Pixel Code jatimnow.com

Foto: Api Biru di Balik Nyala Kain Tenun Ikat Bandar Kidul Kediri

Ekonomi 5 jam yang lalu
Zuhrotul Azizah (22) memasukkan benang pakan ke teropong ATBM, alat untuk mengisi celah antar benang lungsi. Dia membuat kain ungu motif Wajik khas Kediri yang menyala berkat pewarnaan sempurna dari api biru LPG. (Foto-foto: Yanuar Dedy/jatimnow.com)
Zuhrotul Azizah (22) memasukkan benang pakan ke teropong ATBM, alat untuk mengisi celah antar benang lungsi. Dia membuat kain ungu motif Wajik khas Kediri yang menyala berkat pewarnaan sempurna dari api biru LPG. (Foto-foto: Yanuar Dedy/jatimnow.com)

jatimnow.com - Api biru yang dihasilkan melalui pembakaran sempurna Liquefied Petroleum Gas (LPG) membuat kain tenun ikat Bandar Kidul, Kota Kediri, semakin menyala terang. Seiring transisi energi yang dilakukan para perajin dua dekade terakhir, ekonomi di kampung ini terus tumbuh. Tak lagi padam meski sempat dihantam badai Covid-19.

Gapura penanda masuk Kampung Tenun Ikat di Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Di salah satu sisi tiang terdapat keterangan 14 proses pembuatan tenun ikat untuk bekal informasi masyarakat.Gapura penanda masuk Kampung Tenun Ikat di Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Di salah satu sisi tiang terdapat keterangan 14 proses pembuatan tenun ikat untuk bekal informasi masyarakat.

Dulu, asap kayu bakar menjadi aroma khas di setiap rumah perajin tenun ikat di Bandar Kidul, Kota Kediri. Di antara rumah-rumah sederhana, tungku tradisional menyala setiap hari menandai kesibukan para penjaga tradisi. Kini, bau asap itu hilang, digantikan suara desis lembut api biru dari LPG yang berpadu dengan denting ritmis Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Perubahan sederhana yang membawa dampak sangat luar biasa.

Syaifudin Zuhri (37) sedang menuang air ke dalam panci tanggung di atas kompor gas satu tungku berbahan bakar LPG 3 kilogram untuk direbus. Air panas ini digunakan untuk mencampur zat pewarna benang. Panas stabil dari pembakaran yang sempurna menjadikan warna lebih kuat dan menyala.Syaifudin Zuhri (37) sedang menuang air ke dalam panci tanggung di atas kompor gas satu tungku berbahan bakar LPG 3 kilogram untuk direbus. Air panas ini digunakan untuk mencampur zat pewarna benang. Panas stabil dari pembakaran yang sempurna menjadikan warna lebih kuat dan menyala.

Syaifudin Zuhri (37) sedang menuang air rebusan ke ember. Asap yang terlihat saat air dituang ini menandakan kematangan sempurna. Panas yang lebih lama ia butuhkan untuk proses pencelupan yang maksimal.Syaifudin Zuhri (37) sedang menuang air rebusan ke ember. Asap yang terlihat saat air dituang ini menandakan kematangan sempurna. Panas yang lebih lama ia butuhkan untuk proses pencelupan yang maksimal.

Di salah satu gerai tertua saat ini, Medali Mas milik Siti Ruqoyah (56), Syaifudin Zuhri (37) tengah melakukan proses pencelupan atau pewarnaan benang. Ini tahap pertama dalam pembuatan lungsi atau benang yang membujur membentuk garis vertikal dan diam di alat tenun, sekaligus bagian yang sangat penting dari 10 rangkaian pembuatan umpan atau benang yang melintang dan disisipkan di antara lungsi yang membentuk kain.

Zuhri ingat betul saat masih menggunakan kayu bakar. Sebelum 2017, tiga sampai empat tahun awal dia bekerja, proses pencelupan berlangsung cukup lama karena bara yang tidak stabil. Belum lagi proses menyalakan api yang tidak bisa dilakukan dengan sekali putar seperti tuas kompor gas.

“Selisihnya ya setengah jam, padahal sehari membutuhkan 10 lebih perebusan. Seperti hari ini, rencana ada 14 hingga 16 kali perebusan. Belum lagi proses menyalakan api yang lama, kayu bakar itu tidak bisa langsung menyala. Kadang kayunya basah, itu lebih sulit lagi. Jadi dulu produksinya memang terbatas,” kata Zuhri, mengawali ceritanya, pada awal Oktober lalu.

Syaifudin Zuhri (37) sedang melakukan pencelupan benang ke air panas. Menurutnya, panas dari api kayu bakar tidak berlangsung lama sejak dituang, membuat warna tidak benar-benar meresap.Syaifudin Zuhri (37) sedang melakukan pencelupan benang ke air panas. Menurutnya, panas dari api kayu bakar tidak berlangsung lama sejak dituang, membuat warna tidak benar-benar meresap.

Salah satu jenis zat pewarna yang mereka gunakan, menurut Zuhri, memang memerlukan air dengan panas yang stabil. Sementara air hasil rebusan kayu bakar dirasanya lebih cepat dingin usai dituang ke ember karena proses pembakarannya yang tidak sempurna. Ditambah asap yang mengepul, sering kali mengganggu pekerja lain yang juga melakukan aktivitas di sana.

Arjun Nafi’a (22), adik Zuhri, sedang melakukan tahap skeer atau menggulung benang di boom. Tahap ketiga dari pembuatan lungsi ini dilakukan Arjun tak jauh dari aktivitas pencelupan. Kini bebas dari asap kayu bakar.Arjun Nafi’a (22), adik Zuhri, sedang melakukan tahap skeer atau menggulung benang di boom. Tahap ketiga dari pembuatan lungsi ini dilakukan Arjun tak jauh dari aktivitas pencelupan. Kini bebas dari asap kayu bakar.

Sukoco (38) sedang melakukan pemintalan benang, tahap sebelum proses penenunan. Benang yang dipintal menggunakan besi kecil ini kemudian dipasang di Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) untuk membentuk umpan.Sukoco (38) sedang melakukan pemintalan benang, tahap sebelum proses penenunan. Benang yang dipintal menggunakan besi kecil ini kemudian dipasang di Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) untuk membentuk umpan.

Sukoco (38) sedang melakukan penenunan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Tahap ini juga dilakukan dalam satu lokasi bersama pencelupan.Sukoco (38) sedang melakukan penenunan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Tahap ini juga dilakukan dalam satu lokasi bersama pencelupan.

Sebelum memiliki tiga tempat produksi, hampir seluruh proses pengerjaan dilakukan di bagian belakang rumah yang berada di Jalan KH Agus Salim Gg. 8 Nomor 54C, Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, kecuali desain yang hingga saat ini masih dikerjakan oleh Siti Ruqoyah di dalam rumah, seperti skeer atau menggulung benang di boom, grayen atau menyambung benang, hingga proses tenun.

“Dulu asapnya ke mana-mana. Polusi, padahal semua pekerja ya kumpulnya di sini, mengganggu banget pasti,” kenang Zuhri tertawa.

Nuraini (35) sedang merebus zat pewarna yang akan digunakan untuk proses colet atau pemberian warna kombinasi. Ini juga memerlukan pengapian sempurna agar warna kombinasi berpadu sempurna dengan warna utama. Dulu prosesnya juga dilakukan dengan kayu bakar yang asapnya bisa memenuhi ruangan.Nuraini (35) sedang merebus zat pewarna yang akan digunakan untuk proses colet atau pemberian warna kombinasi. Ini juga memerlukan pengapian sempurna agar warna kombinasi berpadu sempurna dengan warna utama. Dulu prosesnya juga dilakukan dengan kayu bakar yang asapnya bisa memenuhi ruangan.

Di sisi lain, istrinya, Nuraini, tengah menyiapkan pewarna untuk proses colet atau pemberian warna kombinasi. Menghadap rumus rahasia pada kertas yang ditempel di tembok, campuran zat pewarna itu ia panaskan di atas kompor gas satu tungku, dalam kaleng berwarna cokelat dari jajanan Nabati yang mereka yakini lebih kuat. Colet merupakan tahap keenam dalam pembuatan umpan atau pakan. Proses ini juga memerlukan pengapian. Pengerjaan yang sering kali bersamaan membuat asap makin memenuhi ruangan.

“Ini juga dulu pakai kayu bakar. Sekarang pakai gas lebih cepat,” katanya. Masa kerja Nuraini lebih lama dari Zuhri, 14 tahun. Dia mengalami transisi dari kayu bakar ke minyak tanah hingga saat ini LPG. Dia akui memang dampaknya sangat luar biasa.

Yani (45) sedang melakukan tahap reek atau menata benang di bidangan. Tahap kedua dari pembuatan umpan atau pakan ini juga dilakukan di tempat yang sama, lebih dekat dengan aktivitas Nuraini yang merebus zat pewarna.Yani (45) sedang melakukan tahap reek atau menata benang di bidangan. Tahap kedua dari pembuatan umpan atau pakan ini juga dilakukan di tempat yang sama, lebih dekat dengan aktivitas Nuraini yang merebus zat pewarna.

Selain lebih cepat dan sehat, pemakaian LPG juga membawa perubahan secara ekonomi. Perajin tak perlu repot-repot lagi membeli kayu setiap minggu. Dengan satu tabung gas, mereka bisa mewarnai beberapa batch kain. Efisiensi waktu membuat mereka bisa menambah produksi dan memenuhi permintaan lebih cepat.

Siti Ruqoyah (56) sedang membuat desain pesanan seragam untuk siswa SD dan SMP di Kota Kediri 2026. Dia merupakan generasi tertua di Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri, saat ini yang masih aktif. Siti meneruskan suaminya, Munawar, yang memilih istirahat.Siti Ruqoyah (56) sedang membuat desain pesanan seragam untuk siswa SD dan SMP di Kota Kediri 2026. Dia merupakan generasi tertua di Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kota Kediri, saat ini yang masih aktif. Siti meneruskan suaminya, Munawar, yang memilih istirahat.

Desain Wajik Tirto khas Kota Kediri, pesanan seragam untuk siswa SD dan SMP di Kota Kediri 2026, tengah dikerjakan oleh Siti Ruqoyah.Desain Wajik Tirto khas Kota Kediri, pesanan seragam untuk siswa SD dan SMP di Kota Kediri 2026, tengah dikerjakan oleh Siti Ruqoyah.

“Kayu bakar dulu ya mahal. Ada murah kalau mau cari di wilayah gunung sana, tapi kan ya jauh, waktu (terbuang). Belum lagi kalau basah. Kemudian akhir-akhir itu kan langka, sempat beralih ke minyak, lalu berubah ke LPG melon itu di zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), 2007 kalau enggak salah ya,” terang Siti sambil tangan ajaibnya mengerjakan desain Wajik Tirto, pesanan seragam untuk siswa SD dan SMP di Kota Kediri 2026 nanti.

“Menggunakan kayu bakar dan LPG selisihnya 50 persen. Ya, misal kayu bakar Rp10 ribu, LPG cuma Rp5 ribu. Kita sebulan habis 12 tabung melon, kita juga pakai yang pink itu (Bright Gas),” tambahnya.

Ruqoyah paham, meski secara aturan UMKM berhak menggunakan subsidi ini, perlahan beralih ke LPG nonsubsidi adalah keniscayaan. Usahanya terus tumbuh, ada banyak yang lebih berhak menggunakan tabung LPG yang disalurkan oleh Pertamina tersebut.

Tak hanya efektif, panas yang stabil dari api biru LPG 3 kilogram atau Bright Gas juga semakin menghidupkan warna wastra yang pernah dikenakan Jokowi saat menjabat sebagai Presiden Indonesia dalam pembukaan Trade Expo Indonesia (TEI) ke-37 pada Oktober 2022. Jokowi tampak berkarisma dengan balutan kemeja berwarna cokelat, hasil kolaborasi perajin tenun ikat Bandar Kidul dengan desainer nasional Wignyo Rahadi.

“Ya kayak kita membuat kue itu, kan pengembangannya harus sempurna, kain juga begitu. Dengan panas yang stabil, warna itu jadi lebih kuat,” terang Siti.

Siti juga masih ingat, saat itu dia hanya memiliki sekitar 4–5 ATBM dengan produksi yang sangat terbatas. Lalu bertambah seiring transisi energi yang memangkas biaya produksi dan waktu pengerjaannya. Kini dia memiliki 50 alat yang aktif dioperasikan.

Dampak lingkungan pun terasa. Tidak ada lagi tumpukan abu kayu atau sisa pembakaran. Saat ini ada sekitar 15 perajin yang masih bertahan. Dulu, kata Siti, jumlahnya lebih banyak. Bayangkan, ketika seluruh perajin menggunakan kayu bakar, polusi asap tentu sangat mengganggu warga di kampung padat penduduk tersebut. Limbah juga menumpuk.

“Ya sekarang kampung jadi lebih bersih. Semua sudah beralih ke LPG sekarang,” kata Siti yang masih sangat bersemangat. Kini, pasca pandemi Covid-19, Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul Kota Kediri kembali pulih. Beruntung anak pertamanya, Yusna Qurrota A’yun (32), bersedia mengikuti jejaknya. Pesanan yang mulai ramai mereka tanggung berdua.

“Alhamdulillah ini mulai ramai lagi setelah Covid-19. Teman-teman juga ramai. Ini lagi ada pesanan 12.000 potong seragam SD dan SMP di Kota Kediri, kita kerjakan sama-sama semua perajin di sini,” terangnya lega.

Dalam skala kecil, apa yang dilakukan perajin menjadi cermin nyata transisi energi di tingkat masyarakat. Mereka mungkin tak bicara soal decarbonization atau target emisi nasional, tapi langkah kecil mereka adalah bagian dari perjalanan menuju energi bersih yang berkelanjutan.

Pemberdayaan Ekonomi Warga Sekitar

Siti Ruqoyah dan belasan teman-teman perajin juga turut dalam pemberdayaan ekonomi warga sekitar. Siti saja kini memiliki sekitar 50 pekerja yang mayoritas adalah ibu-ibu di Bandar Kidul, Kota Kediri. Di antaranya bahkan telah bekerja untuk dirinya selama bertahun-tahun.

Mira (35) sedang menenun di gerai kedua Medali Emas. Dia sudah bekerja sejak tahun 2000-an. Dia cukup senang bisa membantu ekonomi keluarga. Suaminya bekerja sebagai kuli bangunan.Mira (35) sedang menenun di gerai kedua Medali Emas. Dia sudah bekerja sejak tahun 2000-an. Dia cukup senang bisa membantu ekonomi keluarga. Suaminya bekerja sebagai kuli bangunan.

Seperti Mira, dia telah bekerja selama 11 tahun di sana. Fokus menghadap ATBM di gerai kedua Medali Mas yang dikelola Yusna, tangannya sudah cukup terampil menenun kain-kain cantik yang sempat bikin Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri jatuh cinta. Dia juga memborongnya saat berkunjung ke sana.

Sehari dalam delapan jam kerja, dia mampu menyelesaikan satu setengah potong kain berukuran panjang 2,5 meter dan lebar 90 sentimeter itu. Tangannya mendorong sekuat tenaga balok dada, bergerak selaras dengan kakinya yang menghentak pedal bergantian. Sementara matanya terus memandang tajam umpan yang dibawa teropong dan memastikannya tetap berbaris rapat.

Dengan satu hari libur, seminggu dia mampu menyelesaikan 6–7 potong dan mendapatkan upah hingga Rp350 ribu. Nilai yang relatif cukup untuk hidup di Kediri. Dia sangat bersyukur bisa membantu ekonomi keluarganya. Suaminya bekerja sebagai kuli bangunan.

Mira (35) sedang beristirahat bersama para perajin lain dan menyantap bekal hari itu, nasi lodeh. Suasana tampak hangat, diisi guyonan dan obrolan tidak penting.Mira (35) sedang beristirahat bersama para perajin lain dan menyantap bekal hari itu, nasi lodeh. Suasana tampak hangat, diisi guyonan dan obrolan tidak penting.

“Sudah 11 tahun,” kata Mira saat sedang beristirahat sambil menyantap bekal nasi lodeh bersama lima wanita tangguh lainnya. Di antaranya ada Zuhrotul Azizah (22), yang baru bergabung tiga tahun lalu. Dia mengaku jatuh cinta dengan proses kreatif pembuatan kain tenun yang juga pernah dipakai oleh aktor asal Korea, Song Kang.

Umaha Tikum (53) sedang melakukan tahap pengikatan di rumahnya, tak jauh dari gerai Medali Mas 1. Pekerjaan ini sudah ia lakukan sejak lama. Dia lebih nyaman mengerjakan tahap ini daripada menenun. Di rumah, dia juga bisa sambil mengurus keluarga.Umaha Tikum (53) sedang melakukan tahap pengikatan di rumahnya, tak jauh dari gerai Medali Mas 1. Pekerjaan ini sudah ia lakukan sejak lama. Dia lebih nyaman mengerjakan tahap ini daripada menenun. Di rumah, dia juga bisa sambil mengurus keluarga.

Detil pekerjaan Umaha Tikum (53). Kerumitan desain ini yang menentukan upah yang ia terima, mulai dari Rp40–60 ribu. Saat ini, dia menjadikan pekerjaan tersebut satu-satunya seiring upah yang meningkat.Detil pekerjaan Umaha Tikum (53). Kerumitan desain ini yang menentukan upah yang ia terima, mulai dari Rp40–60 ribu. Saat ini, dia menjadikan pekerjaan tersebut satu-satunya seiring upah yang meningkat.

Ada juga Umaha Tikum (53), yang mengabdi di Medali Mas lebih lama lagi. Tapi dia tidak bekerja bersama Mira, Azizah, dan teman-teman lainnya. Ibu tiga anak itu membawa pekerjaannya mengikat benang pulang ke rumah yang hanya berjeda dua rumah dari Medali Mas 1. Semua dia kerjakan sembari tetap mengurus anaknya yang terakhir, yang masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar (SD). Bagi dia, penghasilan ini sangat besar. Sempat hanya menjadikannya pekerjaan sampingan, kini seiring pertumbuhan Medali Mas, dia merelakan waktunya seutuhnya untuk turut menjaga tradisi ini.

“Dulu hanya sampingan. Sekarang ini saja, karena sekarang satu ini, istilahnya satu bak ya, itu Rp40–60 ribu, tergantung desain. Kalau rapat begitu ya Rp60 ribu. Sangat cukup. Nanti selesai satu bak dikumpulin, langsung diberi (bak) lagi sama Bu Siti,” ujar Umaha.

Pernyataan Umaha kembali menegaskan hidupnya Kampung Tenun Ikat ini. Para pekerja mendapatkan upah yang semakin layak, imbas ongkos produksi yang berhasil ditekan dan permintaan pasar yang semakin meningkat seiring kain tenun ikat yang semakin memesona karena warnanya. Umaha sukses membantu suaminya yang bekerja sebagai sopir untuk menguliahkan putra-putrinya.

Deretan kain tenun ikat Bandar Kidul karya para perajin Medali Mas. Tampak semakin memesona dengan tahapan yang sempurna, didukung tangan-tangan terampil dan kreatif.Deretan kain tenun ikat Bandar Kidul karya para perajin Medali Mas. Tampak semakin memesona dengan tahapan yang sempurna, didukung tangan-tangan terampil dan kreatif.

Semangat para perajin di Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul, Kediri, ini sejalan dengan komitmen Pertamina untuk menghadirkan energi yang terjangkau, aman, dan berkelanjutan untuk masyarakat, termasuk UMKM.

Area Manager Communication, Relations and CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus, Ahad Rahedi, juga menjamin pasokan LPG ini cukup untuk kebutuhan harian masyarakat, khususnya di Kota Kediri yang mencapai 17.920 tabung. Pihaknya juga aktif menggelontor tambahan secara fakultatif pada momen-momen tertentu, seperti hari besar keagamaan. Pengawasan pun dilakukan secara ketat untuk memastikan penyaluran berjalan lancar.

“Kami pastikan pasokan LPG tetap aman untuk masyarakat. Untuk menghadapi lonjakan permintaan masyarakat di momen-momen tertentu, kami juga melakukan mitigasi melalui penyaluran fakultatif di luar penyaluran reguler,” kata Ahad.

Tumpukan tabung LPG 3 kilogram di sudut tempat produksi kain tenun ikat Medali Mas.Tumpukan tabung LPG 3 kilogram di sudut tempat produksi kain tenun ikat Medali Mas.

Terkait pergeseran konsumsi LPG 3 kilogram ke Bright Gas oleh para UMKM, Ahad melihat ini sebagai hal yang positif. Bukan hanya di Kediri, UMKM mitra binaan Pertamina di sejumlah daerah juga mulai sadar.

“Jadi gini, kita melihat bahwa pelaku UMKM dan juga penerima manfaat program CSR Pertamina itu sudah sadar betul. Bagian dari memberikan kontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah juga tidak mengambil barang-barang atau tidak menggunakan barang-barang subsidi, hak masyarakat yang tidak mampu,” terang Ahad.

“Jadi kami mengapresiasi mindset yang sudah betul di mitra-mitra binaan kami, bahwa dengan target utama para pelaku UMKM mencari untung atau profit, tentunya kalau masih menggunakan produk-produk subsidi di satu sisi akan timpang,” pujinya.

Pihaknya pun memberikan kemudahan-kemudahan untuk pelaku UMKM bisa pelan-pelan bergeser ke produk nonsubsidi. Seperti fasilitas trade-in, kemudahan untuk mendapatkan produk, hingga layanan antar sampai ke lokasi produksi.

“Pasti ada kemudahan-kemudahan yang kami siapkan untuk para pelaku usaha, apalagi UMKM ya. Memang untuk beralih dari produk subsidi ke nonsubsidi pasti berat karena faktor perhitungan ongkos produksi dan lain-lain. Tapi kami menyiapkan kelebihan-kelebihan seperti fasilitas trade-in, kemudahan untuk mendapatkan produk, layanan antar sampai ke lokasi produksi. Itu akan mempermudah masyarakat untuk menjalankan produksi UMKM-nya,” tandasnya.

Yusna Qurrota A’yun (32), anak pertama dari Siti Ruqoyah berfoto di depan deretan kain tenun ikat di gerainya yang memesona. Dia memegang kain dengan motif khas Kota Kediri, Salur Tirto, berwarna merah yang dihasilkan dari air panas dengan pembakaran sempurna menggunakan LPG. Terlihat sangat tajam dan menyala.Yusna Qurrota A’yun (32), anak pertama dari Siti Ruqoyah berfoto di depan deretan kain tenun ikat di gerainya yang memesona. Dia memegang kain dengan motif khas Kota Kediri, Salur Tirto, berwarna merah yang dihasilkan dari air panas dengan pembakaran sempurna menggunakan LPG. Terlihat sangat tajam dan menyala.

Selain Pertamina melalui pasokan energi yang berkualitas dan terjangkau, Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul juga tumbuh berkat dukungan dari Pemerintah Kota Kediri dan Bank Indonesia. Tak hanya edukasi dan bantuan alat, Pemkot Kediri bersama BI juga membuka akses pasar yang lebih luas lewat pameran seperti FESyar, Karya Kreatif Indonesia (KKI), dan Karya Kreatif Mataraman (KKM). Tenun Bandar Kidul juga tampil di Dhoho Street Fashion hingga Jakarta Fashion Trend. Dari ajang-ajang itu, kain lokal mulai dilirik kurator mode dan pembeli premium.