jatimnow.com - Seorang tukang plafon di Surabaya akhirnya meringkuk di sel tahanan polisi setelah mencabuli pelajar kelas 2 SMA hingga hamil. Pria cabul itu berinisial IS (23) warga asal Bangkalan, Madura yang indekos di Surabaya selatan.
IS dilaporkan orang tua korban ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polrestabes Surabaya pada 25 April 2019 lalu. Atas laporan itu, IS kemudian ditangkap pada 26 April 2019.
"Pelaku mengenal korban melalui nomor telepon yang didapat dari temannya sejak sebelum puasa tahun 2018 lalu," kata Kanit PPA Polrestabes Surabaya, AKP Ruth Yeni, Minggu (28/4/2019).
Baca juga: Hasil Tes DNA Kiai Cabul di Trenggalek, Sah Bapak Biologis Anak Korban
Berawal dari perkenalan itu, pelaku yang indekos satu kampung dengan rumah korban sering mengirim pesan dan telepon korban kemudian bertemu. Merasa korban membuka diri, pelaku mulai melancarkan rayuannya kepada korban yang masih berumur 17 tahun itu.
"Awalnya pelaku mengajak korban jalan-jalan, makan dan dibelikan sesuatu," terang Ruth Yeni.
Semakin akrab dengan korban, pelaku akhirnya mengajak korban ke kamar kosnya sepulang sekolah. Di kamar kos itulah, pelaku memaksa korban agar bersedia melayani hawa nafsunya. Karena tenaga korban tak kuat melawan, korban akhirnya hanya bisa pasrah.
Baca juga: Tampang Eks Anggota DPRD Bangkalan, Pengasuh Ponpes yang Cabuli Santrinya
"Pencabulan berulangkali itu terjadi di kamar kos pelaku," jelas Ruth Yeni.
Dari itu pelaku mulai ketagihan dan menebar janji akan bertanggungjawab bila korban hamil. Pelaku kemudian menyetubuhi korban hingga 10 kali hingga korban hamil.
"Orangtua korban curiga setelah melihat perut anaknya membesar. Setelah ditanya dan dicek ke bidan, korban ternyata hamil. Dari itu orangtuanya melapor ke kami," bebernya.
Baca juga: Oknum Guru Madrasah di Blitar Diduga Cabuli Siswinya
Korban terpaksa mengaku ke orangtuanya bahwa dirinya hamil. Sebab pelaku ingkar janji terhadap korban dan justru menghindar saat dimintai pertanggungjawaban.
Pelaku sudah ditetapkan menjadi tersangka dan dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak. Sedangkan korban masih dalam pengawasan pendamping dari Unit PPA dan Pemkot Surabaya serta orangtuanya.