Memerdekakan Negara dari Perbudakan BLBI

Minggu, 17 Agu 2025 14:29 WIB
Reporter :
jatimnow.com
Hingga kini, penanganan kasus BLBI masih menyisakan tanda tanya besar. (Foto: Ilustrasi/cicia)

 

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

HARI ini, bangsa Indonesia merayakan usia 80 tahun kemerdekaannya. Namun, pertanyaan mendasar yang patut kita ajukan ialah: benarkah kita sudah merdeka sepenuhnya?

Baca juga: Pemkab Tulungagung Lakukan Efesiensi Anggaran hingga Rp52,3 M

Jika merdeka berarti bebas dari penjajahan, maka dalam konteks ekonomi-politik kita masih terikat dalam “perbudakan modern” yang diwariskan krisis 1997/1998, salah satunya melalui skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

BLBI sejatinya dimaksudkan sebagai dana talangan negara kepada perbankan yang kolaps akibat krisis moneter. Nilainya fantastis, ratusan triliun rupiah dari APBN digelontorkan.

Namun alih-alih menyelamatkan rakyat, sebagian besar justru mengalir ke konglomerat, menutup kebocoran, bahkan menjadi bancakan bagi para pengemplang. Negara sendiri dipaksa berhutang, sementara “swasta yang gagal” justru diselamatkan dengan modal rakyat.

Hingga kini, penanganan kasus BLBI masih menyisakan tanda tanya besar. Pemerintah memang telah membentuk Satgas BLBI, mengejar obligor dan debitur nakal, namun publik tahu bahwa sampai saat ini keadilan substantif belum sepenuhnya terlaksana.

Kontroversi Saham BCA: Jejak BLBI yang Membelenggu

Kabar terbaru yang meramaikan ruang publik di tengah perayaan HUT RI ke 80 ini adalah wacana pengambilalihan 51 persen saham BCA oleh negara. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendorong Presiden Prabowo untuk menuntaskan “utang sejarah” ini.

Argumennya jelas: BCA pernah disuntik dana BLBI, tetapi kemudian saham mayoritasnya jatuh ke tangan swasta melalui proses yang sarat dugaan rekayasa.

Ekonom UGM, Sasmito Hadinegoro, menyebut pada 2002 nilai BCA mencapai Rp117 triliun, sementara utang ke negara Rp60 triliun.

Baca juga: Misi PGDN Nusantara di Rakernas 2024: Sentuhan APBN untuk Guru Diniyah

Secara logika, negara seharusnya memiliki posisi dominan. Namun kenyataannya, kepemilikan justru beralih ke kelompok bisnis tertentu. Di sinilah publik melihat adanya mafia keuangan yang menghisap darah negara.

\

Isu ini bukan hanya soal saham bank, tetapi soal kedaulatan negara. Dana BLBI adalah uang rakyat, berasal dari APBN yang mestinya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan publik.

Jika uang itu berubah menjadi instrumen memperkaya segelintir orang, maka negara secara sadar dibiarkan berada dalam perbudakan, bukan oleh penjajah asing, tapi oleh oligarki finansial domestik. Di titik inilah Presiden Prabowo ditantang sejarah.

Berani atau tidak beliau mewarisi semangat kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah para pahlawan. Mengambil alih saham strategis BCA, bukan hanya langkah hukum, tapi simbol politik, bahwa negara tidak boleh tunduk pada konglomerat.

Menuntut Tegaknya Keadilan

Keadilan dalam kasus BLBI tidak cukup ditegakkan dengan penyitaan aset kecil atau sekadar menagih obligor. Keadilan yang sesungguhnya menuntut agar negara melakukan Langkah-langkah konkrit berikut:

Baca juga: Heni Yuwono Lantik 23 Pejabat Fungsional Analis Pengelolaan Keuangan APBN

1. Menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap pengemplang BLBI.
2. Mengambil kembali aset strategis yang lahir dari dana rakyat, termasuk saham bank yang pernah disuntik BLBI.
3. Membentuk tim independen untuk menelusuri mafia keuangan di balik rekayasa kepemilikan bank.

Langkah ini bukan berarti negara anti-investasi atau memusuhi swasta. Sebaliknya, ini dilakukan demi menegakkan prinsip fairness: siapa yang berhutang harus membayar, siapa yang mendapat keuntungan dari uang rakyat harus mengembalikan kepada rakyat.

Di usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini harus merdeka bukan hanya dari penjajahan fisik, tapi dari perbudakan ekonomi. Skandal BLBI adalah simbol bagaimana negara pernah dipaksa bertekuk lutut oleh oligarki keuangan. Kini saatnya kita bangkit, merebut kembali kedaulatan, dan menegakkan keadilan ekonomi.

Presiden Prabowo memikul amanat sejarah. Publik, ormas, akademisi, dan partai politik harus mendukung langkah berani ini. Jika 51 persen saham BCA bisa dikembalikan ke negara, itu akan menjadi penanda bahwa republik ini benar-benar berdiri di atas hak rakyat, bukan di bawah ketiak konglomerat.

Merdeka sejati adalah ketika negara berdaulat, hukum ditegakkan, dan rakyat menikmati hasil pembangunan. Saat itulah kita bisa mengatakan dengan lantang: Indonesia benar-benar merdeka!

Ikuti perkembangan berita terkini Jawa Timur dan sekitarya di Aplikasi jatimnow.com!
Berita Surabaya

Berita Terbaru
Tretan JatimNow

Terpopuler