jatimnow.com - Gula merah atau gula kelapa merupakan produk yang dihasilkan dari air nira yang dimasak. Di tengah kemajuan zaman dewasa ini, tak banyak masyarakat yang mau membuat gula merah secara tradisional.
Namun tidak dengan Giyanto (61). Satu dari dua warga di Dusun Darungan, Desa Kandangan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar masih bertahan memproduksi gula kelapa dengan cara tradisional.
Di wilayah tersebut, dulunya merupakan kawasan penghasil gula kelapa terkenal se Blitar Raya. Namun kini, sudah banyak warga yang meninggalkannya karena lamanya proses pembuatan.
Baca juga: Misteri Penyebab Lubang di Dasar Sungai Kaliasat Blitar Terungkap
Sambil mengaduk adonan air nira diatas wajan besar Giyanto mengakui, proses pembuatan gula merah membutuhkan waktu lebih dari enam jam.
Bapak empat anak itu menyebut, tak sedikit warga yang pindah profesi karena selain proses produksi yang lama, gula yang dihasilkan juga tak begitu banyak.
"Ngambil legen (air nira) itu waktunya semalam. Sore manjat pohon kelapa, pasang jeriken, paginya manjat lagi ngambil jeriken yang sudah terisi terus dimasak," kata Pria yang memulai bisnisnya sejak tahun 1970 silam itu, Senin (08/10/2018).
Untuk mengubah air nira menjadi gula kelapa, Giyanto harus memasaknya di atas tungku selama empat hingga lima jam.
Baca juga: BPBD Kabupaten Blitar Selidiki Lubang Misterius di Sungai Kalisat
Air nira yang berubah warna menjadi cokelat inilah yang kemudian dicetak menggunakan batok kelapa.
Giyanto sendiri tak memaksakan anaknya untuk mahir membuat gula kelapa. Keempat anaknya lebih memilih menjadi TKI dan buruh pabrik. Hal serupa juga terjadi pada tetangga sekitarnya.
"Yang tua-tua sudah pada meninggal. Nggak ada yang nerusin lagi," kata pria berambut putih itu.
Menjadi produsen gula merah bukan berarti tanpa halangan. Kumbang kelapa atau yang disebut wawung oleh warga setempat menjadi hama pengganggu yang memusingkan warga.
Baca juga: Unisba dan Untag Surabaya Kolaborasi Atasi Masalah Sampah dengan Cara Ini
Pasalnya, kumbang akan memakan pucuk kelapa. Inilah yang membuat pohon kelapa mati.
Harga yang relatif stabil sekitar 12 ribu rupiah perkilogram inilah yang membuat Giyanto tetap bertahan meski permintaan tak begitu banyak. "Jumlahnya (permintaan) nggak banyak," pungkasnya.