jatimnow.com - Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah membawa angin segar bagi perlindungan jamaah, namun juga konsekuensi hukum yang perlu dicermati.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 124, yang berpotensi menjerat pihak-pihak yang mengajak atau memfasilitasi umrah tanpa izin resmi sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Pasal 124 berbunyi: "Setiap orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran jemaah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan/atau pidana denda paling banyak kategori VI."
Kabid Litbang Amphuri, Ulul Albab, menjelaskan bahwa frasa "setiap orang" dan "tanpa hak" dalam pasal ini memiliki cakupan yang luas.
"Siapa pun, dalam bentuk apa pun, jika bukan PPIU resmi, tidak berhak menyentuh dana jamaah," tegasnya.
Menurut Ulul, makna "tanpa hak" merujuk pada ketiadaan dasar kewenangan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Hanya PPIU yang memiliki izin resmi dari Kementerian Agama yang berwenang menghimpun dana jamaah.
Baca juga: Polemik Umrah Mandiri, Amphuri Ungkap Dampak Negatif bagi PPIU
Aktivitas seperti mengumpulkan iuran, menampung dana di rekening pribadi, menjadi perantara pembayaran tiket, atau mengkoordinasi keberangkatan kelompok tanpa izin PPIU, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
"Pihak yang berpotensi terkena pasal ini sangat luas: individu yang mengajak jamaah umrah secara kolektif, panitia pengajian yang membuka pendaftaran 'rombongan umrah', influencer yang menawarkan 'umrah bareng', biro wisata non-PPIU yang menjual paket umrah, hingga platform daring yang memfasilitasi pembayaran langsung tanpa kontrak resmi dengan PPIU," jelas Ulul.
Baca juga: Umrah Mandiri, Jangan Nekat! Ini Risiko yang Wajib Anda Tahu
Ulul menegaskan bahwa Pasal 124 lahir untuk melindungi jamaah dari penipuan dan kebocoran dana. Namun, ia juga mengingatkan bahwa pasal ini berpotensi menimbulkan salah tafsir.
"Misalnya, seseorang yang bermaksud membantu tetangganya mengurus tiket atau visa bisa saja tanpa sadar memasuki wilayah hukum yang dilarang," ujarnya.
Oleh karena itu, Ulul menuturkan pentingnya edukasi publik dan sosialisasi yang proporsional agar semangat perlindungan jamaah tidak berubah menjadi kriminalisasi yang berlebihan.
Terkait isu "umrah mandiri" yang dilegalkan dalam UU ini, Ulul meluruskan bahwa "mandiri" dalam konteks hukum tidak berarti bebas dari regulasi. Jika seseorang melaksanakan umrah untuk dirinya sendiri tanpa melibatkan pihak lain, itu sah.
Baca juga: Amphuri Tolak Umrah Mandiri, RUU Haji Bermasalah?
Namun, jika mulai mengajak, mengkoordinasi, atau memfasilitasi keberangkatan orang lain, maka peran itu sudah masuk ranah penyelenggaraan, yang diatur ketat dan harus berizin.
"Bagi siapapun yang berinisiatif mengelola keberangkatan jamaah, perlu dipastikan memiliki izin PPIU yang sah. Sebab, antara 'mengajak ibadah' dan 'menyelenggarakan ibadah' dalam hukum, beda tipis tapi konsekuensinya besar," tegasnya.
Ulul Albab mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dan tidak mudah tergoda dengan ajakan umrah "lebih murah" atau "lebih cepat", apalagi bila dilakukan oleh pihak tanpa izin resmi.
"Dalam sistem hukum yang baru ini, dari tiket umrah, seseorang bisa berpindah cepat ke tiket masuk bui, jika salah langkah," pungkasnya.