Surabaya - Demokrasi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Sebab mengakibatkan banyak kekerasan, penyalahgunaan populisme dan terjadinya polarisasi politik di antara kelompok masyarakat. Ini menjadi persoalan serius yang berdampak pada kemunduran demokrasi.
Hal tersebut disampaikan Ketua Pusat Studi Anti-Korupsi & LP Satria Unggul Wicaksana. Menurutnya, membaca dan membedah buku dari stagnasi ke regresi menjadi satu hal penting yang harus dilakukan akademisi menjelang pelaksanaan Anti Corruption Summit (ACS) ke-5. Forum tersebut akan membahas korupsi di sektor politik yang merupakan akar persoalan kemunduran demokrasi di Indonesia.
“RUU KUHP, revisi Undang-undang KPK, dan berbagai macam praktik ugal-ugalan demokrasi, semakin menandakan bahwa penting adanya refleksi dan konsolidasi gerakan masyarakat sipil,” tutur Satria Jumat (26/8/22)
Baca juga: Pernyataan Sikap UB: Capres dan Cawapres Diminta Kembali pada Etika Berpolitik!
Ia berharap pembahasan demokrasi di Indonesia ke depan akan terus digalakkan. Mengingat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dan beberapa waktu ke depan akan ada kontestasi partai politik maupun aktor politik.
"Road to Anti-Corruption Summit 5 (ACS 5) merupakan kegiatan kolaboratif antara UM Surabaya yang bekerja sama dengan KEMITRAAN melalui program USAID INTEGRITAS. Harapannya mampu membangkitkan kesadaran terkait demokrasi dan tantangannya," beber Satria.
Bedah buku ini juga satu di antara berbagai agenda Road to ACS-5, kolaborasi UM Surabaya dan KPK dalam mewujudkan tata kelola perguruan tinggi yang baik dan antisipasi korupsi di sektor politik.
"Selain bedah buku yang dilakukan, Road to ACS juga akan melakukan podcast, webinar diskusi publik yang meyemarakkan agenda Anti-Corruption Summit yang puncaknya akan dilaksanakan pada 2023," pungkas Satria.
Baca juga: Seruan Universitas Negeri Malang untuk Jokowi: Ini Mengancam Demokrasi!
Sementara itu, bedah buku yang digelar di UM Surabaya dihadiri langsung Akademisi Universitas Flinders, Australia, Thomas Power sekaligus penulis buku Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnansi ke Regresi.
Thomas Power dalam paparannya menjelaskan bahwa buku yang ditulis memang dirancang untuk menilai demokrasi di Indonesia serta menjawab pertanyaan apakah demokrasi di Indonesia mengalami krisis? Dan secara tegas Thomas menjawab iya. Menurutnya, ada beberapa faktor yang mendorong regresi demokrasi di Indonesia. Yakni, kelemahan struktural dalam proses konsolidasi demokrasi yang meliputi 3 hal, ketimpangan ekonomi yang ekstrem/oligarki, maraknya KKN korupsi terlembaga dan kendali politik atas lembaga hukum dan keamanan.
"Faktor pendorong lain yang membuat regresi demokrasi adalah polarisasi dan politik identitas, penyebaran berita bohong, dukungan dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi," ujarnya.
Turut hadir sebagai pemantik diskusi Direktur Eksekutif Kemitraan Partnership Laode M.Syarif dan Akademisi Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Jakarta, Bivitri Susanti.
Baca juga: Unair Suarakan Pilpres 2024 Cacat Demokrasi, Kampus Lain Kapan?
Laode M.Syarif menjelaskan, kualitas partai politik sangat rentan akibat kekuatan ekonomi yang berkonsentrasi pada kelompok elite-elite tertentu yang menguasai ekonomi dan partai politik.
"Berdasarkan data Corruption Persepsion Index (CPI) 2019, demokrasi di Indonesia mengalami penurunan di angka 38. Sebab kualitas penegakan hukum dan korupsi di sektor partai politik," tukas Laode.