Probolinggo - Perjuangan Tohir (60) warga Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan, yang tak pernah putus asa patut menginspirasi milenial. Kakek Tohir adalah seorang pedagang 'rambut nenek' sejak 1987, meski penikmat jajanan tradisional ini, sudah tergerus oleh beragam makanan kekinian lainnya.
Rambut nenek memiliki nama lain arbanat. Olahan gula menggunakan pewarna makanan dengan rasa legit menyerupai gulali.
"Saya mulai menjual jajanan rambut nenek ini semenjak tahun 1987 hingga saat ini," ujar Kakek Tohir, saat ditemui di jalan pecah piring kelurahan Sukabumi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo, Kamis (18/11/2021).
Baca juga: Cerita Pedagang Jajanan Jadul Arbanat, Kayuh Sepeda hingga 20 Km di Jombang
Kakek Tohir biasa menjajakan jualannya dengan berjalan kaki menyusuri sudut perkampungan warga. Bermodalkan sebuah alat musik sederhana yang dimainkan, untuk memanggil para pemebelinya.
"Alat ini namanya arbanas, setiap jalan yang saya lalui pasti saya mainkan alat musik ini," jelasnya.
Meski usianya lebih dari setengah abad, Tohir mengaku bersyukur bisa mendapatkan penghasilan dari berjualan arbanat. Puluhan tahun berdagang keliling, Kakek Tohir bisa memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga.
"Dalam seharinya pendapatan tidak menentu terkadang mendapatkan keuntungan 100 ribu sampai 200 ribu dari hasil jual 1,5 kilogram jajanan rambut nenek," jelasnya seraya tersenyum.
Menurutnya, meski saat ini sudah banyak jajanan lain yang lebih disukai masyarakat, rambut nenek tetap digandrungi semua kalangan.
"Bukan hanya anak kecil saja. Remaja hingga orang tua juga banyak yang membeli," imbuhnya.
Nurwahyudi, warga Sukabumi, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, mengaku suka dengan jajanan rambut nenek ini.
"Kalau sudah memdengar musik arbanas, saya teringat masa kecil saat duduk dibangku sekolah dasar. Jadi saya tertarik membelinya," katanya.
Anak-anak Nurwahyudi juga menyukai makanan manis ini. Terlebih harganya terbilang murah meriah.
"Cukup 5 ribu saja jajanan rambut nenek sudah dapat banyak," ungkapnya.
Dulu saat dirinya masih kecil, di kampung bisa menjumpai pedagang rambut nenek dengan mudah. Berbeda dengan di kondisi sekarang.
"Jika tidak bisa membeli dengan uang, pembeli bisa menukar (dengan yang lain), penjual pun mau menerimanya," imbuhnya.