Pixel Code jatimnow.com

Orde Gembok

Editor : Endang Pergiwati  
Poster pertunjukan Teater Payung Hitam. (Foto: tangkapan layar media sosial)
Poster pertunjukan Teater Payung Hitam. (Foto: tangkapan layar media sosial)

jatimnow.com - Pameran lukisan Yos Suprapto dengan tema Kedaulatan Pangan yang rencananya dilaksanakan di Galeri Nasional pada 20 Desember 2024 - 19 Januari 2025 ditutup paksa karena pintu galeri dikunci.

Hal serupa juga terjadi pada pertunjukan Teater Payung Hitam, Sutradara Rachman Sabur yang berjudul “Wawancara dengan Mulyono” yang dijadwalkan pada tanggal 15-16 Febuari 2025 di Institut Seni Budaya Indonesia-Bandung gagal terlaksana karena akses ke ruang studio teater yang digembok.

Gembok dalam konteks peristiwa tersebut merupakan metafora atas sikap yang dilakukan oleh “otoritas” kampus terhadap pembungkaman dan pembatasan berekspresi kepada pihak yang dirasa menimbulkan potensi laten keresahan.

Gembok secara harafiah dimaknai sebagai induk kunci, yakni alat yang digunakan untuk mengunci atau membatasi sesuatu.

Dalam kasus penggembokan ruang studio teater, terlihat bahwa respon terhadap kebebasan berekspresi masyarakat yang kritis pada gejala sosial, ekononomi, dan politik yang berdampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah seolah menjadi “ancaman” subversif dan cenderung provokatif.

Dalam konteks ini, gembok melambangkan bagaimana “sikap dan pikiran” pemerintah, otoritas, atau kelompok tertentu sehingga ruang-ruang diskursif dalam melaksanakan kebebasan berekspresi (baik itu personal maupun komunal) di ranah publik cenderung direpresi melalui sikap antikritik.

Pembatasan kebebasan berbicara, bahkan dalam kesenian, merupakan suatu ancaman fundamental dalam persoalan kebudayaan dan hak asasi manusia. Hal tersebut secara fundamental menunjukkan bagaimana kritik, pendapat, hingga ekspresi-ekspresi kebudayaan—yang cenderung berseberangan dengan otoritas, baik secara ideologis maupun praktis, diasumsikan sebagai lawan yang justru bertolakbelakang dengan sistem dasar demokrasi di Indonesia ini.

Demokrasi sudah memberikan konsensi dan jaminan bahwa semua warga negara Indonesia berhak mengemukakan pendapat dan berekspresi, hal ini sudah dijamin dalam UUD tahun 1945.

Tentunya, pemerintah harus sadar bahwa semua masukan, pendapat, saran, dan kritik dalam ruang keindonesiaan adalah keniscayaan. Suatu sistem demokrasi yang sehat harus dilaksanakan sepenuhnya tanpa mendiskriminasikan dan merepresikan siapa pun.

Baca juga:
Menatap Industri Hasil Tembakau di Masa Kepemimpinan Presiden Baru

Pembungkaman terhadap seniman maupun kelompok seni dapat menghambat kebebasan berekspresi dan menyebabkan upaya-upaya dialektika menjadi tumpul.

Nalar kritis seni merupakan garda depan bagi seluruh seniman, pelaku, dan masyarakat dalam mengevaluasi dan menjaga integritas negara ini dalam konteks pluralitas dan kemanusiaan.

Dalam kondisi yang demikian, perlu dipertimbangkan lagi bagaimana kesenian dan produk kesenian adalah salah satu indikator bagi ekosistem politik dan demokrasi negeri ini.

Ketika kesenian sudah direpresi, maka wujud ekspresi dan kontemplasi yang dihasilkan dalam ruang-ruang seni menjadi hambar dan mandul.

Baca juga:
Tarif Impor Pangan, Solusi Perkuat Keuangan Negara

Seni merupakan katalisator bagi terwujudnya kepekaan dan sensibilitas manusia dalam menjaga humanitasnya, termasuk memberikan ruang-ruang kesadaran atas nilai manusia di hadapan kekuasaan dan negara.

Dalam keseluruhan, pembungkaman seniman yang mengkritik pemerintah dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kebebasan berekspresi, demokrasi, dan kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, penting untuk melindungi kebebasan berekspresi dan memastikan bahwa seniman dapat menyampaikan pendapat mereka tanpa diintimidasi.

Penulis : Galuh, Aktor Teater Api Indonesia