membantu suaminya yang bekerja sebagai sopir untuk menguliahkan putra-putrinya.

Komitmen Pertamina dan Dukungan Strategis Pemerintah

Semangat para perajin di Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kediri, ini sejalan dengan komitmen Pertamina untuk menghadirkan energi yang terjangkau, aman, dan berkelanjutan bagi masyarakat, termasuk UMKM.

Area Manager Communication, Relations & CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus, Ahad Rahedi, juga menjamin pasokan LPG ini cukup untuk kebutuhan harian masyarakat, khususnya di Kota Kediri yang mencapai 17.920 tabung. Pihaknya juga aktif menggelontor tambahan secara fakultatif pada momen-momen tertentu seperti hari besar keagamaan. Pengawasan juga dilakukan secara ketat untuk memastikan penyaluran berjalan lancar.

“Kami pastikan pasokan LPG tetap aman untuk masyarakat. Untuk menghadapi lonjakan permintaan di momen-momen tertentu, kami juga melakukan mitigasi melalui penyaluran fakultatif di luar penyaluran reguler,” kata Ahad.

Terkait pergeseran konsumsi LPG 3 kilogram ke Bright Gas oleh para UMKM, Ahad melihat ini sebagai hal positif. Bukan hanya di Kediri, UMKM mitra binaan Pertamina di sejumlah daerah juga mulai sadar.

“Jadi gini, kita melihat bahwa pelaku UMKM dan juga penerima manfaat program CSR Pertamina itu sudah sadar betul. Bagian dari memberikan kontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah juga tidak mengambil barang-barang atau tidak menggunakan barang-barang subsidi hak masyarakat yang tidak mampu,” terang Ahad.

“Jadi kami mengapresiasi mindset yang sudah betul di mitra-mitra binaan kami, bahwa dengan target utama para pelaku UMKM mencari untung atau profit, tentunya kalau masih menggunakan produk-produk subsidi, di satu sisi akan timpang,” pujinya.

Pihaknya pun memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM untuk pelan-pelan bergeser ke produk nonsubsidi, seperti fasilitas trade-in, kemudahan mendapatkan produk, hingga layanan antar ke lokasi produksi.

Baca juga:
Temukan Pertalite di Surabaya Bercampur Bahan Lain, Berikut Saran Armuji

“Pasti ada kemudahan-kemudahan yang kami siapkan untuk para pelaku usaha, apalagi UMKM ya. Memang untuk beralih dari produk subsidi ke nonsubsidi pasti berat karena faktor perhitungan ongkos produksi dan lain-lain. Tapi kami menyiapkan kelebihan-kelebihan seperti fasilitas trade-in, kemudahan mendapatkan produk, layanan antar sampai ke lokasi produksi. Itu akan mempermudah masyarakat untuk menjalankan produksi UMKM-nya,” tegasnya.

Pesatnya pertumbuhan Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri, juga tak lepas dari dukungan strategis Pemerintah Kota Kediri dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri. Mulai dari bantuan ATBM, edukasi, hingga akses pasar yang luas.

Di antaranya, pelatihan diversifikasi produk UMKM pendukung pariwisata pada 2021. Pada 2022, mereka memberikan pelatihan korporatisasi dari KUB menjadi Koperasi Bankid.

Kemudian pelatihan bersama desainer nasional Wignyo Rahadi pada tahun 2023 yang menyasar para perajin Tenun Ikat Bandar Kidul dengan fokus teknik padu padan warna, serta standardisasi produk agar mampu bersaing di pasar premium.

Setelah kualitas diperkuat, panggungnya dibuka lebih lebar. Tenun Ikat Bandar Kidul dibawa Pemkot dan BI Kediri ke berbagai ajang kurasi dan promosi, mulai dari FESyar, Karya Kreatif Indonesia (KKI), hingga Karya Kreatif Mataraman (KKM). Termasuk mendukung penuh Dhoho Street Fashion dan Jakarta Fashion Trend sebagai bagian dari upaya mengembangkan produk khas Kota Kediri, serta menggandeng desainer lokal dan desainer difabel untuk tampil.

Deretan kain tenun ikat produksi Medali Mas dipajang di gerai kedua. Kini kualitas produksi mereka semakin berkualitas.Deretan kain tenun ikat produksi Medali Mas dipajang di gerai kedua. Kini kualitas produksi mereka semakin berkualitas.

Dari situ, kain Tenun Ikat Bandar Kidul benar-benar menemukan tuannya. Di tengah zaman yang tak lagi sama, ketika mesin pabrik berlari tanpa jeda, motif modern saling berebut rupa, dan pasar menuntut lebih dari sekadar tradisi, kain ini tetap dicinta. Bahkan badai Covid-19 tak mampu benar-benar meruntuhkannya.

Salah satu cinta datang dari Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri, yang memborong beberapa kain saat berkunjung ke sana beberapa waktu lalu. Termasuk istri Wali Kota Probolinggo, dr. Evariani Aminuddin.

Kecintaan Evariani terhadap kain tenun ikat Bandar Kidul bermula dari pertunjukan fesyen di Bandara Dhoho Kediri. Saat itu, ia bersama para istri delegasi Musyawarah Komisariat Wilayah IV (Muskomwil) ke-13 Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) disuguhkan penampilan para model yang tampak anggun mengenakan kreasi wastra Nusantara tersebut.

Menurut Evariani, kain tenun memiliki tekstur yang lembut serta nyaman dikenakan. Corak yang dihasilkan tangan-tangan kreatif para perajin melalui 14 tahapan pengerjaan juga dinilainya sangat menawan.

“Saya sangat menyukai tenun Kediri. Tenun ini sangat spesifik, lembut, warnanya berkilau, halus, nyaman dipakai di badan. Itu kesan pertama saya,” kata Evariani saat itu.

Wali Kota Kediri, Vinanda Prameswati, memang kerap mengajak tamu-tamu dari luar kota ke Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul. Termasuk para scooterist yang kemarin hadir dalam Kediri Scooter Festival 8. Pihaknya juga terus menjalin sinergi dengan kementerian pusat untuk meningkatkan pemasaran produk ini ke pasar global.

“Kita berkomitmen mendukung UMKM yang ada di Kota Kediri, salah satunya tenun ikat yang memang memiliki potensi luar biasa. Kami terus promosikan dan juga menjalin kolaborasi karena pemerintah kota tidak bisa berjalan sendiri, kita juga butuh dukungan banyak pihak, salah satunya dari kementerian pusat,” tandasnya.