jatimnow.com - Segenap perhatian bangsa Indonesia sedang tercurah kepada apa yang kepemimpinan baru presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Begitu banyak rakyat Indonesia yang menggantungkan doa, harapan dan cita-cita terhadap pasangan yang akan memimpin Indonesia selama lima tahun kedepan.
Bahkan sebelum dilantik saja, publik disuguhi tontonan menarik, bagaimana Prabowo memanggil dan mengumpulkan para menteri, wakil menteri dan kepala badan menjadi sebuah perhatian tersendiri.
Berbagai spekulasi terjadi pada saat itu, apakah sebagian besar terdiri dari partai, atau profesionalkah? Kabinet Merah Putih menjadi jawabannya. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana para menteri ini yang akan menjadi perpanjangan tangan Prabowo-Gibran dalam mewujudkan visi dan misinya, termasuk diantaranya Astacita
Baca juga: Tarif Impor Pangan, Solusi Perkuat Keuangan Negara
Nun jauh di sana, ada sebagian besar masyarakat yang juga memiliki harapan tinggi terhadap kepemimpinan Prabowo Gibran. Salah satunya adalah industri hasil tembakau (IHT).
Ada 2 kebijakan yang sangat berdampak kepada industri hasil tembakau, yang belum sempat diputuskan pada pemerintahan Jokowi - Maruf Amin.
Kebijakan yang pertama adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, yakni kebijakan fiskal, bagaimana menentukan kenaikan cukai di tahun 2025 beserta tarif antar golongan.
Kebijakan yang kedua adalah Peraturan Menteri Kesehatan yakni aturan pelaksana Peraturan Pemerintah (PP) 28 tahun 2024.
Uniknya, kedua aturan ini akan dikeluarkan dari menteri yang saat ini kembali menjabat di era pemerintahan baru. Ini menjadi sebuah prestasi tersendiri, mungkin bisa didaftarkan ke MURI untuk menteri yang mengabdi pada 2 era pemerintahan dan tetap berada di posisinya.
Ini menjadi sebuah renungan mengapa Prabowo mempertahankan Sri Mulyani dan Budi Gunawan Sadikin untuk tetap di posisinya seperti yang saat ini?
Kalau melihat dari tolok ukur prestasi, rasanya penulis tidak akan cukup menuliskan prestasi beliau-beliaunya di dalam tulisan ini.
Ibu Sri Mulyani contohnya, mampu menavigasi keuangan negara dan menyelamatkan Indonesia dari beberapa kali jurang resesi ekonomi.
Bagaimana tidak, situasi global yang tidak menentu terjadi berawal dari perang dagang China dan Amerika, kemudian dihajar oleh Covid-19, belum juga pulih, sudah terkena dampak dari perang terbuka Ukraina dan Rusia, bahkan seperti saat ini, perang di Timur Tengah yang mana pasti berdampak kepada perekonomian global.
Bagaimana dengan Budi Gunawan Sadikin? Barangkali prestasi terbaik beliau adalah menyelesaikan UU Kesehatan nomor 17 tahun 2023. UU omnibus Kesehatan ini terdiri dari 20 bab dan 458 pasal, tebalnya sendiri mencapai 300 halaman.
Begitu super UU ini, sehingga ketika disahkan, ia langsung mencabut mandat dari 11 Undang-undang sebelumnya. Bahkan dalam pembahasannya sendiri tergolong cepat, diawali dari Februari 2023, hingga disahkan di Agustus 2023, UU setebal ini dibahas hanya dalam kurun waktu 6 bulan.
Mungkin atas dasar ini Presiden terpilih 2024-2029 meminta Budi Gunawan Sadikin untuk bisa mengawal pelaksanaan UU ini hingga tuntas.
Baca juga: Paguyuban Pemilik Warkop Surabaya Tolak Larangan Menjual Rokok Eceran
Kita kembali lagi ke industri hasil tembakau, dalam kesempatan wawancara, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI) Henry Najoan mengungkapkan bahwa terdapat 5,9 juta jiwa masyarakat di Indonesia yang bergantung kepada ekosistem produk dan industri tembakau.
Industri ini menggerakkan perekonomian dari hulu hingga hilir, mulai dari petani, buruh, pekerja industri pendukung seperti kertas, pembungkus dan perasa, hingga kepada para distributor dan pedagang kecil.
Belum lagi kontribusinya dari sisi ekonomi, menurut Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Merrijanti Punguan, IHT menyumbang cukai hingga Rp213 triliun di tahun 2023, merupakan penyumbang pendapatan negara terbesar yang ketiga. Itu kalau konteks negara.
Dalam konteks yang lebih kecil yakni lingkup provinsi, IHT menyumbang 33% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari Provinsi Jawa Timur menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto.
Kalau kita teropong pelaksanaan IHT dari kaca mata Astacita, 8 program yang dibawakan oleh pasangan Prabowo-Gibran saat kampanye, pengaturan IHT setidaknya mencakup 4 aspek Astacita.
Yang pertama adalah Astacita no 3, peningkatan lapangan kerja yang berkualitas. Sudah barang tentu IHT menyerap tenaga kerja yang sangat besar, sektor padat karya SKT misalnya, menyerap puluhan ribu perempuan sebagai ibu-ibu pelinting.
Kemudian Astacita no 5, Hilirisasi dan industrialisasi, bagaimana IHT ini menyerap ratusan ribu ton tembakau yang dihasilkan oleh sekitar 2,5 juta petani tembakau, menurut Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) K Mudi.
Lalu Astacita ke 6, membangun dari desa dan dari bawah. Sudah menjadi fakta bahwa petani tembakau seringkali berasal dari lahan marginal dan daerah yang tidak subur atau kekurangan air. Contohnya Madura, Lombok, Sebagian besar Jawa Timur dan Jawa Tengah mulai dari Blora, Purwodadi, Gunungkidul, Wonogiri, Temanggung dan Wonosobo.
Baca juga: Pengelolaan Bank Sampah dengan Sistem Informasi Manajemen Berbasis Teknologi
Bahkan desa-desa penghasil tembakau, biasanya memiliki peringkat 10 kabupaten kota termiskin di masing-masing provinsinya. Bila melihat dari daerah pabrik rokok berasal, rata-rata berada di daerah dan menjadi penopang ekonomi dari kabupaten kota tersebut.
Presiden dan Wakil Presiden terpilih pun juga mempunyai Astacita no 4, memperkuat Pembangunan SDM, Sains Teknologi, Pendidikan dan Kesehatan. Ini yang juga penting, karena IHT selalu bertentangan dengan isu Kesehatan.
Kementerian Kesehatan menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevelansi perokok turun 1.7% dari data Riskesdas 2018 akan tetapi jumlah perokok dewasa berdasarkan Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 terjadi penambahan jumlah dewasa sebanyak 8,8 juta orang dari kurun waktu 2011-2021.
Bahkan menurut data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada kurun waktu 2016-2019 angka prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik menjadi 19,2%. Merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi Kesehatan.
Begitu pentingnya saling keterkaitan isu IHT, penulis memiliki harapan bagi pemerintahan yang baru agar lebih berhati-hati dalam memutuskan kebijakan yang menentukan hidup matinya IHT.
Ibarat dua sisi koin, isu Kesehatan dan ekonomi akan selalu menjadi hal yang bertolak belakang, meski demikian, alangkah indahnya agar dalam setiap kebijakan bisa dirumuskan bersama-sama dan melibatkan kedua belah pihak, seperti para pendahulu kita yang selalu mengutamakan musyarawah untuk mencapai mufakat
Penulis: Kukuh Dwi Kristianto (Mahasiswa Program Doktoral Unair dan Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Airlangga)