jatimnow.com - Fenomena kritik terhadap lingkungan pesantren kembali ramai di media sosial dalam beberapa pekan terakhir. Sebagian kritik dipicu oleh munculnya perilaku oknum yang mengatasnamakan keturunan kiai yang populer disebut “gus-gusan” hingga kasus potongan video tokoh pesantren yang dipelintir dan memantik reaksi publik.
Di tengah situasi tersebut, Pengasuh Pondok Pesantren Al Amiroh Canga’an Bangil, Pasuruan, KH Kholil Kholili, mengajak pesantren untuk menyikapi kritik publik dengan dewasa dan proporsional.
Cucu Syaikhona Kholil, yang akrab disapa Gus Kholili itu menilai bahwa kritik masyarakat tidak boleh langsung direspons dengan kemarahan berlarut-larut.
Baca juga: Gelar Pahlawan Nasional Untuk Syaichona Kholil, NasDem Apresiasi Pemerintah
Menurutnya, pesantren yang telah mengakar ratusan tahun di Indonesia memiliki tradisi intelektual yang kuat, termasuk budaya menerima nasihat, musabah (introspeksi), dan evaluasi diri.
“Banyak sekali gus-gusan yang problematik. Saya mengakui itu sebagai insan pesantren. Karena itu kritik konstruktif dari masyarakat penting agar lingkungan pesantren berbenah,” ujar Gus Kholili, usai menerima penghargaan “Tokoh Muda Nahdliyin Inspiratif 2025 dari Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN), di Surabaya, Sabtu (15/11) malam.
Dalam studi sosial keagamaan, institusi pesantren telah lama dipandang sebagai pusat pendidikan karakter. Karena itu, kata Gus Kholili, pesantren harus tampil sebagai teladan, terutama dalam merespons isu-isu yang berkembang secara viral.
Marah Boleh, Berlebihan Jangan
Gus Kholili memahami respons emosional masyarakat pesantren terhadap konten yang dianggap merugikan citra kiai atau lembaga. Namun ia menegaskan agar reaksi tersebut tidak melewati batas.
“Aksi teman-teman pesantren kemarin saya kira perlu. Tapi kalau berlarut-larut akan menjadi overreact dan membuat insan pesantren lupa dengan introspeksi yang harusnya dilakukan,” tuturnya.
Pakar media digital pendidikan Islam, dalam berbagai riset tahun 2020–2023, juga menyebut fenomena overreaction di ruang digital seringkali justru menguntungkan pihak yang memprovokasi, karena memperluas jangkauan konten negatif. Karena itu reaksi terukur dan kontekstual sangat dibutuhkan.
Salah satu kasus yang banyak mendapat sorotan adalah penyebaran potongan video Kiai Anwar Mansur, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Video tersebut diambil sepotong dan diberi narasi yang tidak sesuai konteks.
Sebagai alumni yang 10 tahun nyantri di Lirboyo”, Gus Kholili menegaskan bahwa framing tersebut tidak mencerminkan karakter asli sang kiai.
“Selama saya di Lirboyo, beliau itu sederhana, istiqamah ngaji, istiqamah mengajar, dan tidak pernah mengusik orang. Video yang dipotong tanpa penelitian atau pengamatan antropologis itu adalah kejahatan besar,” tegasnya.
Menurutnya, reaksi alumni Lirboyo yang turun merespons framing tersebut masih tergolong wajar. Namun ia kembali mengingatkan agar langkah yang diambil tetap elegan dan tidak berkepanjangan.
Harus diakui, merespons kritik yang viral memang tidak mudah, terutama ketika reputasi kiai atau pesantren dipertaruhkan. Namun Gus Kholili menegaskan bahwa pesantren harus tetap mengedepankan akhlak, kesabaran, dan kedalaman ilmu, tanpa kehilangan ketegasan.
Pendekatan matang semacam ini dinilai para peneliti sebagai strategi paling efektif meredam hoaks dan distorsi digital yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun.
Dalam banyak literatur modern tentang pendidikan Islam, pesantren yang adaptif terhadap kritik terbukti lebih cepat berkembang. Gus Kholili berharap momentum kritik publik hari ini menjadi ruang berbenah, bukan sekadar arena konflik emosional.
Ia juga mengapresiasi dukungan berbagai pihak, termasuk jurnalis Nahdliyin yang ikut menjaga marwah pesantren di tengah derasnya arus informasi digital.
Baca juga: FJN Apresiasi Kaji Beky, Santri Gus Iqdam yang Ulet dan Dermawan
“Terima kasih kepada teman-teman Forkom Jurnalis Nahdliyin. Saya bangga dan terhormat. Semoga FJN terus menggawangi isu-isu penting di kalangan NU,” ujarnya.
Penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Syaikhona Kholil
Dalam kesempatan ini, Gus Kholili juga menyampaikan rasa syukur atas dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Menurutnya, penghargaan tersebut bukan hanya untuk keluarga besar, melainkan bentuk pengakuan negara terhadap peran pesantren.
“Penghargaan untuk beliau adalah penghargaan terhadap pesantren, terhadap Nahdlatul Ulama, dan semua kaum muslim di Indonesia. Beliau itu layak disebut Bapak Pesantren Indonesia,” kata Gus Kholili.
Sementara itu, Ketua Umum Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN), Muhamad Didi Rosadi atau yang akrab disapa Diday, memberikan apresiasi atas pandangan moderat dan elegan yang disampaikan Gus Kholili. Menurutnya, sikap tersebut mencerminkan kedewasaan intelektual pesantren yang sudah semestinya menjadi rujukan publik.
“Apa yang disampaikan Gus Kholili sangat penting di tengah situasi digital yang penuh distorsi. Beliau menunjukkan bahwa pesantren bisa merespons kritik tanpa kehilangan marwah, tanpa reaksi berlebihan, tetapi tetap tegas menjaga kehormatan para kiai,” ujar Diday.
Diday menilai, suara-suara dari tokoh muda pesantren seperti Gus Kholili sangat dibutuhkan untuk meredam ketegangan dan memberi arah yang lebih sehat bagi ekosistem informasi keislaman.
Baca juga: Dakwah di Era Digital, Gus Iqdam: Konten Positif Bisa Jadi Amal Jariyah
“Gus Kholili memberi contoh bagaimana kritik dijadikan ruang refleksi, bukan bahan permusuhan. Ini selaras dengan nilai-nilai pesantren yang mencintai ilmu, ketenangan, dan hikmah,” tambahnya.
Ia juga menegaskan bahwa FJN akan terus berada di garda depan untuk menjaga kualitas informasi, melawan disinformasi yang menyasar tokoh dan lembaga pesantren, serta memperkuat literasi digital di kalangan Nahdliyin.
“Kita ingin memastikan pesantren tidak menjadi korban framing. FJN berdiri untuk menjaga objektivitas, mendukung kiai, sekaligus mendorong ruang dialog yang sehat. Sikap Gus Kholili menjadi inspirasi bagi jurnalis Nahdliyin di seluruh Indonesia,” tegas Diday.
Dengan dukungan tokoh-tokoh pesantren dan jurnalis, ia berharap ke depan setiap kritik yang muncul di ruang digital dapat diperlakukan secara proporsional sehingga pesantren tetap menjadi ruang intelektual yang matang sekaligus adaptif terhadap perubahan zaman.
Sebagaimana diketahui, penghargaan Tokoh Muda Nahdliyin Inspiratif merupakan agenda tahunan Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN). Penghargaan dirilis pada momen Hari Santri. Tahun ini, FJN memberikan apresiasi kepada 16 tokoh muda NU.
"Apresiasi ini murni dari kawan-kawan FJN kepada figur Nahdliyin yang rekam jejak dan karyanya bisa menginspirasi generasi muda," tandas Diday.
Untuk kriteria utama dalam menentukan figur dilakukan secara kolektif dan independen oleh internal FJN. Syaratnya adalah tentu merupakan seorang Nahdliyin yang asuk kategori muda atau penggerak pemuda dan diversifikasi independen dan imparsial.
Bahkan tidak ada komunikasi yang kami lakukan dengan figur-figur yang menjadi nominator sampai diumumkan.