jatimnow.com - Di tengah hiruk pikuk KTT G20, suara pekerja informal Indonesia turut didengar di L20 Summit 2025 yang berlangsung di Johannesburg, Afrika Selatan.
William Yani Wea, Ketua Umum Serikat Pekerja Informal Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP IMPPI), mewakili Indonesia bersama Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), dalam forum yang memperjuangkan hak-hak pekerja global ini.
Baca juga: Mengenal Clairine, Penari asal Tulungagung yang Tampil di KTT G20 Bali
L20 Summit, yang diselenggarakan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Internasional (ITUC) dan Komite Penasihat Serikat Pekerja (TUAC) untuk OECD, menjadi panggung bagi Willy, sapaan akrab William Yani, untuk menyuarakan keprihatinan terhadap tingginya jumlah pekerja informal global, khususnya di negara berkembang.
Ia menegaskan perlunya strategi transformasi ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja formal dengan perlindungan sosial yang memadai.
"Situasi global saat ini masih didominasi sektor informal dan kerja tidak layak," ujar Willy dalam keterangan persnya dari Afrika Selatan, Senin (28/7).
"Kita perlu inisiatif kebijakan untuk menghapus kerja paksa, diskriminasi, dan praktik kerja tidak aman. Penting juga peningkatan peran serikat pekerja dalam mendampingi pekerja informal dan rentan," lanjutnya.
Willy menyoroti permasalahan krusial di negara-negara seperti Indonesia, India, dan Nigeria, di mana lebih dari 50% pekerja tidak memiliki kontrak kerja, jaminan kesehatan, atau perlindungan hukum.
Baca juga: 6 UMKM Binaan Rumah BUMN SIG Pamerkan Produk di Side Event KTT G20
Hal itu, kata dia, berdampak pada ketidakpastian penghasilan dan minimnya perlindungan hukum. Ia mencontohkan pekerja di sektor ekonomi gig, seperti pengemudi ojek online dan kurir digital, yang seringkali bekerja penuh waktu tanpa kepastian pendapatan dan jaminan sosial.
Sementara itu, Elly Rosita Silaban, dalam sambutannya di L20 Summit, menyinggung kebijakan pemerintah Indonesia yang melarang ekspor mineral mentah, khususnya nikel dan bauksit.
Ia melihat kebijakan ini sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, kebijakan tersebut mendorong industrialisasi hilir di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja di sektor pengolahan, dan menempatkan Indonesia sebagai pemain strategis dalam rantai pasok global, khususnya industri hijau.
Di sisi lain, tantangan tetap ada dalam memastikan perlindungan dan kesejahteraan pekerja di sektor industri baru ini.
Baca juga: Dukung KTT G20, Centrum Muda Proaktif Dorong Tujuan Inklusif
"Kebijakan larangan ekspor mineral mentah telah mendorong investasi dan pembangunan smelter, berpotensi menciptakan lapangan kerja baru," kata Elly.
"Namun, kita perlu memastikan bahwa lapangan kerja ini tercipta dengan standar keselamatan dan kesejahteraan yang baik," sambungnya.
Partisipasi Indonesia di L20 Summit 2025 menjadi bukti komitmen untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, baik di sektor formal maupun informal.
Perjuangan untuk menciptakan dunia kerja yang lebih adil dan layak bagi semua, khususnya bagi pekerja informal yang rentan, masih panjang dan membutuhkan kerja sama global.