jatimnow.com - Pitu iku pituduh (petunjuk). Pitu iku Pitulungan (pertolongan). Pitu iku pitutur (wejangan). Ungkapan lama dalam bahasa Jawa ini tentu sudah menjadi pemahaman masyarakat jawa di luar kepala. Banyak orang sangat suka terhadap ungkapan ini, karena mungkin kedalaman maknanya. Dan yang pasti, angka tujuh ini dalam tradisi maupun filosofi Jawa dianggap “keramat”.
Dalam nalar pemikiran tradisional orang Jawa, pemaknaan atas angka bukanlah hal asing, bahkan telah menjadi modus penting dalam penciptaan makna. Tawaran pemaknaan atas angka “tujuh” ini bukan semata sebagai “othak-othik-gathuk”, yang terkesan hanya mencocok-cocokan rima bunyi, sekenanya, arbriter, dan seolah hanya bersifat “main-main”. Jauh dari itu.
Angka “7” telah diberi makna dan “kekeramatan” tertentu, yang oleh karenanya banyak simbolisasi dan makna atas angka ini disematkan padanya, tentang penciptaan alam semesta. Misal, yang konon dicipta dalam 7 hari atau juga terkait simbolisasi langit berlapis tujuh (bersap tujuh) untuk menunjuk sistem lapisan langit dan jagad kita, atau ada istilah “sapta petala langit” (tujuh lapis langit yang menyelubungi jagad kita), atau jumlah hari kita yang juga menunjuk angka tujuh.
Baca juga: Menatap Industri Hasil Tembakau di Masa Kepemimpinan Presiden Baru
Lantas adakah simbolisasi dan makna atas angka ini dengan usia negara Indonesia yg ke-77? Adakah makna dan kekeramatan tertentu yang bisa disematkan atasnya? Adakah keterkaitan pituduh, pitulungan dan pitutur dengan Hari Ulang Tahun (HUT) bangsa Indonesia yg berangka “pitu” (77) ini?
Bagi penulis, umur Indonesia yang berangka 77 ini bukan saja menandai fase penting Indonesia dalam perjalanan usianya, melainkan juga fase “genting” Indonesia untuk merumuskan kembali arah tujuannya dalam menghadapi situasi global saat ini.
Di ulang tahun ke-77 NKRI ini, di masa hakekat dan nilai kepastian seperti berebut ingkar, kita butuh pitutur (wejangan). Seperti efek kartu domino, saat entah karena sebab apa kita dulu sepakat untuk saling terikat satu dengan yang lain dalam banyak hal, kita tiba-tiba menjadi rentan, kita butuh “pituduh” (petunjuk). Satu tetangga jatuh, hanya waktu sebagai jarak untuk menyaksikan tetangga yang lain turut runtuh. Setelah Sri Lanka, ada berbaris puluhan negara terancam bangkrut. Dolar yang membumbung tinggi serta merta menjerat mereka dalam krisis hutang tak mungkin terbayar. Kita dan banyak negara lain butuh “pitulungan” (pertolongan).
Baca juga: Tarif Impor Pangan, Solusi Perkuat Keuangan Negara
Saling tolong menolong (Pitulungan) menjadikan masyarakat kita cukup tangguh dalam menghadapi krisis. Di tengah keterbatasan uluran tangan pemerintah dan intervensi anggaran negara, pituduh (petunjuk) dan pitutur (wejangan) dapat menjadi energi tersendiri dalam mengatasi berbagai krisis.
Masalah krisis pangan dan energi yang juga tengah melanda dunia saat ini adalah adalah situasi yang “genting”. Sikap saling memberi “pertolongan” (pitulungan) dalam kerangka kepedulian sesama dalam bentuk gotong royong semoga menjelma menjadi best practices, praktik terbaik, di alam nyata. Bukan kenyataan semu atau “virtual reality” di media sosial semata. Spirit gotong royong dan menolong sesama ini telah menjadi pendorong tersendiri, menjadi jawaban mengapa ketika krisis melanda ekonomi Indonesia tidak terpuruk terlalu buruk dibanding negara lain.
Umur 77 tahun ini hendaklah menjadi fase penting dan tonggak bagi kita untuk terus maju dan menggelar masa depan, dengan tetap memperhatikan pitutur alias wejangan dari para ulama atau orang-orang cerdik pandai lainnya.
Baca juga: Pengelolaan Bank Sampah dengan Sistem Informasi Manajemen Berbasis Teknologi
Semoga pituduh dan pitulungan Gusti Allah selalu membersamai kita sebagai hamba, sebagai manusia yg diberi sifat lemah. Agar kita punya arah yang akan dituju untuk lepas dari berbagai krisis.
Merdeka!!!
Penulis: Supriyadi Karima Saiful, Ketua Kwarcab Pramuka Kota Mojokerto.