jatimnow.com - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022 masih dipertanyakan masyarakat, termasuk para akademisi.
Ada sejumlah pasal yang disorot dalam PP yang mengatur tentang Pengurus Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara tersebut.
Pakar Administrasi Negara dari Universitas Brawijaya, Dewi Cahyani mengatakan, secara ontologis pembentukan PP Nomor 28 Tahun 2022 patut dipertanyakan.
Baca juga: PN Malang Kosongkan Rumah yang Dijual 2018 tapi Penghuni Emoh Pindah
"Apakah negara bisa disamakan dengan privat dalam piutang negara sehingga bisa mencabut hak-hak keperdataan warga negara dalam hal piutang negara?" tanya Dewi, dalam diskusi bertajuk 'Perlindungan Hak Warga Dari Kesewenang-wenangan Negara: Membedah Konstruksi Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2022 dari Aspek Hukum', Senin (14/8/2023).
"Ada lima hal yang bisa digugat dari kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 ini misalnya secara instrumen hukum apakah bisa dilaksanakan? Apakah secara aparatur untuk melaksanakan penyelesaian memiliki kemampuan ditengah ketidakprofesionalan para aparat negara? Faktor masyarakat apakah memang siap untuk medukung pelaksanaan PP ini? Dari budaya hukum apakah bisa mengakomodir kehadiran PP ini?” ungkap Dewi.
Sementara itu pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Sumali mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 memang memiliki banyak kecacatan.
Baca juga: Kemenkumham Jatim dan Pengadilan Tinggi Banjarmasin MoU Percepat Penyerahan Putusan
Dia heran, Undang-Undang Panita Urusan Piutang Negara Tahun 1960 baru dibuat peraturan pemerintahnya dibuat tahun 2022.
"Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 ini tidak memiliki konsiderans secara filosofis dan sosiologis. Jangan-jangan PP ini dibuat karena pemerintah memang kekurangan akal dan kekurangan dana untuk membangun Ibu Kota Negara," kata dia.
"PP ini sarat dengan dengan aspek perdata dan terlalu luas dampaknya terhadap aspek-aspek layanan publik seperti pelayanan kependudukan, pencekalan, bahkan terlalu melampaui kewenenangan negara,” ungkap Sumali yang pernah menjadi Hakim Adhoc Tipikor di Palembang dan Denpasar.
Baca juga: Ikadin dan APHK Gelar Rembuk Hukum Perdata Produk Penjajah, Usulannya Begini
Sumali berpandangan PP No 28 Tahun 2022 sangat cacat hukum karena tidak mengandung norma. Undang-undang yang memayungi PP ini saja tidak memiliki norma. PP ini sangat cacat hukum.
Baik Dewi Cahyandari maupun Sumali menyarankan agar PP Nomor 28 Tahun 2022 dilakukan uji materi. Karena peraturan ini cacat dan in just in casu PP aquo bisa dilakukan dengan pengajuan gugatan hak uji materiil ke Mahkamah Agung.
Dari beberapa pasal yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 seperti pasal 1 tentang pihak yang memperoleh hak dan kualifikasi penanggung utang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 49 Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 38 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengalihan Hak Secara Paksa begitu Bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pasal 77 PP No. 28/2022 tentang upaya hukum sangat “kontra” dengan UU No 39/1999 tentang HAM yakni yang mengajukan proses hukum dan peradilan merupakan hak setiap individu dalam rangka menjamin dan mempertahankan hak-hak konstitusional.