jatimnow.com - Sebagai seorang yang beberapa kali mendaki gunung, embel-embel mistis di setiap perjalanan pendakian menjadi cerita yang lazim. Bertemu nenek tua, anjing hitam, pertapa hingga beragam suara aneh sudah hal biasa.
Tapi ceritaku kali ini berbeda. Bahkan aku sempat bersumpah dalam hati, tidak akan kembali ke sana. Hal yang berbeda ketika aku mendaki ke Merbabu, Sumbing, yang memang membuat ketagihan.
Kisah ini sebenarnya aku alami sekitar Tahun 2008 silam. Saat itu aku dan dua orang temanku Papang dan Teja memilih mendaki Gunung Lawu melalui Cemoro Sewu, Magetan. Aku ingat betul saat memilih berangkat Kamis malam, menumpang bus dari Terminal Purabaya.
Baca juga: Pengusaha Kuliner Warga Randegan Sidoarjo Meninggal, karena Melanggar Mitos?
Jumat pagi setibanya di Magetan, kami segera mendekat ke Pos Pendakian Cemoro Sewu. Namun menunda untuk langsung mendaki dan memilih melengkapi perbekalan kami lebih dulu.
Aneka sayuran tahan lama, lauk pauk dan beberapa makanan yang diawetkan kami beli. Jumat sore, sekitar pukul 16.00 Wib, kami makan di warung warga tak jauh dari pos.
Perut kenyang, hati tenang. Kami istirahat 30 menit menunggu makanan di lambung tercerna sempurna. Sambil berbincang dengan pemilik warung, aku menyalakan sebatang rokok dan menyesap kopi seduhan si Mbok (pemilik warung yang kusapa demikian).
"Arep mulai kapan, nduk? (Mau mendaki kapan, nak)," tanya si Mbok.
Aku menjawab jujur, lebih suka mendaki saat gelap karena tentu untuk menghindari tekanan mental karena melihat jalur yang terjal. Apalagi saat itu, memang rencana kami memulai pendakian pukul 18.30 Wib. Karena jika sesuai perhitungan, sekitar 5 jam perjalanan sudah bisa mendirikan camp di target rencana.
Mbok terlihat tidak suka dengan jawabanku. Seperti hati-hati berbicara sampai akhirnya si Mbok bilang jika baiknya, kami bertiga menunggu hingga subuh.
Papang yang kebetulan sudah gemar mendaki lebih dulu, nimbrung dengan aku dan si Mbok. Dia memastikan niat kami baik dan tidak akan mengganggu siapapun yang menjadi penghuni Gunung Lawu.
"Mangke, lek krungu suara kidung. Sing ati-ati. Ojok sampe dadi molo. Waspodo yen onok suara gamelan, prajurit baris. Mandeg utowo ojok metu. Bismillah ya, nduk. (Nanti kalau ada suara nyanyian, yang hati-hati. Jangan sampai jadi petaka. Waspada jika ada suara gamelan, prajurit berbaris. Berhenti atau jangan keluar tenda)," jelas Mbok.
Makdeg, hatiku ambyar mendengar wejangan ibu tua itu. Seperti seorang ibu mengingatkan anaknya. Aku yang percaya betul bahwa omongan ibu selalu benar, pun mulai melirik Papang dan Teja. Namun mereka kukuh dan percaya kami tidak akan mendapati masalah, karena memulai semuanya dengan niat baik.
Aku lanjut packing tas kerir bermuatan 60 liter milikku. Setelah siap, kami melapor ke pos penjagaan dan mendaftar sebagaimana ketentuan Perhutani selaku pengelola.
Kami diingatkan jika pendakian malam akan berisiko. Dan diminta selalu awas dengan petunjuk jalur agar tidak tersesat. Selembar peta yang diberikan petugas pun kami kantongi.
Dua jam pendakian, tidak ada masalah berarti, selain kaki Teja yang tiba-tiba alami getaran hebat. Sambil bercanda, dia menyebut jika lututnya memang sudah seperti ponsel yang di mode getar. Istirahat 10 menit, jadi opsi kami.
Aku iseng mengarahkan senter ke beberapa penjuru tempat kami istirahat. Sampai ketika ada bayangan sekelebat seperti lari turun hampir menabrak Teja yang memang duduk selonjor di jalur.
Baca juga: Cerita Horor Awak Bus Malam Surabaya-Tulungagung
Melihat temanku itu biasa saja, aku pun memilih bungkam. Karena sudah menjadi aturan tak tertulis untuk tidak menceritakan apapun yang buruk sampai kami kembali pulang.
"Eh kita ini mendaki ganjil. Kalo di Arjuno hiiiiiii," celetuk Papang.
Aku menanggapi dengan senyum kecut. Sementara Teja sibuk menenangkan lututnya sembari meringis.
Kami lanjut mendaki dan sampai di pos 2, karena napas masih tertata dan Teja masih merasa kuat, kami lanjutkan perjalanan. Teja yang dipersilahkan jalan di depan, tiba-tiba berhenti setelah kami berjalan selama 30 menit.
Dia berdiri kuat, tapi tidak dengan tangannya. Dia mengarahkan senter ke sebuah pohon besar yang rimbun. Lalu seketika membaca ayat kursi. Aku sadar betul, dia pasti melihat jin, setan atau apalah itu.
"Gais, aku mau kita lanjut. Jangan lama-lama di sini. Kalau bisa sampai Sendang Drajat," tegas Teja.
Aku sepakat. Apalagi aku yang lebih dulu mendapat pengalaman tidak enak. Kami pun lanjut dan Teja masih sesekali menengok ke belakang. Aku berbisik padanya, supaya tenang dan sesekali meneguk air yang ada di samping tasnya.
Sampai di pos 3, sekitar pukul 10 malam, aku meminta berhenti. Selain karena mulai dingin dan tak tega melihat Teja yang gelisah, di sini aku merasa tak nyaman dan ternyata benar.
Baca juga: Cerita Ular Siluman Penghuni Sumur Tua Teror Penyewa Ruko di Lamongan
Seperti pukulan telak, di belakang kerir yang aku sandari, berdiri sesosok menyerupai pocong. Tidak gentar, aku tetap duduk. Menyalakan rokok sambil komat-kamit seperti dukun baca mantra.
Tak lama, angin kencang tiba-tiba datang. Shelter pos 3 yang kami tumpangi jadi semakin bikin merinding. Aku mencium bau anyir seperti darah. Bukan darah baru, tapi darah yang sudah lama.
Kebetulan aku adalah jurnalis yang selama bekerja selalu di tempatkan di desk kriminal. Bau seperti itu tentu sangat kukenal.
"Pang, Ja, ayo lanjut. Jangan lama-lama di sini. Dingin," alibiku supaya cepat pindah lokasi. (Bersambung)
Penulis adalah wartawan jatimnow.com