jatimnow.com - Lima Alquran dan sejumlah naskah-naskah yang bertema Islam kuno dipamerkan di Banyuwangi. Pameran ini digelar oleh Komunitas Pegon.
Rata-rata naskah yang dipamerkan berusia lebih dari seabad. Hal ini terlihat dari jenis kertasnya yang terbuat dari kertas dluwang dan kertas Eropa. Bentuk kertasnya juga telah tua dan rapuh.
"Dari jenis kertasnya bisa diketahui usianya. Seperti dari watermark kertasnya. Dari sana bisa diketahui usianya. Setidaknya lebih dari satu abad," terang Founder Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro, Jumat (24/5/2019).
Baca juga: Pemkab Mojokerto Beri Beasiswa 57 Penghafal Al Quran
Salah satu yang memiliki identitas lengkap adalah mushaf yang didapat dari koleksi almarhum KH. Saleh Syamsudin Lateng (w. 1951). Dalam naskah tersebut terdapat kolofon yang menyebutkan selesai ditulis pada Jumadil Akhir 1282 H atau sekitar 1860 M.
Baca juga: Subhanallah, 9 Tahun Nenek di Mojokerto Hafalkan Alquran 30 Juz
"Penulisnya adalah Mas Ahmad bin Mas Mangun Sastra Banyuwangi. Dari namanya terlihat jika beliau orang lokal," terang Ayung.
Lebih jauh Ayung membandingkannya dengan Alquran kuno Banyuwangi yang kini disimpan di Perpustakaan Nasional Malaysia. Penulisnya adalah Mas Khalifah Ibnu al-Habib al-Masfuh Banyuwangi yang dari namanya terlihat keturunan Arab. Ditulis pada 6 Jumadits Tsani 1221 H atau sekitar 1806 M.
Baca juga: Warung Makan di Kota Probolinggo ini Gratiskan Buka Puasa Penghafal Al Quran
"Pada awal abad 19, penulis Alquran di Banyuwangi masih dari keturunan Arab. Baru 60 tahun kemudian ada penulis lokal," ungkap Ayung.
Hal tersebut, papar penulis buku Kronik Ulama Banyuwangi itu, sesuai dengan perkembangan Islam di Banyuwangi. Dalam catatan Y.W. De Stoppelaar, Blambangansch Adatrech (1926), agama Islam menjadi mayoritas di Banyuwangi baru pada 1840 ke atas.
"Seiring mayoritasnya umat Islam di Banyuwangi, pendidikan Islam pun meningkat. Hingga melahirkan para penulis Alquran dari Banyuwangi sendiri," urai Ayung.
Tak hanya pameran Alquran kuno. Pada kesempatan tersebut juga dilakukan pentashihan (koreksi) Alquran kuno oleh para hafidz (penghafal Alquran) yang mengajar di SMP Unggulan Al-Anwari. Hal ini untuk memastikan akurasi Alquran kuno yang ditulis tangan tersebut.
"Kita bandingkan dengan Alquran yang telah ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alquran (LPMQ) Kementerian Agama Republik Indonesia," ujar salah satu tim pentashih, Ustaz Afifi.
Sebagaimana diketahui, LPMQ baru terbentuk pada 1957. Baru setelah itu, Alquran di Indonesia mengalami standarisasi.
"Dari pembacaan kita, memang ada sejumlah kekeliruan," terang Afifi.
Pada surat al-Baqarah, misalnya, ada sejumlah kesalahan. Seperti pada ayat ke-143 yang seharusnya ditulis 'al-rasulu', malah tertulis 'rasula'. Pada ayat ke-153 juga demikian. Seharusnya tertulis 'ash-shafa' dengan huruf 'shalat'. Bukan 'as-safa' dengan 'sin' sebagaimana yang tertera di mushaf karya Mas Ahmad bin Mas Mangun Sastra Banyuwangi.
Kesalahan demikian, imbuh anggota tim yang lain Ustaz Irfan, bisa jadi karena keterbatasan penulis dalam penguasaan gramatika bahasa Arab, seperti halnya ilmu nahwu dan sharaf. Sehingga silap terhadap detail Alquran.
"Namun, kesalahan-kesalahan kecil demikian relatif wajar. Karena ditulis tangan. Jadi, bisa dimaklumi," imbuh Irfan.
Pentashihan Alquran kuno tersebut, direncanakan hingga tuntas. Sehingga bisa diukur sejauh mana tingkat keakurasiannya.
"Bukan bermaksud mengkoreksi kesalahan para ulama terdahulu, tapi untuk mempelajari perkembangan penulisan Alquran itu sendiri," tutup Ayung.