jatimnow.com - Kekerasan yang dilakukan polisi terhadap para jurnalis yang sedang melakukan peliputan aksi demo menolak revisi UU TNI, jelas bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers yang dilindungi undang-undang. Tidak hanya bagi jurnalis atau lembaga pers, tetapi juga masyarakat yang berhak untuk tahu informasi terkini.
Ketua Dewan Pakar IKA Stikosa AWS, Hendro D. Laksono turut menyampaikan kecaman terhadap sikap kekerasan terhadap para jurnalis.
"Ironisnya, kekerasan ini justru terjadi, tak lama setelah Polri menyampaikan komitmen akan mengusut teror terhadap kantor media. Artinya, Polri masih belum memahami esensi di balik dua peristiwa ini," terang Hendro D. Laksono, Rabu (26/3/2025).
Baca juga: AJI Bojonegoro Sesalkan Pengeroyokan Peserta Konvoi Terhadap 2 Jurnalis
Baik dalam kasus teror di kantor media maupun kekerasan terhadap jurnalis saat meliput, kata Hendro, sejatinya sama-sama bicara tentang gagalnya perlindungan terhadap kerja jurnalis.
"Keduanya bermakna teror dan pembungkaman. Sama-sama pengkhianatan terhadap kebebasan pers," tegasnya.
Mentor jurnalistik dan media digital Surabaya ini kemudian mengingatkan bahwa kerja seorang jurnalis jelas-jelas dilindungi undang-undang.
Dalam UU No 40 tahun 1999 ditegaskan jika kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Pers nasional juga berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Pasal 8 tegas menyebutkan, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum," kata Hendro.
Baca juga: Teman Seprofesi Jadi Korban Kekerasan, Jurnalis Surabaya & Blitar Demo
Di luar itu, lanjut dia, seorang jurnalis berperan sebagai mata dan telinga masyarakat. Dengan kebebasan pers, informasi yang penting tentang kebijakan pemerintah, kondisi sosial, ekonomi, hingga isu hak asasi manusia dapat diakses oleh publik.
"Kebebasan pers adalah pilar utama dalam demokrasi dan hak asasi manusia. Tanpa pers yang bebas, masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi yang akurat, transparan, dan berimbang," terang Hendro.
Pers yang bebas nantinya juga berfungsi sebagai pengawas kekuasaan. Dengan mengungkap korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran hukum, pers membantu menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
"Di sisi lain, bicara kebebasan pers, sesungguhnya tidak semata tentang hak jurnalis, tetapi juga tentang hak masyarakat untuk tahu. Tanpa pers yang bebas, transparansi hilang, korupsi merajalela, dan demokrasi bisa runtuh," tutup Hendro.
Baca juga: Satu Pelaku Pembunuhan Wartawan di Surabaya Ditangkap
Usut Tuntas
Ketua IKA Stikosa AWS, Dian Laksana, menambahkan jika pihaknya masih terus mencari informasi terkait kasus kekerasan ini.
"Kami khawatir masih ada aksi kekerasan lain di luar yang dialami saudara Rama Indra Surya dan Wildan Pratama. Kami masih menunggu informasi lapangan saat aksi menolak Revisi UU TNI di Surabaya," ungkapnya.
Yang jelas, IKA Stikosa AWS sangat menyayangkan terjadinya insiden ini. Dian mengatakan, IKA Stikosa AWS mengecam keras setiap aksi kekerasan terhadap jurnalis terlebih yang sedang menjalankan tugas kewartawanannya.
"Kami Ikatan Alumni Stikosa AWS meminta agar kasus kekerasan terhadap jurnalis ini diusut tuntas. Kami berharap ada keseriusan dalam ucapan Kapolri terkait komitmen untuk melindungi jurnalis dalam menjalankan tugas dan pentingnya kebebasan pers dalam demokrasi," tutup Dian.