jatimnow.com - Di tengah gemerlap lampu dan hiruk pikuk Surabaya Fashion Parade (SFP) 2025, komunitas kreatif Ku-Semai tampil mencuri perhatian. Sebanyak 15 desainer menghadirkan 20 koleksi dalam tema besar yang provokatif: “New Rebel on the Block.”
Tema ini bukan sekadar estetika. Ia adalah sikap. Sebuah pernyataan bahwa generasi kreatif hari ini tak lagi tunduk pada pakem mode yang kaku. Mereka memilih jalur mereka sendiri.
“Kami ingin menunjukkan keberanian untuk keluar dari aturan umum fashion. Bukan memberontak secara negatif, tetapi merayakan kebebasan berekspresi,” terang Etty Juma’ati, perwakilan Ku-Semai, saat ditemui usai sesi backstage SFP 2025, Minggu (16/11/2025) malam.
Baca juga: Karya Batik Candida Ardelle, Talenta Muda Probolinggo Bersinar di SFP 2025
Ia menjelaskan bahwa unfinished edges, garis asimetris, serta konstruksi yang tak selalu mulus adalah bagian dari bahasa visual koleksi tahun ini.
“Setiap detail menegaskan bahwa ketidaksempurnaan bisa menjadi kejujuran kreatif,” tambah Etty.
“New Rebel on the Block”: Pemberontakan yang Elegan
Koleksi tahun ini memadukan anasir pemberontakan dengan elegansi modern. Ku-Semai ingin menegaskan bahwa menjadi rebel tidak harus keras; ia bisa hadir dengan cara yang subtil dan sophisticated.
“Kami menghadirkan bahasa visual baru, bahwa menjadi pemberontak adalah soal keberanian mengambil ruang dengan cara yang tetap berkelas,” jelas Etty.
Warna nude dipilih sebagai simbol keheningan dan kedewasaan, sementara denim membawa energi mentah, karakter, dan ketegasan. Perpaduan keduanya menciptakan wujud ‘rebel refined’ yang terasa autentik dan mudah dipakai.
Keberanian berekspresi para anggota Ku-Semai tak hanya tercermin dalam tema besar “New Rebel on the Block”, tetapi juga pada subtema yang mereka hadirkan.
Setiap desainer membawa sudut pandang personal tentang makna pemberontakan yang elegan, sebuah bahasa visual yang bebas, namun tetap sadar arah.
Dalam lanskap kreatif yang terhubung oleh semangat eksplorasi, lima belas desainer menampilkan wajah-wajah “rebel” yang berbeda.
Narasi mereka mengalir mulai dari kejujuran bentuk, keberlanjutan, hingga perlawanan halus terhadap pola pikir yang membelenggu.
Dari Surabaya, Veni Rosita membuka rangkaian dengan “Born Unreveled”, yang menegaskan bahwa keindahan tidak selalu lahir dari kesempurnaan, melainkan dari ekspresi jujur tanpa topeng.
Nada serupa bergema pada karya Freddy Wang melalui “DeNuRon” perpaduan denim, nude, dan maroon yang ia maknai sebagai dialog harmonis antara air, tanah, dan api.
“Perbedaan itu bukan untuk bersaing, tapi saling melengkapi,” begitu pesan yang ia tekankan dalam desainnya.
Eksplorasi lebih kontemporer hadir lewat RanRav karya Rizki Wismaning Tyas yang mempertemukan disiplin samurai dengan kebebasan urban.
Sementara itu, Yunita Rosari (Nytka) merespons ritme metropolis lewat “Echoes of Metropolis”, menjadikan streetwear sebagai medium protes terhadap keseragaman yang menekan suara individu.
Baca juga: SFP 2025: Migi Rihasalay Usung Darah dan Pemberontakan
Dari Bogor, Januar Ester Jodiningtyas menawarkan narasi keberlanjutan melalui “Resurrect the Dead” menghidupkan kain ‘mati’ layaknya Frankenstein yang merakit ulang kehidupan.
Semangat menjaga identitas lokal muncul dari Tri Mutmainnah asal Bangkalan, yang memadukan batik Bangkalan dengan detail smock dalam “Renggaman: The Rebellion Within”.
Garis eksperimen berlanjut dengan dkoe K’ai milik Dini Koes Aryanti melalui “Re:Form”, serupa meditasi kreatif terhadap daur ulang kain dan nilai estetikanya.
Sedangkan Henny Ariani meminjam nostalgia Tetris 90-an dalam “Block Gravity”, menghadirkan ilusi geometris yang seakan menantang gaya tarik bumi.
Tema kebebasan bergerak makin kuat lewat Anaya by Dwi Noer dalam “Rebellion Aesthetic: The Bohemian Freedom”, yang merayakan denim bekas dalam balutan bohemian, sebuah revolusi ramah lingkungan dengan ruh bebas.
Seirama, Dee by Diah Ayu Wiranti menghadirkan “2nd Chances”, menghidupkan kembali limbah denim sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
Kreativitas lintas bentuk ditampilkan oleh ettakeikozw yang membuktikan bahwa “Nothing is Impossible”: meronce yoyo kain satu per satu hingga menjadi busana yang memikat.
Masih dari Bekasi, Edith House by Edita memadukan ecoprint limbah menjadi “peta” abstrak pada jaket utility dalam “The Cartographer’s Journey”, menawarkan gaya premium dari bahan daur ulang.
Sentuhan penuh hati tampak pada Bopha Noor Akbar lewat “Suka Hati”, yang merangkai pola zero waste dengan anyaman dan wastra dalam energi kegembiraan sehari-hari.
Lalu, Brillare by Nadia Nufida Aflaha menyajikan “Soklat Harsa”, sebuah ode pada kehangatan, ketenangan, dan kestabilan sebagai fondasi hidup.
Baca juga: Batik Shibori Usung Tagline Bumi Biru, Isyaratkan Pesan Ini di Surabaya Fashion Parade 2023
Sebagai penutup visual, Soft Cort Wanderer karya EttyJe menghadirkan perpaduan elegansi abad ke-18 dengan bohemian modern look yang lembut, ringan, dan effortless, namun tetap memancarkan kedalaman sejarah.
Dalam kolaborasi ini, seluruh desainer Ku-Semai seperti berbicara dalam satu suara: pemberontakan tidak harus berteriak. Ia bisa hadir setenang warna nude, sekuat denim, atau seanggun siluet historical.
“Koleksi ini adalah undangan untuk berani tampil beda, tapi tetap berkelas,” ujar Etty Juma’ati.
Dan benar adanya “New Rebel on the Block” bukan hanya tema, tetapi manifesto.
Ku-Semai menunjukkan bahwa rebellious spirit dalam fashion kini tidak lagi tentang menentang, tetapi tentang menemukan cara baru untuk jujur pada diri sendiri.
Ku-Semai: Inkubator Kreatif yang Lahir Pascapandemi
Ku-Semai sendiri lahir pada 2021, tepat setelah pandemi mereda. Momen penuh isolasi justru menjadi titik temu kreativitas baru.
Pendiri komunitas ini, Aryani Widagdo, dikenal sebagai pendiri Arva School sekaligus fashion educator di Surabaya. Lewat open call daring, ia berhasil mengumpulkan para desainer kumulatif yang membutuhkan ruang bertumbuh. Dari sanalah Ku-Semai berdiri sebagai inkubator mode.
“Ku-Semai adalah tempat belajar, bertukar ide, dan saling menguatkan. Tanpa komunitas ini, banyak dari kami merasa berjalan sendirian,” tutur Etty.
Kini, Ku-Semai beranggotakan 50–60 desainer dari berbagai kota di Indonesia, dari pekerja fashion profesional hingga kreator yang memulai dari hobi. Semuanya disatukan oleh semangat yang sama: belajar, berkembang, dan berani mencoba hal baru.