jatimnow.com - Komisi E DPRD Jatim mengkritisi kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang tak lagi mewajibkan para pelajar tingkat SMP-SMA mengikuti ekstrakurikuler Pramuka.
Anggota Komisi E DPRD Jatim Deni Wicaksono menyatakan kebijakan itu tidak menghargai faktor kesejarahan Pramuka. Serta gagal memahami pentingnya keberadaan Pramuka dalam membentuk karakter pelajar.
“Kebijakan Menteri Nadiem itu menabrak logika dan filosofi pembentukan karakter generasi muda. Omong kosong kita bicara penyiapan generasi menyongsong Indonesia Emas 2045 bila urusan pembentukan karakter seperti ini diabaikan," kata Deni, Jumat (5/4/2024).
Baca juga: Reses Ketua DPRD Jatim, Kader KSH Surabaya Sambat Gaji Kurang
Diketahui, kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Mendikbudristek 12/2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah itu
Kehadiran regulasi anyar itu mencabut Permendikbud 63/2014 yang di dalamnya turut mengatur pendidikan kepramukaan sebagai ekstrakurikuler wajib pada pendidikan dasar dan menengah.
“Gerakan kepramukaan mestinya diperkuat, terus disempurnakan untuk membentuk karakter pelajar, bukan malah dikerdilkan,” lanjut Deni.
Kata Deni, ada sejumlah aspek penting yang membuat kebijakan tersebut harus ditinjau ulang. Pertama, urgensi pendidikan kepramukaan dalam membentuk karakter pelajar. Pramuka dalam berbagai kegiatannya bertujuan membentuk para anggotanya menjadi pribadi yang berkarakter.
Baca juga: Besaran APBD Jatim 2025, Pendidikan dan Kesehatan jadi Prioritas
“Punya jiwa patriotik, disiplin, gotong royong, berjiwa penuh kasih, senang melihat orang lain senang, susah melihat orang lain susah. Bila generasi pelajar kita terus dididik seperti itu, kelak mereka bisa menjadi generasi yang tak hanya menguasai sains, tapi juga penuh karakter khas yang welas asih pada sesama,” ujar politisi PDI Perjuangan tersebut.
Aspek kedua adalah tinjauan sejarah. Pramuka hadir dan berkontribusi untuk Indonesia bukan baru dalam hitungan beberapa tahun, melainkan puluhan tahun silam. Bahkan gerakan Pramuka memiliki undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, yang menjadi bukti pengakuan negara terhadap eksistensi Pramuka.
Gerakan Pramuka di Indonesia, terang Deni, hadir sejak 1912 dengan dibentuknya Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO). Seiring perjalanan waktu, lahirlah berbagai organisasi kepanduan di Indonesia. Pada 1928, dibentuklah Persaudaraan Antara Pandu Indonesia yang berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia.
Baca juga: DPRD Jatim Dorong Dinkes Siapkan Langkah Preventif Antisipasi Pancaroba
Pada 1945, lahir organisasi Pandu Rakyat Indonesia melalui Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Solo. Lalu Presiden Soekarno menetapkan seluruh organisasi kepanduan di Indonesia disatukan menjadi Praja Muda Karana (Pramuka) yang diperkenalkan pada 14 Agustus 1961 di Jakarta. Tanggal itulah yang kini diperingati sebagai Hari Pramuka.
“Berbagai organisasi kepanduan yang telah membentuk Pramuka memiliki rekam jejak panjang dan positif di Indonesia, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Faktor kesejarahan yang kuat membuktikan kontribusi nyata Pramuka dalam mewarnai kehidupan bangsa, dan dengan sendirinya menjadi bukti bahwa Pramuka mampu menghasilkan generasi tangguh untuk republik ini,” jelas Deni.
“Oleh karena itu, kami berharap kepramukaan tetap menjadi ekstrakulikuler wajib di sekolah. Tentu perlu dilakukan berbagai penyempurnaan dan adaptasi terhadap tantangan zaman, tetapi jangan kemudian malah tidak diwajibkan bagi generasi penerus bangsa,” pungkas alumnus Universitas Airlangga Surabaya tersebut.