jatimnow.com-Sejak awal abad ke-20, prostitusi Kota Surabaya sudah terkenal hingga ke mancanegara. Munculnya prostitusi pertama di Pelabuhan Tanjung Perak pada 1910, seolah turut andil memberikan ruang dan menular ke wilayah sekitarnya.
Jika Kremil di Tambak Asri pada 1940, dan diketahui sebagai prostitusi terbesar pertama. Pada tahun yang sama, prostitusi di Surabaya juga muncul di wilayah RW V Dupak Bangunrejo, Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan.
Menuju eks lokalisasi Bangunrejo, dari arah kota Surabaya bisa melewati Pusat Grosir PGS, 1 km ke Timur melewati Jalan Dupak sampai perempatan belok kanan ke Jalan Demak. Lokasinya 250 meter di sebelah kiri jalan, masuk gang di Jalan Dupak Bangunsari Tengah.
Baca juga: DPRD Surabaya Usulkan Keterlibatan Milenial dalam Pengembangan Industri Kreatif Dolly
Di masa lampau, lokalisasi PSK Bangunrejo dikenal famous dengan sebutan BR (Bangunrejo) prostitusi kelas II setelah Bangunsari.
Sejarawan Surabaya, Yatim Subhakti mengatakan, kemunculan prostitusi tahap dua ini di tahun 1940, berdempetan antara Kremil dengan Bangunrejo.
“Setelah 1910, pada tahun 1940 muncul lokalisasi yang bertempat di Kremil dan Bangunrejo,” kata Yatim kepada jatimnow.com.
Pemicu BR ramai sebagai tempat pelacuran disebabkan banyaknya kapal yang datang tahun 1940 -1960 an. Kapal-kapal ini mengangkut penumpang dari berbagai negeri, mulai Arab Saudi, India, Filipina, Inggris, Amerika Serikat dan sejumlah negara lain.
Salah seorang tokoh masyarakat Bangunrejo, Wagino menjelaskan bahwa malam hari di tempatnya selalu ramai aktivitas pelacuran. Sampai-sampai bahu antar bahu pelanggan berdesakan.
“Wisatawan turis dari penumpang kapal turun untuk menambatkan nafsunya. Bahkan ada jasa gaet yang mahir berbahasa asing mengenalkan dan membimbing turis ke tempat-tempat asrama putri,” ungkap Wagino
Dengan model perkampungan padat wisma atau rumah bordil, prostitusi BR mengakar mulai dari bibir jalan raya masuk Gapura Bangunsari, menuju ke Bangunrejo, dan lanjut melewati kapal tambang tembus ke Kremil.
“Tempat praktik seksual di Bangunrejo tersebar di 10 RT dan Bangunsari 10 RT, merebak mulai Gang 1 sampai Gang 10,” jelasnya.
Menurut Wagino, jumlah PSK dan Mucikari di BR ini sangatlah banyak, sehingga sulit dihitung angka. Menurutnya saat itu bisa mencapai ribuan.
“Tidak bisa dihitung pasti. Itu karena saking banyaknya. Satu wisma bordil bisa ditempati 15 sampai 30 PSK, tinggal dikalikan saja,” terangnya.
Meskipun tempat tinggal bersinggungan langsung dengan para PSK dan germo, sosial masyarakat di BR guyub rukun.
Bahkan, lanjut Wagino, perilaku para bule waktu itu sangat ramah dan terkesan lucu. Itu tergambarkan saat mereka menumpang becak, bule tidak mau di depan kursi penumpang.
“Saat becak masih menjadi alat transportasi, bule AS dengan tukang becak kerap banyol (guyon), bule yang pesan becak tidak mau jadi penumpang, malah tukang becaknya yang dipaksa dibonceng,” papar Wagino.
PSK pun usianya sangat variatif. Termuda 15 tahun sedangkan paling tua berusia 50 tahun. Sementara asal daerahnya kebanyakan dari luar Surabaya atau pendatang.
Baca juga: Kembangkan Literasi, PCU Gelar Pengabdian Masyarakat di Taman Bacaan Gang Dolly
BR pada tahun 1960-an masuk rute ke dalam wisata prostitusi. Di mana rute tersebut dimulai dari Bangunsari, Bangunrejo, dan Kremil.
Prostitusi Bangunsari yang berada tepat di pinggir jalan raya Jalan Demak itu menjadi kategori kelas I, Bangunrejo menempati kelas II, dan Kremil posisi kelas III ada di belakang Bangunrejo.
“Bangunsari itu PSK cantik-cantik, kebanyakan asal PSK Bugis dan menjadi jujugan bule, sehingga masuk kategori kelas I dan nya relatif harga tinggi,” Wagino menambahkan.
Ia menambahkan jika Bangunrejo kelas II, yang artinya standar tidak begitu cantik-cantik dan harganya relatif sedang. Adapun Kremil itu sudah lanjut usia atau tergolong tua-tua.
Belum ada tanah beraspal maupun paving, jalanan masih terjal. Sementara penerangan juga masih minim. Tapi, BR selalu ramai.
Pelanggan ketika menuju ke Kremil masih menggunakan perahu kembar (tambang) melintasi sungai belakang Bangunrejo.
Masyarakat asli atau masyarakat luar yang telah lama bermukim di Bangunrejo sangat terbuka dan merasa terbantu dengan tempat prostitusi BR, terutama dari sisi ekonomi.
“Hampir setiap teras rumah ada gelaran dagang, tukang pikul air, sampai tukang becak yang narik dua hari sudah bisa membeli emas 1 gram,” terang Wagino.
Baca juga: Dolly, Lahan Sampah yang Menjelma Lokalisasi Terbesar Asia Tenggara
Meskipun BR sebagai medan prostitusi, judi, miras di masa lampau, masyarakat cukup terbantu. Apalagi kawasan prostitusi BR sangat tertib akan peraturan.
Setiap jam 22.00 WIB ada petugas keamanan yang bertugas menarik uang inap kepada hidung belang, yang dipergunakan untuk kas RW.
Lebih dalam perihal ketertiban para PSK tergambar lewat penjadwalan kebersihan, olahraga, dan periksa kesehatan rutin.
“Setiap hari Jumat, PSK wisma bordil menjemur kasur-kasur mereka. Untuk hari Minggu ada olahraga yang diabsen oleh para germo, dan tiap seminggu sekali ada periksa kesehatan bagi keseluruhan PSK,” tuturnya.
Lambat laun, lokalisasi BR ini buyar mentas dengan sendirinya bersama dengan dibangunnya Jalan Tol Surabaya-Gempol tahun 1983.
“Berbeda dengan lokalisasi Dolly, Kremil, Bangunsari, eks lokalisasi di Bangunrejo ini hilang dengan sendirinya. Hilangnya jejak lokalisasi ini setelah pembangunan jalan tol, karena banyak wisma-wisma yang juga dibongkar," pungkasnya.
Untuk diketahui, prostitusi di Bangunrejo saat ini sudah mentas 100 persen sejak 2012. Saat ini sisa sisa bangunan wisma bordil telah menjadi rumah dengan kepemilikan baru.
Foto: Gang Masuk, Bangunan RW V Dupak Bangunrejo Tempat Periksa PSK, Potret Perkampungan, (Dok. Rama Indra/jatimnow.com)