Palestina: Italia di Persimpangan, Antara Suara Rakyat dan Kalkulasi Politik

Selasa, 23 Sep 2025 11:42 WIB
Reporter :
jatimnow.com
Foto/Ilustrasi AI

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

jatimnow.com - Roma pada awal pekan ini menjadi panggung sejarah kecil yang bisa berbuntut panjang. Ribuan orang memenuhi jalanan, dari kawasan Stasiun Termini hingga Colosseum. Bendera Palestina berkibar di antara gedung-gedung tua, spanduk bertuliskan “Lawan Genosida” digenggam mahasiswa, sementara suara teriakan “Bebaskan Palestina!” bergaung di udara.

Seorang remaja 17 tahun, Michelangelo, mengaku ia hadir bukan karena ajakan organisasi besar, tapi benar-benar karena dorongan hati: “Ada sebuah populasi yang sedang dimusnahkan. Saya tidak bisa diam.”

Baca juga: Ribuan Anak Yatim di Gaza Terancam Kelaparan, Teman Baik Salurkan Paket Makanan di Tengah Krisis

Pemandangan itu bukan hanya terjadi di Roma. Milan, kota mode dunia, justru menjadi arena solidaritas paling besar dengan klaim 50 ribu peserta. Di sana, arak-arakan membentang hingga menutup jalan-jalan utama, membuat transportasi terganggu.

Sebagian massa bahkan membakar bendera Amerika Serikat, sebuah simbol perlawanan terhadap politik luar negeri Barat yang dianggap berpihak pada Israel.

Di Bologna, Turin, Napoli, hingga pulau Sisilia, puluhan ribu orang juga turun ke jalan. Italia, negeri yang biasanya dikenal lewat opera, sepak bola, dan wisata sejarah, kini memperlihatkan wajah baru, yaitu: rakyat yang bersatu menyuarakan kemanusiaan.

Namun, di balik gegap gempita itu, pemerintah Italia justru mengambil posisi berbeda. Perdana Menteri Giorgia Meloni menegaskan Italia tidak akan mengakui Palestina sebagai negara. Argumennya klasik: stabilitas kawasan harus dicapai lewat negosiasi langsung, bukan lewat deklarasi sepihak.

Sikap ini membuat Italia terkesan “jalan sendiri”, terutama setelah Inggris, Australia, dan Kanada menyatakan dukungan bagi Palestina. Apalagi, Perancis dan sejumlah negara Eropa lain sedang bersiap mengumumkan langkah serupa di forum PBB.

Di sinilah paradoks mencuat: jarak antara suara rakyat dan kalkulasi politik pemerintah. Menurut survei Only Numbers yang dimuat La Stampa, 64 persen warga Italia menilai krisis Gaza sangat serius, dan 41 persen menginginkan pemerintah segera mengakui Palestina. Artinya, ada tekanan moral yang semakin kuat dari masyarakat. Tetapi, Meloni dan kabinetnya tetap bertahan.

Alasan utamanya bukan soal diplomasi, tetapi geopolitik. Meloni dikenal dekat secara ideologi dengan Donald Trump, presiden Amerika Serikat saat ini, yang sejak awal menolak gagasan pengakuan Palestina.

Baca juga: MUI Desak PBB Segera Akui Kemerdekaan Palestina di Sidang Umum

Italia tampaknya memilih jalur aman, yaitu: mengecam serangan Israel ke Gaza, namun tetap menolak langkah politik yang berpotensi mengganggu hubungan strategis dengan Washington.

\

Bagi rakyat di jalanan, kalkulasi semacam ini terasa dingin. Seorang pekerja berusia 52 tahun, Federica Casino, yang ikut aksi di Roma, mengatakan dengan suara bergetar: “Italia harus berhenti total hari ini… untuk anak-anak Gaza yang tewas dan rumah sakit yang hancur.”

Kalimat sederhana ini mengandung beban moral lebih kuat daripada seribu analisis politik. Menunjukkan bahwa isu Palestina bukan hanya urusan geopolitik, tetapi menyentuh nurani manusia.

Indonesia tentu mencermati dinamika ini. Sebagai negara yang sejak lama konsisten mendukung Palestina, langkah sejumlah negara Barat mengubah haluan membuka peluang diplomasi baru.

Bagi Jakarta, solidaritas publik Eropa bisa menjadi mitra moral dalam mendorong penyelesaian yang adil. Jika rakyat Italia mampu memaksa wacana ini masuk agenda politik negeri mereka, hal itu akan memberi energi tambahan bagi gerakan global.

Baca juga: Nonton Bareng Film Hayya 3 Gaza di Kediri, Dukungan untuk Palestina

Namun, masyarakat juga harus obyektif melihat kenyataan: dalam politik, suara moral sering kali harus berhadapan dengan kepentingan ekonomi, keamanan, dan aliansi strategis.

Italia misalnya, meskipun tidak lagi menjual senjata ke Israel sejak 2023, tetap enggan bergabung dengan wacana sanksi dagang yang digagas Uni Eropa. Artinya, kalkulasi realpolitik tetap lebih dominan daripada tekanan moral.

Apakah aksi solidaritas itu akan berbuah? Jawabannya belum jelas. Tetapi, keberanian puluhan ribu warga Italia turun ke jalan adalah sinyal kuat bahwa ada pergeseran opini publik di Eropa. Jika tren ini meluas, para pemimpin politik sulit untuk terus menutup mata.

Italia kini benar-benar di persimpangan, antara mengikuti hati rakyat atau bertahan dengan perhitungan politik jangka pendek. Apa pun pilihannya, sejarah akan mencatat bahwa di jalanan Roma, Milan, Bologna, dan Napoli, rakyat kecil sudah lebih dulu berdiri untuk Palestina. (Yuk,Terus bantu dan doakan Palestina).

Ikuti perkembangan berita terkini Jawa Timur dan sekitarya di Aplikasi jatimnow.com!
Berita Surabaya

Berita Terbaru
Tretan JatimNow

Terpopuler